10. Don't Want To Take Risks

54 9 6
                                    

Khanza bukannya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua orang tuanya. Pernah saat kecil, Khanza bertanya pada Fania tentang keberadaan ayahnya. Dulu dirinya iri ketika melihat teman-teman sebaya nya yang diantar oleh ayah mereka.

Khanza sampai bertanya-tanya, mengapa hanya ia yang tidak diantar oleh ayahnya? Setiap pembagian raport, disaat teman-teman nya datang bersama kedua orang tuanya, Khanza hanya datang dengan neneknya. Fania yang saat itu belum memiliki butik sendiri dan masih kerja sebagai guru kursus menjahit, tidak bisa mengantar Khanza karena bentrok dengan pekerjaannya.

Setiap Khanza bertanya tentang ayahnya, Fania hanya menjawab dengan senyuman dan elusan di kepalanya.

"Nanti kalau Aza sudah besar, Aza bisa ketemu sama Papa."

"Kenapa harus nunggu Aza besar? Teman-teman Aza yang masih kecil, tapi mereka bisa bertemu dengan ayah mereka."

"Karena Aza spesial. Aza punya hari khusus untuk bertemu Papa. Jadi Aza harus lebih banyak lagi bersabar, ya."

Saat itu Khanza hanya bisa mempercayai apa yang Fania ucapkan padanya. Tapi kemudian, saat umur nya menginjak 11 tahun, ketika ia terus menanyakan keberadaan ayahnya, untuk pertama kali ia melihat Fania menangis diam-diam dikamar, setelah mendengar ia terus menerus menanyakan sang ayah.

Umur Khanza sudah cukup mengerti apa yang terjadi diantara mereka. Tentang ayahnya yang tak kunjung pulang, ia yang tak pernah tahu siapa ayahnya, dan tidak adanya foto pernikahan mereka. Saat itu Khanza tahu bahwa kedua orangtuanya ... sudah tidak bersama lagi.

Maka dari itu, hari dimana ia melihat Fania menangis adalah hari terakhir dirinya menanyakan keberadaan sang ayah. Meskipun Fania selalu berkata bahwa ayahnya itu orang baik, tapi Khanza tidak lagi merasa kekosongan dikala ia tak bisa berjumpa dengan sosok yang diberikan julukan cinta pertamanya anak perempuan itu.

"Lo beneran diizinin ke Jakarta, Za?"

Khanza mengangguk dengan semangat. Senyum nya tak pernah luntur ketika ia menceritakan pada kedua sahabatnya bahwa ia diizinkan untuk pergi ke Jakarta saat libur semester nanti.

"Iya! Aza seneng banget tau!"

"Gue mau ikut, ah. Mau jadi barudak well," ucap Jordan.

"Boleh! Nanti kita kesana bareng-bareng! Marsha juga harus ikut! Wajib!"

"Gue, sih, mau-mau aja. Lagipula kita, nih, udah satu paket. Kalo yang satu mau pergi, yang lain harus ikut pergi."

"Tapi kalo pergi nya beda alam, mah, gue kagak mau. Sok aja duluan, kagak ngikut gue," kata Jordan dengan wajah tengilnya.

"Itu laen cerita, dodol."

Khanza tertawa mendengarnya celotehan kedua sahabatnya.

"Eh, ngomong-ngomong, entar kita naek apaan kesono nya? Gue kagak apal jalan ke Jakarta, aih." Pertanyaan dari Marsha membuat Jordan ikut mengangguk setuju.

"Iya, ya? Gue kagak bisa baca maps lagi."

"Sama, gue juga."

"Gwaenchana, yeorobun, gwaenchana. Don't worry about this, kita bakalan pergi sama Sultan! Dia nanti jemput kita kesini. Kan kita juga bukan sehari dua hari di Jakarta."

"Hah?!" Jawaban dari Khanza membuat kedua sahabat nya itu terkejut.

"Maksudnya kagak sehari dua hari naon?" tanya Jordan.

"Bentar-bentar, jangan bilang kalo kita bakal nginep dirumah Bang Sultan?"

Khanza mengangguk sambil tersenyum. "Betul."

Unifying Imperfection [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang