6. Do You Feel It Too?

69 12 17
                                    

Lusa Papa pulang.

Begitu pesan yang Deon terima dari Geo. Pemuda yang baru memasuki dunia perkuliahan itu menghela napas panjang.

Saat ini Deon sudah memasuki area perumahan nya setelah menempuh perjalanan selama 2 jam lebih dari Bandung ke Jakarta.

Mobil yang dikendarai Sofi sudah sampai didepan rumah berlantai dua, rumah yang sudah hampir 4 bulan tidak ia kunjungi.

"Kamu serius mau pulang kesini?" tanya Sofi yang sudah berulang kali melontarkan pertanyaan yang sama.

Deon mengangguk. "Juan butuh aku, Tan." Deon menjeda ucapannya. Ia menatap sekilas ke arah rumah nya, sebelum kembali menatap Sofi. "Aku egois, ya, Tan?"

Melihat keponakannya seperti ini membuat hati Sofi seperti ditusuk ribuan jarum tak kasat mata. "Enggak, kamu enggak egois. Setiap orang itu punya caranya sendiri untuk menyembuhkan luka nya. Mungkin cara kamu untuk menyembuhkan luka kamu dengan menjauh dari segala hal yang membuat kamu teringat sama luka itu. Gapapa, semua nya bakal baik-baik aja. Inget, kan, apa yang Mama kamu bilang, hm?"

Yang dikatakan Sofi memang benar. Selama ini Deon hanya berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Mungkin caranya memang salah, ia malah menelantarkan adiknya sendiri disana.

Deon tahu bukan dirinya saja yang terluka, dan Deon akui jika ia mengambil langkah yang salah.

"Makasih, ya, Tante. Makasih udah percaya sama Deon dan kasih tau Deon apa yang terjadi sebenernya. Pasti bukan keputusan yang mudah buat kasih tau Deon, kan?"

Sifat Deon benar-benar menuruni Fania. Dari mulai tutur katanya, penyampaian nya, dan kelembutan hatinya.

Sofi tersenyum lembut, ia mengusap rambut Deon. "Sama-sama, Tante percaya kamu itu anak yang kuat. Makanya Tante bilang semua nya sama kamu. Usia kamu juga sudah cukup buat memahami semuanya. Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Tante, ya? Rumah Tante selalu terbuka buat kamu."

Deon memeluk Sofi. "Makasih, Tante."

"Of course."

————— part six —————

Sesuai perkataan Deon, Juan menepati apa yang Deon perintahkan padanya. Ia tetap menunggu Deon untuk pulang ke rumah. Dengan berbekal selimut yang ia bawa dari kamar nya, ia membaringkan tubuhnya di sofa panjang depan TV.

Lampu ruang tamu sengaja ia matikan. Selain tidak bisa tertidur dengan lampu menyala, Juan sengaja agar Jihan tidak ikut bersamanya. Adik nya itu takut dengan gelap.

Hampir saja mata Juan tertutup akibat kantuk yang menyerang, sebelum akhirnya pemuda itu merasakan tepukan di pipinya.

Juan mengerjapkan matanya berkali-kali. Ruang tamu yang gelap membuatnya sulit melihat siapa yang membangunkan nya.

"Jangan tidur disini," katanya. Mendengar suara yang sangat Juan hapal, ia langsung terbangun.

"Bang Deon?" ucap Juan memastikan.

Deon melangkah ke arah saklar lampu dan menyalakan nya. Membuat ruang tamu terang seketika.

"Lo beneran nungguin gue?" tanya Deon tak percaya. Pemuda yang mempunyai gelar anak sulung itu melangkah mendekati adiknya, ia duduk disebelah adiknya yang menatap malah ke arahnya.

"Seenggaknya gue masih ngedengerin apa kata yang lebih tua."

"Aih," tawa Deon keluar, ia mengacak rambut adiknya. "Tidur sana, gue udah balik ini."

Unifying Imperfection [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang