Elen tidak bisa duduk tenang, hatinya gelisah tak menentu hanya karena seorang gadis terjatuh hingga tak sadarkan diri. Siang tadi, saat Elen baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaannya, ia terkejut melihat Charlotte datang tergopoh-gopoh dengan Janis yang berada dipunggungnya dan sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Dahinya mengeluarkan cukup banyak darah, entah terbentur benda tajam apa, Elen belum bertanya apapun pada kakaknya.
"Bagaimana dok?" Ia bergegas menghampiri dokter Tom, dokter kepercayaan keluarga Janis yang masih setia mengabdi walau sang tuan telah tiada.
"Dari hasil pemeriksaan, saat ini tidak ada yang bermasalah dengan putri Janis. Semua alat vitalnya juga bekerja dengan baik. Mengenai ingatannya yang hilang kita masih perlu melakukan observasi agar dapat mengetahui apa penyebabnya. Jadi aku mohon jangan paksa putri Janis untuk mengingat hal-hal yang berpotensi dapat menurunkan imun di tubuhnya..,"
Elen mengehela nafas lega. Senang karena tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dari kondisi Janis. "Untuk lukanya, bagaimana, dok?"
"Dahinya sedikit robek karena terbentur bebatuan, namun aku sudah meresepkan obat dan kutitipkan pada madam Elis jadi kamu tenang saja, Elen."
"Terima kasih banyak, dok. Karena kau masih mau datang setidaknya untuk Janisa."
"Dengan senang hati. Aku yang seharusnya berterima kasih, karena kau sudah menjaga putri dengan sangat baik dan selalu bersamanya apapun yang terjadi..,"
"Aku pamit dulu, ya."
Sepeninggal dokter Tom, Elen memasuki kamar Janis, ikut menemani Charlotte yang sedang menunggu kesadaran gadis itu pulih. Kakinya melangkah menuju nakas, mengambil kotak obat dan menghampiri kakaknya yang tengah duduk di tepi ranjang.
"Lukamu harus diobati juga." Elen berlutut, melepas flat shoes merah muda yang sedang digunakan Charlotte. Ada beberapa bagian lecet disana, mungkin karena terlalu buru-buru berlari membawa Janis seorang diri.
"Janis tampak baik-baik saja sebelumnya, jadi aku sangat khawatir saat ia tak sadarkan diri." Charlotte mulai membuka suara tanpa perlu Elen tanya. Ia meringis sesekali ketika Elen menekankan kapas berisi obat merah ke tumit kakinya yang lecet.
"Jangan khawatir, dokter Tom bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Janis."
"Tapi bukankah itu terasa lebih menakutkan? Tidak ada yang salah dengan hasil diagnosa medis Janis, tapi respon tubuh berkata sebaliknya, ia kesakitan, bahkan entah apa yang sudah terjadi ingatannya pun ikut hilang. Hidupnya malang sekali." Charlotte menenggelamkan wajahnya diantara jari-jari tangan, tak bisa membayangkan gadis mungil yang sejak kecil ia jaga sepenuh hati dan selalu bersamanya harus melewati semua hal ini. Charlotte sungguh menyayangi Janis layaknya adik sendiri. Ketika Janis bahagia maka ia pun merasa bahagia, adapun jika Janis sakit makan ia pun akan merasakan hal yang sama.
Elen bangkit dari simpuhnya setelah melekatkan plester di luka kecil Charlotte. Ia menatap Janis yang masih terlelap lalu beralih pada kakaknya yang terlihat hilang harapan.
"Percaya pada Janis, ia adalah wanita yang tangguh. Bahkan diambang kabar kematiannya, ia tetap kembali pada kita Charlotte. Apa yang membuatmu tidak percaya padanya?"
"Eungh." lenguhan kecil Janis mendistraksi percakapan dua bersaudara itu. Keduanya segera menghampiri Janis yang perlahan-lahan mulai membuka kedua matanya.
"Ada yang bisa mengambilkan aku minum? Aku haus sekali," Janis memohon kepada siapapun yang ada di ruangan itu demi seteguk air. Tenggorokannya sangat kering layaknya padang pasir yang tandus. Dengan sigap Elen memberikan apa yang Janis minta, pria itu bahkan bergegas mencari madam Elis untuk menyediakan banyak hal seperti handuk hangat jika sewaktu-waktu Janis demam dan memerintahkan madam Elis untuk mambawa semangkuk bubur, mengisi perut Janis yang belum dimasukan apapun sejak pagi.
Janis meminum air di dalam satu gelas penuh hanya dalam tiga kali tegukan. Ia menghela nafasnya lega ketika dahaganya hilang dan menyadari bahwa setidaknya saat membuka mata ia masih berada di dunia dan bukan berakhir di neraka, mengingat masih banyak dosa yang sering ia perbuat selama hidup di dunia. Sungguh, selama Janis hidup ia tidak pernah merasakan sakit luar biasa seperti apa yang ia rasakan hari ini, ia bahkan berpikir bahwa ia hampir saja pergi ke alam yang sama dengan Sonia.
"Apa ada yang sakit, Janis?"
"Tidak ada. Aku baik-baik saja. Maaf sudah membuat kalian khawatir, aku pasti merepotkan sekali."
"Apa yang kau bicarakan, kau sama sekali tidak merepotkan." Charlotte menarik selimut ditubuh Janis hingga menutup hampir seluruh tubuhnya. "Istirahatlah kembali selagi menunggu madam Elis membawa bubur kesukaanmu." Lalu wanita itu keluar, menyusul madam Elis dan meninggalkan Elen bersama Janis tanpa sepatah katapun.
Sepeninggal Charlotte, hening menyelimuti keduanya. Namun keheningan itu tak berlangsung lama karena Janis gerah dengan canggung yang berkelanjutan, gadis tersebut memutuskan untuk membuka suaranya. "Elen."
"Ya?"
"Bicaralah."
Elen menaikkan sebelah alisnya, ekspresi yang tepat untuk menggambarkan bahwa ia kurang paham dengan apa yang baru saja Janis katakan.
"Bicaralah apapun padaku, aku benci keheningan ini," cicit Janis pelan.
Elenio tertawa renyah, meskipun sedang kehilangan ingatannya, sifat dan tingkah laku Janis masih sama seperti Janis yang Elen kenal. Janis tak begitu suka terjebak dalam situasi yang hening dan dapat membuat dirinya menjadi canggung. Bahkan dulu ketika sedang bertengkar dengan Elen dan terpaksa harus tidak tegur sapa dalam beberapa waktu, pasti selalu Janis orang pertama yang meruntuhkan egonya sendiri. Mana bisa ia tidak bertegur sapa dengan Elen ketika seluruh hidupnya selalu bergantung pada pria tersebut?
"Kau, lucu sekali."
Kini giliran Janis yang kebingungan. Lucu darimananya? Padahal Janis tidak melakukan apa-apa?
Ia bangun dari tidurnya dan memposisikan dirinya setengah duduk, bersandar pada kepala ranjang agar bisa lebih leluasa berbicara dengan Elen. "Apa ada yang lucu? Padahal aku tidak melakukan apapun."
"Lucu bagiku, mengingat tidak banyak yang berubah dari sifatmu walau mungkin kini kau tidak mengingat tentangku, tentang kita dan semual hal yang pernah kita lakukan bersama."
Mendengar kata 'kita' yang dilontarkan langsung dari mulut Elen membuat Janis mendapatkan sinyal baru yang pasti mengenai hubungan Janis dan Elen di kehidupan ini yang mulanya sangat abu-abu.
Sejak pertama kali datang ke rumah ini, dari semua orang yang Janis temui, Elen adalah sosok yang paling sulit untuk ditebak. Pria itu tampak dingin dari luar namun seperti memiliki sudut pandang yang berbeda tentang dirinya jika dibandingkan dengan Elea dan Charlotte.
"Elen, ada yang ingin kutanyakan tentang diriku..,"
Janis menggeleng pelan. "Ah mungkin tentang kita?" ralatnya.
"Pertanyaan seperti apa yang tersembunyi dalam kepalamu, Janis?"
Janis menimbang-nimbang apakah tidak masalah jika ia menanyakan hal ini pada Elen? Entah mengapa rasanya gamang sekali, namun Janis nekat bertanya daripada ia harus mati penasaran.
"Dilihat dari bagaimana cara kau bersikap padaku dan paviliun yang berada di belakang rumah ini, sepertinya aku tampak lebih dekat denganmu dibanding dengan Charlotte dan Elea..,"
Elen menatap Janis dalam. Ia tau kemana arah pembicaraan gadis itu.
"Charlotte juga bercerita bahwa sebelum aku menghilang, aku pernah menghancurkanmu dengan sangat. Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa hubungan kita Elen?"
Elenio tak langsung menjawab, butuh waktu sekitar tujuh detik hingga pria itu mengeluarkan kalung yang sepertinya sengaja ia sembunyikan dibalik kemeja, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Janis. Sebuah kalung dengan bandul cincin di dalamnya.
"Kau adalah tunanganku, Janisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...