Tiga belas hari sebelum Janis menghilang
Ada dua hal yang belum pernah dilakukan oleh Janis selama hidupnya. Pertama berbohong, kedua bepergian ke luar kota menggunakan kendaraan umum. Saat bersama keluarganya, Janis tentu akan pergi menggunakan kendaraan pribadi ditemani pengawal pribadinya, pun saat ia mulai tinggal dengan Charlotte ia tetap melakukan hal yang sama namun bedanya saat itu Elen lah yang akan setiap menemani Janis pergi kemanapun. Dan hari ini Janis melakukan keduanya sekaligus, berbohong pada Charlotte, mengatakan bahwa ia akan datang ke acara pagelaran seni dan pergi bersama orang asing yang Janis ketahui bernama Raib.
Entah setan apa yang merasuki Janis hingga hari ini gadis itu mau pergi bersama sosok asing yang ia temui kurang dari dua puluh empat jam yang lalu. Mantra yang dikeluarkan dari mulut Raib berupa asumsi-asumsi asing itu ternyata sangat efektif hingga berhasil membuat Janis duduk manis dalam sebuah gerbong kereta walau terasa masih ada batasan yang dengan sengaja Janis tinggikan diantara mereka.
Siang ini mereka berangkat ke Kota Valarion, dengan harapan bahwa Rain bisa membuktikan apa yang sudah ia katakan tentang ibunya.
"Kau bisa istirahat lebih dulu, Ratu Janisa. Perjalanan kita masih panjang."
Janis hanya mengangguk lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, melihat pemandangan yang luar biasa indah namun tetap tak bisa menenangkan pikirannya yang riuh.
Jujur saja Janis sangat gugup. Ia takut akan dua hal ; takut apa yang dikatakan Raib hanyalah bualan belaka dan ia akan kecewa pada dirinya sendiri karena mau begitu saja percaya dengan orang asing atau takut dengan kenyataan dan fakta yang sebenarnya ada, persis seperti yang Raib katakan.
Setelah menempuh lamanya perjalanan, akhirnya mereka tiba di kota surga itu. Begitu tiba, Raib langsung memboyongnya ke sebuah komplek kerajaan yang Janis sendiri tau bahwa hanya keluarga raja dan keturunannya lah yang tinggal disana, sebab ia pun pernah berada di posisi tersebut. Namun alih-alih mengajaknya masuk ke kawasan elit itu, Raib malah mengajaknya mendaki bukit yang ada disekitar istana, entah apa alasannya.
"Dalam beberapa jam kedepan matahari akan terbenam, dan kau ingin mengajakku untuk mendaki bukit? Kau benar-benar tidak berniat untuk mencelakaiku bukan?"
Raib terkekeh. "Tenang saja putri Janis, aku akan menjagamu. Kau akan tau apa yang selama ini tidak kau tau saat matahari hampir terbenam."
Lagi, Janis hanya bisa mengikuti apa yang Raib katakan layaknya orang bodoh yang tidak memiliki pendirian. Keduanya mendaki bukit setinggi lima puluh meter di atas permukaan tanah. Begitu sampai di atas, Janis terdistraksi, ia dibuat takjub dengan pemandangan yang tak bisa ia dapatkan jika tidak dilihat dari atas bukit kini.
"Cantiknya," gumam Janis tanpa sadar. Matanya terus merekam setiap sisi pemandangan sore ini agar melekat di ingatan. Andai tempat ini dekat dengan rumahnya, ia jamin tempat ini akan menjadi tempat favoritnya saat sedang mencari inspirasi.
Setelah menunggu selama beberapa waktu, matahari pun mulai kembali ke peraduannya, membentuk guratan oranye yang keindahannya tak bisa ditampik oleh siapapun. Namun keindahan itu tidak lagi memiliki arti ketika Janisa melihat dengan mata kepalanya sendiri sosok yang ia yakini adalah Ratu Alice, ratu yang dikatakan sudah meninggal dunia oleh orang-orang. Ibunya tampak sehat, tengah berdiri di balkon kamar istana sambil menatap senja yang sama dengan Janis dengan wajah berbinar.
"Ibu? Itu benar-benar ibuku?"
***
"Siapkan kamar Janis dan tolong pastikan kamarnya tetap hangat madam, dokter Tom akan segera tiba," perintah Charlotte kepada madam Elis.
Charlotte berusaha tenang ditengah kepanikan yang melanda secara tiba-tiba. Saat ia sedang mengajari Elea caranya menenun, Elen mengabarkan bahwa Janis kembali pingsan, namun kali ini sepertinya bisa lebih parah karena gadis itu pingsan tanpa seorang pun tau hingga tubuhnya hampir sama membeku tertimbun derasnya salju.
Kini Elen dan Janis sedang dalam perjalanan kembali untuk diperiksa oleh dokter Tom, satu-satunya dokter yang mengetahui bagaimana kondisi tubuh Janis.
Begitu sampai, Elen segera merebahkan Janis dikamarnya dan menghangatkan tubuh ringkih itu sebisa mungkin hingga akhirnya dokter Tom datang dan melakukan perawatan untuk Janis.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Elen?"
Charlotte menghampiri Elen yang tampak lebih murung dari sebelumnya.
"Aku tidak tau Charlotte. Aku hanya mendapat kabar dari supir yang mengatar Janis bahwa gadis itu menghilang dan kami menemukannya sudah tak sadarkan diri hampir tertimbun runtuhan es..,"
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku tidak segera menemukan Janis. Mungkin gadis itu sudah mati membeku." Elenio jelas tampak frustasi. Ia menyuar rambutnya ke belakang tanpa henti, menunjukan kegelisahan yang tak akan reda sebelum ia melihat Janis sadarkan diri.
"Tenang, kita doakan agar Janis baik-baik saja," bisik Charlotte sambil menggenggam tangan sang adik, menyalurkan kekuatan untuknya.
"Charlotte."
"Ya?"
"Kau masih ingat ketika menghadiri upacara pemakaman Raja Niel dan Ratu Alice?"
Alis Charlotte reflek menukik bingung. "Ingat."
"Kau ingat saat melihat jasad Raja Niel dan Ratu Alice dikuburkan dalam liang lahat yang sama?"
"Ada apa, Elenio?"
"Hari ini aku melihat Ratu Alice. Sosok ratu yang selama ini aku kenal tiba-tiba muncul dihadapanku sebagai istri dari Raja Oliver, Charlotte."
"Tidak mungkin, Elen. Ratu Alice tentu sudah tiada sejak bertahun-tahun lalu. Bukan hanya kau dan aku yang tau, seluruh negeri pun tau akan hal itu."
Elen memandang wajah si sulung, menatap matanya dalam, mencoba meyakinkan bahwa apa yang ia bilang tadi itu bukan hanya omong kosong belaka. "Aku berani bersumpah kak, aku benar-benar melihat Ratu Alice. Kau orang yang paling tau aku Charlotte, aku tidak mungkin berbohong dan mengatakan hal-hal tidak penting."
Maka dari situ mengalirlah cerita Elen, ia menceritakan banyak hal mulai dari janggalnya pernikahan Raja Oliver yang dirahasiakan, lalu kekacauan pada pesta pertama hingga pertemuannya hari ini dengan sosok tersebut.
"Namun ada satu hal yang membuatku bingung. Mengapa Ratu Alice tidak mengenaliku sedikitpun? Ia bahkan sama sekali tidak berbicara kepadaku, Paman Sam bahkan suaminya sendiri..,"
"Ia hanya tersenyum manis sambil mengikuti berbagai arahan yang diberikan."
"Sama seperti apa yang kau yakini. Aku pun begitu, aku yakin sekali bahwa itu bukanlah Ratu Alice." Tak ingin kalah dengan keyakinan Elen, maka Charlotte pun begitu.
Percakapan itu berakhir ketika dokter Tom memanggil Elen dan Charlotte agar memasuki kamar gadis itu usai dilakukan pemeriksaan.
"Ayah, Janis kangen."
"Jangan tinggalin Janis sendiri, ayah."
"Janis capek."
Hal pertama yang mereka lihat adalah Janis yang tengah sibuk meracau. Matanya memejam namun mulutnya tak berhenti menggumam.
"Apa yang terjadi dokter Tom?"
Wajah dokter muda itu tak setenang biasanya. "Ada yang aneh dengan putri Janis. Tubuhnya baik-baik saja, semua alat vitalnya pun bekerja dengan baik. Untuk saat ini belum bisa ditemukan penyebab putri Janis tak sadarkan diri. Namun dilihat dari bagaimana alam bawah sadarnya bereaksi saat tubuhnya sendiri dalam keadaan tidak sadar dan jika dikaitkan dengan memorinya yang hilang, putri Janis sepertinya mengalami penyakit psikologis, yaitu memoar disosiatif..,"
"Tapi aku harus mempelajari kasus ini lebih dalam, sebab apa yang terjadi dengan putri Janis benar-benar tak biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...