Bab 24

2 0 0
                                    

Bagas tak pernah menyangka rumah kecil yang selama ini ia jadikan tempat bersembunyi akan disambahi oleh banyak orang seperti ini. Ratu Elisa, Janis yang saat ini belum sadarkan diri, Elenio laki-laki asing yang terlihat begitu khawatir dengan keadaan putrinya dan beberapa pengawal kerajaan yang setia mengikuti.

"Ini kali ketiga Janis tak sadarkan diri." Elen memberanikan diri untuk membuka percakapan dengan Bagas.

"Kau mengenal putriku?"

"Aku mengenalnya sangat, ah atau mungkin tidak? Semenjak aku mengetahui kalian berasal dari dimensi yang masih tak ku percayai."

Bagas tersenyum sumbang, entah menertawakan apa. Mata Elen beralih menatap Ratu Elisa yang tengah menatap Janis, ada sesuatu yang ingin ia tanyakan namun terasa mengganjal di kerongkongan tak mampu ia keluarkan. Bagas yang mengetahui arti tatapan Elen pun menepuk pelan bahunya. "Itu Ratu Elisa, buka Ratu Alice."

"Bagaimana kau tau?"

"Aku tau semua hal tentangnya." Ucapan Bagas terpotong ketika Janis sadarkan diri, gadis itu memanggil-manggil namanya.

"Ayah."

"Iya sayang? Apa ada yang sakit?"

Janis menggeleng, lalu melirik nakas. Elen yang paham Janis sedang merasa kehausan pun dengan peka memberikan gadis itu minum.

"Terima kasih, Elen."

Elen tersenyum. Lalu ia melirik Ratu Elisa dengan canggung, mengisyaratkan dengan mata untuk segera keluar, bermaksud memberikan Bagas dan Janis ruang untuk berbicara.

"Kamu kenapa bisa ada disini, Janis?"

"Aku juga gak tau, Ayah. Semuanya terjadi begitu saja." Janis meraba wajah Bagas. Wajah yang dulu mulus itu kini ditumbuhi bulu-bulu halus di tepi telinga, tanda pria itu tidak cukup mengurus dirinya dengan baik.

"Ayah apa kabar?"

"Ayah baik, sangat baik."

Air mata Janis luluh kembali, "Jangan nangis. Janis gak boleh nangis, kan ayah udah ada disini."

"Kenapa ayah tinggalin Janis? Ayah udah gak sayang Janis? Maaf kalau Janis ternyata ngerepotin Janis selama ini."

Bagas menggelang. Tentu tidak sama sekali, Bagas sangat amat bersyukur memiliki putri seperti Janis. Sejak kecil gadis itu tidak pernah membuat Bagas dan Sonia kesusahan, Janis cerdas dan ketika kini ia melihat gadis itu baik-baik saja membuat Bagas semakin yakin bahwa Janis adalah putri yang hebat bahkan setelah Sonia dan Bagas meninggalkannya.

"Engga, sayang. Kamu adalah putri ayah yang paling hebat. Maafin ayah, ayah terlalu egois meninggalkan kamu sendiri. Ayah terlalu mementingkan perasaan ayah daripada perasaan kamu."

Semenjak Sonia meninggal dunia, Bagas tentu sangat kacau. Siapa yang dengan mudah menerima separuh hidupnya pergi untuk selama-lamanya? Bagas tidak sanggung. Ia terlalu berlarut-larut pada kehilangannya, memberi makan perasaannya tanpa memikirkan perasaan Janis yang saat itu sama hancurnya.

Sama seperti Janis, Bagas pun datang ke dunia ini tanpa disengaja. Ia datang setelah seorang wanita tua memberikannya tumpangan ketika Bagas sedang dalam masa pelariannya sebagai sorang buron. Wanita tua itu memberikan Janis sebuah gelang yang katanya bisa menyelamatkan ia dari masalah hingga tiba-tiba ia terbangun di sebuah tempat asing. Beberapa pekan pertama Bagas tidak suka, rasanya ia ingin segera pulang dan bertemu dengan putrinya. Namun semua itu sirna begitu tak sengaja Bagas bertemu dengan Ratu Elisa, sosok yang memiliki rupa sama seperti Sonia. Rindu Bagas pada Sonia mengalahkan semuanya, termasuk pikiran rasional Bagas yang tidak bekerja dengan normal karena enggan mengakui bahwa wanita itu bukanlah Sonia sungguhan.

Bagas mulai menatap hidupnya di Kota Valarion selama dua tahun lamanya, mencari tau tentang Ratu Elisa hingga akhirnya mereka bisa berinteraksi secara langsung. Namun melihat keberadaan Janis hari ini membuat kesadaran Bagas kembali sepenuhnya bahwa ia baru saja terlena pada hal-hal yang bukan seharusnya. Semua hal di dunia ini sudah diatur semesta, bagaimana peetemuannya dengan Sonia, pertemuannya dengan Ratu Elisa dan semua hal yang terjadi dalam hidupnya.

"Maaf, maafin ayah." Bagas memeluk Janis dengan sangat erat. Meredakan tangisan Janis yang malah semakin menjadi-jadi.

"Ayah gak perlu minta maaf sama Janis, Janis pasti maafin ayah. Tapi Janis minta, ayah pulang ya? Tempat kita bukan disini ayah. Wanita itu bukan ibu, ibu yang sebenarnya ada di dunia kita, nunggu ayah datang buat jenguk ibu."

Sementara Janis dan Bagas tengah mencoba mencari jalan tengah yang baik untuk keduanya. Elen yang kini tengah duduk di ruang tengah bersama Ratu Elisa pun terdiam kaku, matanya sesekali melirik hingga Ratu Elisa pun menyadari itu.

"Apa yang kau lihat?"

Elen cukup mengerti bahasa isyarat, ia pernah belajar dengan Janis dan Charlotte saat mereka masih kecil. "Tidak, hanya saja aku sedikit terkejut. Aku kira Ratu Alice bangkit dari kubur."

Ratu Alisa tertawa tanpa suara. "Semua orang yang melihatku pasti mengatakan hal yang sama."

"Kalian sangat mirip, tak ada bedanya."

"Kau mengenal kakak ku."

Dahi Elen berkerut. "Kakakmu? Maksudnya?"

"Aku adalah Elisa dan Kakak ku Alice. Kamu berdua saudara kembar, ia lahir sepuluh menit lebih awal dariku."

Fakta mengejutkan lainnya. Selain eksistensi Janis yang berasal dari dunia lain, Bagas yang juga sangat mirip dengan Raja Niel itu ternyata ayah dari Janis di dunia yang lain, kini Elen menerima info terbaru bahwa Ratu Alice memiliki seorang kembarang yang tak pernah terungkap.

"Namun aku belum pernah melihatmu?"

"Aku tinggal di desa, ketika Alice tiada aku menikah dengan Oliver dan hidup sebagai seorang ratu disana. Namun aku perlu bersembunyi karena masyarakat dan orang lain akan melihatku sebagai Ratu Alice..,"

"Lagipula ketika semua orang mengetahui kebenarannya, apa yang akan mereka katakan padaku ketika kenyataannya kembaran seorang Ratu Alice yang meninggal akibat insiden pengkhianatan menikah dengan dalang dibalik terjadinya insiden itu?"

"Apa kau bahagia?" Entah keberanian dari mana Elen tanpa ragu bertanya hal yang sepertinya tidak pantas ditanyakan ketika mereka saja baru bertemu dan berbicara hari ini.

"Aku percaya suatu saat nanti aku akan berakhir bahagia. Aku mencintai Oliver, tak peduli apa yang terjadi. Namun aku juga turut membenci pria serakah itu, sebab karena keserakahannya ia rela menghabisi nyawa kakak ku dan merenggut kehidupan normal ku sebagai gadis desa biasa."

Elen terdiam, tak mampu menimpali percakapan itu lagi. Ia menatap mata hazel Ratu Elisa lekat-lekat, tak ada sedikitpun kabut amarah yang menutupi matanya. Ia sungguh baik, tak ada dendam, tak ada amarah walau sepertinya ia tidak pernah diperlakukan baik oleh Raja Oliver.

Titik KoordinatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang