2. Too Naive

124 14 16
                                    

Sultan menstandarkan motornya. Ia membuka helm nya lalu mulai berjalan masuk ke dalam rumah yang ia datangi.

Menempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta bukan hal yang asing bagi Sultan. Sudah sering ia bulak-balik Jakarta - Bandung.

"Assalamualaikum."

Suasana di dalam rumah sangat sepi. Mungkin karena sudah sekitar jam 12 siang. Orang-orang disini sudah menjalankan aktivitas nya di hari Senin.

"Sepi amat kayak kuburan," gumam nya.

Melihat meja makan yang masih tersisa banyak makanan, Sultan melipir untuk makan sebentar. Ia sangat lapar, omong-omong.

"Mubazir banget, dah. Orang-orang disini emang suka banget buang-buang makanan. Yang tinggal cuman 3 orang bikin makanan nya satu RT."

Baru saja Sultan mau menyuapkan makanan nya, tiba-tiba datang seseorang dan langsung duduk di dekatnya. Membalikkan piring sambil mengambil nasi beserta lauk pauk.

"Belom makan lo?" tanya Sultan.

Gelengan dari pemuda itu menjawab pertanyaan Sultan.

Tak menghiraukan pemuda disebelah nya, Sultan melanjutkan aktivitas makan nya yang tadi sempat tertunda. Ia memakan makanan nya dengan nikmat. Maklum saja, ia lapar setelah menempuh perjalanan Bandung ke Jakarta.

"Udah berapa taun lo gak makan?"

Sultan melihat sekilas, lalu kembali fokus pada makanan nya sebelum menjawab. "Enam jam-an ada lah."

"Tumbenan banget lo nggak sekolah?" tanya Sultan kemudian.

"Adek gue sakit."

Mendengar itu Sultan menyunggingkan senyum miring nya. "Kembaran lo?"

"Hm."

"Kok lo nggak sakit, sih? Biasanya, kan, kalo anak kembar yang satu sakit, pasti yang satu nya juga ngerasain sakit, kan?"

Pertanyaan Sultan tak mendapat jawaban. Maka dari itu, Sultan menyudahi acara makan nya. Ia sebenarnya masih lapar, tapi ia perlu bicara serius dengan sepupunya ini.

"Lo enggak nyadar juga ternyata, ya?" ucap Sultan dengan menatap pemuda itu sepenuhnya.

Helaan napas panjang terdengar. Pemuda itu menyimpan sendok nya sedikit kasar. Menimbulkan suara nyaring diruang makan yang sepi itu.

"Enggak semua anak kembar kayak gitu."

Sultan terkekeh sinis lalu menggelengkan kepala nya sekilas. "Lo terlalu naif, Juan," ucap Sultan kemudian.

"Bisa enggak gak usah bahas ini lagi?" Pemuda itu —Juan— nada bicara nya terdengar jengah.

"Oh ya jelas enggak bisa. Ini bukan menyangkut lo aja, Ju. Dari dulu lo selalu tutup mata tentang hal ini. Padahal jelas-jelas lo tau ada yang ganjil dan lo malah —"

"Ya terus masalah sama lo apa?!" Nada bicara Juan mulai meninggi.

"Karena kalian keluarga gue, lah. Apa lo pikir gue bakal diem aja disaat ada yang nggak beres sama keluarga gue sendiri?"

"Maksud lo apa, sih?!" Juan berdiri. Menatap nyalang pada Sultan.

Sultan ikut berdiri. Emosi nya benar-benar menguar sekarang. "Lo nggak bakal paham. Dari dulu lo selalu denial sama semua nya. Dan gue nggak bakal bisa menjamin kalo pun lo tau yang sebenernya lo bakalan nerima gitu aja. Lo bakal denial lagi dan nepis semua nya. Gue terlalu hapal sama sifat lo, Ju."

Juan memalingkan wajahnya. "Jelas-jelas waktu itu lo juga tau kalo DNA nya akurat. Disini yang sebenernya tutup mata itu lo, bukan gue. Meskipun dia bukan kembaran gue, tapi kita satu ayah."

Unifying Imperfection [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang