Di sebuah rumah kecil yang berada di pusat Kota Valarion, seorang pria tampak duduk di depan perapian dengan secangkir teh dan biskuit yang ia beli seadanya. Ini musim dingin kedua kalinya yang ia lewati di kota ini, kota asing yang menemukannya dengan poros hidupnya. Namun selama waktu berjalan, ada hal yang terasa mengganjal di hati, hal-hal yang tak bisa ia utarakan bahkan dengan dirinya sendiri.
Matanya menatap sebuah bingkai foto berukuran empat kali enam persegi. Dalam foto tersebut terdapat dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang tampak bahagia di sebuah taman bermain. Ada rasa bersalah yang menyelimuti setiap melihat foto itu, namun egonya melenyapkan segala bentuk rasa bersalah yang ada, entah sampai kapan hal ini akan terjadi ia sendiri pun tidak tau.
***
"Ayah, kenapa ayah tinggalin Janis? Ayah udah gak sayang sama Janis?"
"Ayah?"
"Ayah!"
Janis mengerjapkan mata begitu sadar apa yang ia lalui sebelumnya hanyalah mimpi belaka. Keringat sebesar biji jagung menggelayuti dahinya walau suhu hari ini mencapai minus tujuh derajat. Matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, tak ada siapapun disana. Hanya ia seorang diri.
Janis tau bahwa mimpi adalah bunga tidur yang hanya perlu di hiraukan, namun untuk perta kalinya dalam hidup, Janis merasakan mimpi yang benar-benar terasa sangat nyata. Dalam mimpi itu ia bertemu dengan ayahnya yang sedang berada dalam satu acara yang sama dengan Janis, namun Bagas mengabaikan Janis begitu saja walau pria itu melihat jelas putri kesayangannya di depan mata.
Janis menangkup wajahnya dengan kedua tangan, membayangkan hal itu benar-benar terjadi padanya, sepertinya Janis tak akan sanggup ketika pahlawan satu-satunya dalam hidup Janis bersikap asing kepada Janis tanpa sebab. Air matanya lolos begitu saja, rindu yang selama ini ia pupuk meledak ketika melihat sosok tak dikenal yang sangat mirip dengan Bagas.
"Janisa? Kau sudah sadar?"
Charlotte menghampiri Janis yang terduduk di tepi ranjang.
"Charlotte, bisa kah kau mengantarku kembali ke Kota Valarion? Aku harus menemui seseorang disana."
"Dokter Tom menyarankan untuk kau beristirahat dulu, Janis."
"Tapi aku perlu menemui seseorang disana."
Charlotte menggigit bibirnya resah. "Siapa yang ingin kau temui disana?"
"Aku ingin menemui ayahku."
"Janis, Raja Niel sudah meninggal dunia," jelas Charlotte setenang mungkin.
"Raja Niel mungkin saja sudah meninggal, namun ada yang ingin aku pastikan, Charlotte. Ku mohon."
Charlotte mengusap puncak kepala Janis, menenangkan gadis itu. "Istirahatlah."
Sepertinya tak bisa dengan cara ini, Janis pun memutuskan untuk menepis kasar tangan Charlotte. "Aku tidak ingin istirahat, aku ingin menemui ayahku!"
"Aku ingin ayahku!"
Melihat Janis yang semakin memberontak, Charlotte pun mulai kewalahan. Ia berusaha memanggil Elen, Elea atau madam Elis yang mendengarnya. "Elen! Elea! Atau madam Elis tolong bantu aku."
Tak butuh waktu lama, Elea dan Elen datang bersamaan diikuti oleh madam Elis setelahnya.
"Ada apa Charlotte?"
"Ambilkan obat penenang yang dokter Tom resepkan dan berikan pada Janis, segera."
Dengan cepat Elea dan Elen bekerjasama untuk memberikan obat penenang itu kepada Janis walau gadis itu terus berteriak dan berontak ingin dilepaskan. "Aku hanya ingin bertemu ayahku!"
"Maaf, Janis." Elen dengan sedikit tidak tega menyuntikkan obat penenang itu kepada Janis. Tak perlu waktu lama, tenaga gadis itu perlahan mulai berkurang, genggaman tangan yang sebelumnya dengan erat merangkul bahu Charlotte kini mulai mengendur, merenggut sedikit demi sedikit kesadaran Janis. Sebelum kesadaran gadis itu benar-benar hilang kembali, ia menatap Elen lekat-lekat dengam matanya yang sayu. "Kalian harus tau kalau gue bukanlah Janis yang kalian maksud, ayah gue bukan Raja Niel dan ayah gue belum meninggal."
Setelah itu lenyap. Kesadaran Janis sepenuhnya hilang karena efek obat yang Elen berikan dan saat itu juga Charlotte bisa bernafas lega.
Dugaaan dokter Tom benar. Setelah bangun dari ketidaksadarannya, emosi Janis akan cenderung tidak sestabil biasanya. Maka dari itu dokter Tom meresepkan obat penenang untuk berjaga-jaga dan benar saja apa yang dikhawatirkan akhirnya terjadi juga.
Elen segera mengembalikan Janis ke posisinya setelah gadis itu benar-benar terlelap sedangkan Charlotte yang masih berada disana tampak shock dengan apa yang baru saja terjadi. Ia ditarik Elea untuk duduk di salah satu sofa.
Nafasnya terengah, ia merasa seperti deja vu, ingatannya terlempar jauh pada pertemuan terakhinya dengan Janis sebelum menghilang. Kejadiannya hampir sama persis seperti ini, Janis berteriak padanya dan mengatakannya pembohong serta penipu, belum lagi keinginannya untuk pergi bersama Raib dan mengatakan bahwa mereka akan pergi menemui Ratu Alice yang notabenernya sudah meninggal dunia.
"Tenang dan kuatkan dirimu Charlotte, kita lewati hal ini bersama-sama," ucap Elen yang diangguki oleh si bungsu Elea.
***
Jakarta, 2023
Angin berhembus dengan tenang, menemani sore Jakarta yang lebih sejuk dari biasanya. Sesosok laki-laki dengan tubuh ringkih terlihat memasuki sebuah pemakaman yang tentu tampak sunyi. Di tangan kanannya terdapat seikat bunga aster putih. Kakinya berhenti di salah satu gundukan tanah yang sangat ia kenali.
Sonia Tiffani
Dilekatakannya bunga itu tepat di atas batu nisan marmer yang terdapat disana.
"Maaf."
Alih-alih mendoakan, yang terdengar hanyalah kata itu lagi. Kata yang paling sering ia lafalkan selama datang ke tempat ini.
Seperti hari-hari yang telah lalu, tidak banyak yang ia lakukan selain diam memandangi tempat peristirahatan terskhir itu berjam-jam lamanya lalu pulang tanpa aktivitas apapun setelahnya.
"Loh, mas? Dateng lagi, toh."
Pria misterius itu tersenyum kikuk ketika Pak Subur datang. Pak Subur mulai melakukan tugas seperti biasanya, merapihkan rumput liar yang tumbuh di beberapa makam.
"Mas ini kalau ngga salah ya adiknya ibu Sonia bukan?"
Pria itu mengangguk.
"Tapi kok saya baru liat, ya? Maksudnya baru liat datang kemari akhir-akhir aja. Awal-awal ibu baru meninggal kemana mas? Gak pernah kelihatan."
"Saya tinggal di luar negeri."
Pak Subur pun ber 'oh ria' sambil melanjutkan tugasnya. "Pantes kalau neng Janis bingung, ya. Gak pernah ketemu mungkin."
Matanya membulat ketika mendengar nama yang akrab ditelinganya. "Siapa pak? Janis?"
"Iya, putrinya Ibu Sonia. Kalian pasti jarang ketemu, ya?"
"Janis apa sering datang kesini, pak?"
Pak Subur mengangguk yakin. "Dulu neng Janis datang ke makam Ibu hampir setiap hari tanpa absen, tapi akhir-akhir ini udah jarang. Terakhir kali tiga minggu yang lalu kalau ngga salah, sehari setelah masnya datang kesini."
Pria itu beranjak dari posisinya, bersiap-siap untuk segera pergi dari sana.
"Eh, mas. Ini kalau boleh tau nama masnya siapa?"
"Nama saya Raib, pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...