Seharusnya Fania tahu semua akan terbongkar suatu hari nanti. Sepandai apapun Fania untuk menyembunyikan nya, pasti akan ketahuan juga pada akhirnya.
"Kamu naik apa kesini? Kamu udah makan?" Mata Fania tak bisa berbohong. Dua manik kembar itu berkaca-kaca, pun dengan suara nya yang bergetar.
Tangan Fania mengusap pipi anak sulung nya. Anak yang ia tinggalkan selama 16 tahun lamanya.
Semenjak kedatangan nya ke kota Bandung, Deon sudah tidak bisa berpikir jernih. Banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada sosok dihadapannya ini.
"Mama ... "
Fania menggigit bibir bawahnya, ia langsung memeluk Deon. Menyalurkan rindu nya yang ia pendam. Begitu pun dengan Deon, meski ini pertemuan pertama nya dengan ibu kandung nya, tapi Deon merasa bahwa pelukan ini yang ia butuhkan sedari kecil.
"Mama, Mama, Mama, Mama," gumam Deon terus menerus di pelukan Fania.
"Iya sayang, ini Mama, ini Mama." Isak tangis Fania tak dapat terbendung lagi. "Maaf, maafkan Mama, sayang, maafkan Mama."
Deon menggeleng, ia melepas pelukannya dan menghapus air mata Fania. "Ini bukan salah Mama. Mama gak perlu minta maaf. Deon yang harusnya minta maaf. Maaf karena Deon belum bisa jadi anak yang baik buat Mama. Mama pasti kesusahan selama 15 tahun ini, kan? Sekarang Mama gak perlu khawatir, Deon bakalan selalu ada buat Mama."
"Maaf, karena keegoisan Mama dan Papa kamu, kamu dan adik kamu nggak bisa merasakan kasih sayang Mama. Maafkan kami, ya .. "
"Deon ngerti, Ma. Kalau dulu Deon udah besar, pasti Deon bakal ikut sama Mama. Deon bakal temenin Mama ngejalanin hari-hari sulit Mama."
"Ah, udah, dong! Liat, nih, aku jadi ikutan nangis!"
Fania dan Deon tertawa mendengar gerutuan dari Sofi. Deon ke Bandung tidak sendiri, ia ditemani oleh Sofi, Tante nya.
"Makasih, Sofi. Tanpa kamu, mungkin aku nggak bakal bisa ketemu sama anakku."
Sofi mendekat lalu memeluk wanita dengan hijab cokelat itu sekilas. "Itu udah kewajiban aku, Fan. Aku enggak mau anak-anak kamu punya pikiran yang enggak-enggak soal kamu. Dan aku rasa, Deon ini menuruni sifat kamu. Aku bisa liat dari wajah dia pas aku ceritain semua masalah yang terjadi dulu. Dia tenang banget nanggepin nya. Bener-bener turunan kamu," ucap Sofi yang disambut tawa oleh Fania dan Deon.
Mata Deon menatap rumah Fania. Rumah yang terlihat sederhana namun sangat asri. Di dalam nya pun benar-benar rapih. Ia seperti berada di rumah sendiri.
Dua manik kembar Deon mendapatkan satu bingkai foto yang disimpan didekat lemari TV. Disebelah nya banyak piagam dan piala kejuaraan lomba taekwondo.
"Ma, itu ... adik Deon?"
Fania mengangguk. Deon meminta izin untuk melihat foto mereka lebih dekat, pun dengan Sofi yang mengikuti.
"Cantik. Mereka berdua bener-bener mirip. Deon kayak liat adik Deon versi cewek."
"Iya, kan, Yon. Kayak pinang dibelah dua. Beneran mirip banget, waktu Tante pertama kali ketemu sama Aza aja kaget," timpal Sofi sambil terkekeh.
"Khanza Az-Zahra," gumam Deon menatap deretan nama yang tertulis di salah satu piagam kejuaraan taekwondo. "Nama nya cantik, nama adik Deon cantik kayak orang nya."
————— part three —————
Hari Selasa itu hari kesukaan Khanza. Karena di hari itu, kelas nya kebagian pelajaran olahraga. Tapi sayangnya, hari ini Khanza tidak bisa ikut olahraga karena sakit perut yang datang tiba-tiba. Mengharuskan ia berdiam diri di UKS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unifying Imperfection [✓]
RandomKhanza tidak pernah tahu apa yang sebenarnya semesta rencanakan pada tiap lika-liku kehidupan nya. Selama ini, kehidupan Khanza baik-baik saja. Ia bahagia walaupun hanya bersama Bunda dan Nenek nya. Sampai kemudian, kerinduan nya yang selalu ia ras...