Bab 18

4 1 0
                                    

Katanya, hidup adalah sebuah perjalanan panjang tak berujung yang penuh dengan teka-teki. Banyak hal di dunia ini yang patut dipertanyakan kenapa, seperti apa dan bagaimana semesta bekerja bisa bekerja sampai hari ini. Namun akan selalu ada jalan dan jawaban bagi siapapun yang mau berusaha menjalani hidupnya dengan baik.

Malam ini, Elenio tengah melamun menatap ke luar jendela seorang diri, membiarkan suara-suara di dalam kepalanya saling bersahut-sahutan. Jelas banyak sekali pertanyaan yang bergumul dalam kepalanya belakangan ini, sejak ia bertemu dengan Raib, sejak ia bertemu dengan istri Raja Oliver dan saat melihat bagaimana Janis bersikap. Semuanya terjadi dalam waktu yang berdekatan dan membuat Elenio kewalahan untuk menjawab.

"Elen." Pintu ruangan terbuka, menampakkan Janis yang tengah dituntun madam Elis berjalan. Wajah gadis itu tampak pucat pasi dan sedikit lunglai, mungkin akibat efek obat penenang yang diberikan sore tadi.

Dengan sigap Elen mengampiri, memindahkan tangan mungil Janis yang awalnya menopang pada madam Elis agar berpindah padanya. "Ada apa? Apa ada yang sakit?"

"Gue mau ngobrol sama lo, berdua."

Elen menaikkan sebelah alisnya bingung ketika melihat perubahan bahasa dan raut wajah yang ditunjukkan Janis. Seperti bukan Janis yang Elen kenal. Namun Elen tetap mempersilahkan Janis masuk dan membiarkan madam Elis kembali dengan kode yang Elen berikan. Sebab seperti ada yang ingin Janis bicarakan secara serius dengannya.

Elen menuntun Janis untuk duduk di sofa besar yang ada di ruangan tersebut. Mata gadis itu menjelajah setiap sudut ruangan yang hanya dipenuhi oleh berbagai macam buku. Ini adalah kali pertama Janis menginjakkan kakinya di ruang baca yang kerap menahan Elen berjam-jam lamanya ketika sedang berada disini.

Ratusan buku tersusun rapih sesuai dengan indeksnya. Buku fiksi, karya ilmiah, sejarah hingga matanya menangkap sebuah buku astronomi jika dilihat dari sampul dan judulnya.

"Elen." Janis mulai membuka suara setelah beberapa waktu diam.

"Iya?"

"Lo percaya adanya dunia paralel?"

"Tidak. Dunia paralel hanyalah ilusi, Janis. Belum ada satupun ilmuan yang dapat membuktikan kebenarannya."

Benar, siapapun pasti tidak akan pernah mempercayai dunia paralel sebelum ia merasakannya sendiri.

"Oke." Janis terdiam. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa lalu mendongak, menatap langit-langit yang baru Janis sadari tertempel banyak sekali bintang dan segala bentuk benda langit lainnya.

"Lo suka mempelajari ilmu astronomi?"

"Bukan aku, tapi kau, Janis."

Janis reflek menghela nafasnya berat, ia sungguh lelah menjadi sosok Janis padahal itu adalah dirinya sendiri atau singkatnya ia mulai muak menjadi bayang-bayang seseorang.

"Elen, ada yang mau gue bicarakan sama lo, jadi tolong jangan potong pembicaraan gue selama apa yang gue bicarakan belum selesai. Ngerti?"

Elenio mengagguk mengerti.

"Mungkin ini akan terdengar nggak masuk akal, tapi gue bukan Janisa yang keluarga lo kenal. Gue Janisa dari tempat yang lo bilang ilusi itu."

Tak ada perubahan raut wajah dari Elen, tatapannya datar sambil menyimak apa yang ingin Janis jelaskan. Sedangkan Janis, gadis itu mengeluarkan ponsel pintar yang biasa ia gunakan dan menyerahkannya kepada Elen. "Ini, bukti kalau gue datang dari dunia yang lain."

"Gue juga gak ngerti kenapa gue bisa terdampar disini dam berujung masuk ke dalam bagian keluarga lo, tapi gue bener-bener udah gak bisa pendem ini lagi. Gue bukan Janis..,"

"Dan gue denger dari madam Elis, dokter keluarga ini mendiagnosa gue kehilangan memori sementara, gue pengen lo tau kalau itu semua salah, gue gak ingat siapapun di dunia ini karena gue bukan Janis yang kalian maksud."

Janis menjeda ucapannya, ia menatap Elenio lebih dalam, mencoba menerka tatapannya yang sama sekali tak bisa ia tebak. "Dan sekarang, gue mau minta tolong sama lo. Tolong bantu gue pergi ke Kota Valarion, gue perlu memastikan sesuatu."

"Apa yang ingin kau pastikan, Janis?" Akhirnya Elen buka suara setelah sekian lama diam.

"Gue cuma mau memastikan, apa yang gue lihat kemarin apa betul ayah gue atau bukan. Gue kangen banget sama dia."

Elen mengangguk, entah apa yang ada dipikirannya ia mengiyakan permintaan Janis. "Besok kita pergi, tapi sebelum itu, bolehkah aku minta satu hal padamu?"

"Apa?"

"Tolong minta maaf pada Charlotte, minta maaflah karena kau telah membuatnya khawatir sejak pertama kali kehadiran kau di rumah ini."

***

Hiruk pikuk Jakarta tak akan pernah mati. Jalanan padat merayap sore ini tak mematahkan semangat Yuke untuk membagikan selebaran pencarian Janis sejak dua hari lalu.
Yuke membagikan selebaran di berbagai tempat, di JPO, di area akademi tempatnya mengajar dan disekitar rumah Janis. Yuke berharap apa yang ia lakukan bisa membantu menemukan temannya yang sudah dua pekan tidak ada kabar sama sekali.

Namun sepertinya harapan Yuke harus pupus ketika melihat selebaran kertas yang ia berikan ke setiap orang yang lewat berserakan di pinggir jalan sebagai sebuah sampah. Mereka membuang itu semua. Yuke tak heran, siapa yang peduli ketika putri buronan negara hilang? Sepertinya tak ada yang peduli selain Yuke seorang.

"Eh, makasih."

Yuke berterima kasih ketika seorang laki-laki bertubuh tegap membantunya mengambil selebaran kertas yang berserakan.

"Mau saya bantu?"

"Eh gak apa-apa mas, saya bisa sendiri."

Pria itu menghiraukan ucapan Yuke dan membantunya tanpa diminta. "Tidak apa-apa, biar saya bantu."

Pria itu menatap selebaran kertas itu penuh arti, sepertinya ada sesuatu yang bisa ia temukan di dunia ini. Sesuatu yang sebelumnya tak ia ketahui.

Titik KoordinatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang