22. After Painful Years

68 7 6
                                    

Khanza tidak tahu kapan terakhir kali ia terlihat menangis di depan orang lain. Semenjak Khanza melihat Fania sering menangis seorang diri di kamar nya tiap malam, ia menekan dirinya sendiri agar tidak menangis di depan semua orang, terutama di depan Fania.

Tetapi hari ini, saat ia melihat bagaimana kacau nya Fania, hati Khanza benar-benar hancur. Ia bisa melihat luka yang terpancar dari tatapan mata Fania. Gadis itu tak bisa menahan tangis nya ketika Fania memeluk dirinya, setelah mereka berhasil pergi dari kafe, menuju apartemen Deon.

Hari sudah malam saat mereka sampai di apartemen Deon. Setelah mereka bersih-bersih dan emosi mereka pun mulai tenang, mereka langsung istirahat di kamar Deon. Sedangkan sang empunya rumah sedang keluar untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan di pasak oleh Fania.

"Bunda," panggil Khanza.

"Mm?" Tangan Fania mengelus rambut Khanza, memeluk anak itu dengan erat.

"Dari sekian banyaknya manusia di muka bumi ini, kenapa harus Aza, Bunda?"

Suara Khanza sedikit teredam. Tetapi Fania tetap bisa mendengar dengan jelas.

"Kenapa harus Aza, Bunda?" ulang Khanza, dengan nada suara lirih menahan tangis.

"Sayang ... " Fania yang masih mengenakan atasan mukena itu melepas pelukannya. Di tatap nya wajah Khanza. "Allah itu percaya sama Aza. Allah yakin Aza bisa lewatin semua ini. Makanya, Allah kasih ujian ini sama kita, sayang. Kalau Allah aja yakin kita bisa lewatin ujian ini, kenapa kita malah nggak yakin dan berputus asa, hm?"

"Tapi kenapa harus, Aza ... " Mata Khanza bergetar, seiring dengan isakan yang lolos dari bibirnya.

Fania menahan napasnya sejenak. Anaknya ini bukan tipe anak yang gampang menangis. Bahkan Khanza terbilang tidak pandai dalam menyampaikan perasaan nya. Akan tetapi setelah kejadian yang terjadi hari ini, Fania bisa melihat bagaimana anaknya terluka.

"Karena Allah sayang sama Aza." Untuk kali ini, Fania tidak bisa menahan air mata nya untuk tidak keluar. "Allah sayang sama Aza, makanya Allah kasih ujian ini sama Aza. Allah pingin denger suara tangisan Aza ngadu sama Allah di tengah malem."

"Bunda, maaf —" Khanza terisak. "— maaf karena Aza nangis hari ini."

Fania menggeleng, wanita itu semakin menangis ketika mendengar permintaan maaf Khanza. Ia membawa Khanza kembali dalam pelukan nya.

"Aza, sayang. —Bunda seneng kalau Aza mau berbagi setiap perasaan yang lagi Aza rasain. Tolong setelah ini, jangan pernah pendam rasa sakit Aza sendirian lagi, sayang. Kamu enggak sendiri, kamu ada Bunda, Nenek, dan —dan kamu sekarang punya kakak."

"Aza takut, Bunda." Khanza menjeda ucapan nya sejenak untuk mengambil napas. Dada nya sesak akibat menangis. "Aza takut ngambil kebahagiaan orang lain. Aza enggak suka orang lain sedih gara-gara Aza."

Khanza bisa melihat bagaimana tatapan terluka di mata Juha setelah mengetahui fakta itu tadi sore. Ia juga bisa melihat Juha yang seolah merasa hancur saat mendengar ucapan dari Geo. Pun dengan Juan —yang terlihat tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.

"Kamu juga berhak bahagia, sayang."

"Aza udah bahagia sama Bunda dan Nenek. Aza enggak butuh apapun lagi."

Hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidup Khanza, ia tak menyukai Jakarta. Kota yang semula selalu membawa kebahagiaan pada Khanza ketika ia melihatnya, ternyata justru membawa luka yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Nyatanya, Bandung lebih bisa membuatnya merasa bahagia. Karena Jakarta adalah luka, dan Khanza salah sudah menyukainya.




Unifying Imperfection [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang