"Apa yang kau inginkan dariku?!"
"Tetaplah menjadi istriku, melahirkan putra atau putri dan hiduplah selamanya menjadi bagian dari keluarga Oliver."
Ratu Elisa memejamkan matanya, menahan gejolak amarah yang selama ini ia pendam seorang diri. Marah dengan keadaan, marah dengan dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apapun selain terdiam dan rela menjadi boneka seorang penjahat seperti Raja Oliver. Karena sudah tak tahan dengan semuanya, dengan nekat Ratu Elisa nekat kabur dari istana setelah pertengkarannya dengan Raja Oliver. Tak peduli prediksi badai salju akan datang, ia tetap pergis seorang diri, mencari tempat untuk menenangkan pikiran sementara selain di penjara berbentuk istana tersebut. Mengapa hanya sementara? Bukankah lebih baik ia pergi atau meninggalkan istana selamanya? Percuma saja, Raja Oliver pasti akan menemukan dan membawanya kembali bahkan jika Ratu Elisa berada di ujung dunia sekalipun.
Ia berjalan tanpa tau arah, mencoba mencari rumah-rumah kecil yang tampak hangat untuknya singgah.
"Ratu Elisa?"
Elisa tersentak ketika bariton seseorang memanggilnya. Ternyata tuan pemilik toko langganannya.
"Ah, rupanya kau tuan. Maaf, aku terkejut."
"Sedang apa kau disini? Salju yang turun sangat deras. Kau bisa sakit."
Ratu Elisa tersenyum, lantas menggerakan jemarinya lagi, hanya pria itu yang mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Ratu Elisa. "Aku ingin menenangkan diri, tapi sepertinya aku tidak memiliki tujuan."
"Ingin mampir ke tempatku?"
"Maksudmu, toko? Apa ia tetap buka walau musim dingin tiba?"
"Bukan toko, tapi rumahku. Akan kubuatkan kau teh kesukaanku, rasanya kau akan menyukainya."
Sedangkan dilain tempat, Janis dan Elen sama sekali tak menemukan titik terang mengenai toko dan pemilik toko yang sedang mereka tunggu-tunggu. Hanya informasi kosong yang Janis terima selama lima hari mereka berada di Kota Valarion. Maka mau tidak mau Janis memutuskan untuk kembali ke Sourbridge, menyerah dengan apa yang ada dipikirannya. Mungkin saja itu memang bukan ayahnya dan mungkin saja dibelahan bumi manapun semesta tak pernah sama sekali mengizinkan Janis untuk kembali menemui Bagas.
"Kita pulang, ya?"
Janis hanya dapat mengangguk tanpa minat. Ia kecewa dengan harapan yang ia buat sendiri.
Menurut perkiraan cuaca, badai akan berlangsung selama beberapa hari ke depan maka demi kenyamanan dan keamanan Elen dan Janis memutuskan untuk kembali ke Sourbridge dengan kereta bawah tanah. Selama perjalanan Janis hanya terdiam, begitupun dengan Elen. Ia bingung harus merespon seperti apa karena ia pun dapat melihat dengan jelas raut wajah kecewa pada Janis.
Perjalanan dari Valarion menuju Sourbridge membutuhkan setidaknya satu kali transit. Kereta biasanya berhenti selama lima belas menit dan membiarkan penumpangnya untuk turun sekadar ingin menghirup udara diluar kereta atau lainnya. Kali ini kereta yang ditumpangi Janis dan Elen berkesempatan transit, Elen yang berencana membeli teh hangat pun menawarkan Janis agar ikut turun bersamanya.
"Mau ikut?"
"Ya, gue mau ikut. Tunggu."
Keduanya pun turun dari kereta berisikan delapan gerbong itu. Elen mulai mengantre di kedai teh yang tampak ramai peminat sejak memasuki musim dingin. Sedangkan Janis menunggu Elen di depan sebuah toko roti yang letaknya tak jauh dari gerbong kereta mereka. Saat sedang asil melamun, seseorang yang tak Janis kenali menghampiri dan berlagak sok kenal layaknya Elea pertama kali melibat Janis di dunia ini.
"Janis? Aku sungguh merindukanmu." Pria yang Janis tebak seumuran dengan Elen itu tanpa aba-aba memeluk Janis erat.
"Maaf, gue bukan Janis."
"Apa yang kau maksud, kau adalah Janis. Janisaku, milikku." Pria itu menguar pelukannya lalu beralih menangkup pipi Janis dengan kedua tangan besarnya. Hal itu tentu membuat Janis sangat tidak nyaman, apalagi moodnya sedang tidak baik-baik saja.
"Lepasin, gue bukan Janis. Gue gak kenal sama lo."
Janis melangkahkan kakinya cepat, berharap bisa menjauh dari pria asing itu. Namun nyatanya pria itu tak kalah gentar dan mengikuti Janis kemanapun gadis itu pergi. Merasa ada yang tidak beres dengan situasi ini, Janis tanpa pikir panjang dengan asal memasuki salah satu gerbong kereta yang tujuannya jelas berbeda dengan keretanya. Ia tidak bisa memikirkan apapun, yang terpenting ia bisa terlepas dari pria aneh itu karena Janis sadar untuk kembali kepada Elenio rasanya sudah tak mungkin karena Janis sudah kabur terlalu jauh.
Sedangkan pria asing yang dengan gencar mengejar Janis itu pun hanya bisa menghela nafas ketika ia tak sempat memasuki kereta karena pintu masuk sudah tertutup rapat. Ia kalah lincah dengan gadis semungil Janis. Namun tak lama sebuah senyum terbit di bibir ranumnya. "Aku menemukanmu kembali, Janis."
***
Waktu berlalu, sudah hampir tiga jam Janis terjebak dalam gerbong kereta yang ia sendiripun tak tau arah dan tujuannya. Bertanya pun percuma, karena tak ada satupun kota yang ia ketahui selain Valarion dan Sourbridge dan jelas-jelas kereta yang sedang Janis tumpangi bukanlah salah satu kereta yang sedang dalam perjalanan menuju salah satu dari dua kota tersebut.
Tanpa sadar Janis tertidur dan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dengannya, dengan perjalanan waktu yang kembali ia rasakan.
"Permisi neng, kita udah sampai." Seorang pria yang duduk disamping Janis tiba-tiba membangunkan gadis itu karena sedang tertidur, padahal seingatnya pria itu sama sekali tak bicara sejak awal Janis dudul.
Beberapa orang sudah keluar membawa barangnya masing-masing, ada yang membawa tas, satu dus mie instan yang digemari warga Indonesia atau paling tidak membawa diri mereka masing-masing yang kini tengah fokus dengan gawainya.
Dengan setengah kesadarannya Janis pun turun dari gerbong tersebut dan disambut oleh lautan manusia yang juga baru datang di kota tujuan.
Selamat datang di stasiun Pasar Senen
Tidak mungkin. Tidak mungkin ada stasiun Pasar Senen di dunia yang sedang Janis pijaki, ia pasti salah lihat kan? Jika itu betulan nyata maka Janis hanya bisa tertawa lucu karena stasiun pun ternyata memiliki duplikat di dunia lain.
Janis menggosok matanya sekali dan apa yang baru saja ia lihat tidak berubah namanya, benar-benar stasiun Pasar Senen.Jani mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, wajar jika Janis melihat wanita berhijab disana. Namun ia tidak salah lihat kan, kenapa tiba-tiba ada wanita berhijab juga di dunia ini?
"Porternya neng?"
Bahkan kini ada porter yang —oh tunggu! Apakah Janis sudah kembali ke dunianya? Matanya membulat sempurna, ia butuh satu hal untuk meyakinkannya bahwa ia benar-benar sudah kembali ke dunianya. Janis dengan semangat berlari ke papan rute informasi kereta dan menemukan rute-rute krl yang biasa ia naiki dulu. "Akhirnya gue pulang." Dan Janis kini sudah kembali ke dunianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...