Suasana ruang makan apartemen Deon yang menyatu dengan dapur, kini semakin ramai setelah tadi Juan dan Sofi yang ikut bergabung makan dengan mereka. Awalnya, Fania akan ikut makan, tetapi wanita itu justru memilih mengobrol dengan Sofi di ruang tamu, yang letak nya tak jauh dari ruang makan dan dapur.
Kini, Khanza benar-benar canggung berada di antara dua saudara nya. Bahkan ia tak bisa makan dengan tenang ketika Juan yang terus menerus menatap nya.
Jujur saja, Khanza masih belum terbiasa dengan ini semua. Apalagi fakta bahwa cowok yang ia temui beberapa hari lalu itu adalah kembaran nya. Semua terlalu tiba-tiba dan Khanza tidak mempersiapkan apa-apa.
Deon berdehem. "Aza, makan nya yang bener."
Khanza menatap Deon sekilas, lalu mengangguk.
"Lho, kalian belum selesai makan nya?" tanya Fania yang datang bersama Sofi.
"Azaaaaa." Sofi menghampiri Khanza lalu memeluknya dari belakang. "Keponakan Tante yang paling kuat, paling hebat," bisik Sofi, sembari memeluk Khanza. Khanza yang di bisiki seperti itu lantas tersenyum.
"Udah, kok, Ma. Cuman kita lagi ngobrol-ngobrol aja tadi," jawab Deon, yang di angguki oleh Juan.
"Ini makanan Aza, kok, belum habis?" tanya Fania, menatap Khanza.
"Aza udah kenyang."
Fania menggelengkan kepalanya. "Kebiasaan. Udah berapa kali Bunda bilang, kalo makan itu abisin. Kalo udah gini jadinya mubazir, kan."
Khanza meringis ketika Fania mengomeli dirinya. Memang, sih, Khanza ini paling susah jika di suruh makan. Sedangkan Fania tipe ibu yang ingin anaknya makan banyak.
"Juan masih laper, biar Juan aja yang abisin, supaya nggak mubazir," ucap Juan, mengambil piring Khanza yang masih belum habis.
"Eh? Gapapa, Aza aja yang abisin." Khanza mengambil kembali piring nya dari Juan.
"Gapapa. Gue masih laper."
"Jangan, Aza juga masih laper. Biar Aza abisin sendiri. Juan ambil lagi aja nasi sama ayam nya kalo masih laper."
"Enggak mau, gue mau yang lo aja."
"Enggak boleh! Kan ini punya Aza. Juan ambil lagi aja yang baru."
"Enggak. Pokoknya biar gue yang abisin."
"Aza yang abisin. Juan makan yang punya Kak Deon aja."
"Gue aja. Lo nurut aja, deh, sama gue. Kalo nanti perut nya sakit gara-gara di paksain makan gimana?"
"Tapi -"
"Eit, udah-udah. Kok kalian malah berantem, sih?" lerai Fania.
Deon dan Sofi yang melihat tingkah Khanza dan Juan pun langsung tertawa. Pertemuan Khanza dan Juan ini terbilang masih baru, apalagi setelah mereka mengetahui fakta yang sebenarnya. Tetapi tingkah mereka sudah seperti saudara yang tidak pernah terpisah sama sekali.
"Aza udah kenyang?" tanya Deon, setelah meredakan tawa nya.
Ragu-ragu, Khanza mengangguk. Ia sebenarnya sudah kenyang. Tapi ia tak enak jika Juan yang harus menghabiskan sisa makan nya.
"Udah," jawab Khanza dengan nada pelan.
"Tuh, kan! Udah, biar gue aja yang ngabisin," ucap Juan setelah mendengar jawaban Khanza.
"Haduh, Ya Allah, lucu banget, sih." Sofi tertawa, wanita itu melepas pelukan nya pada Khanza.
"Tapi Aza gak enak," ucap Khanza.
"Enakin aja," jawab Juan tak acuh lalu menyuapkan nasi dan potongan daging ayam yang tersisa di piring Khanza.
Fania menghela napas nya. Belum juga ada satu jam Juan dan Khanza bersama, tetapi mereka sudah seperti ini. Tapi tak ayal, Fania merasa senang saat melihat Juan yang menerima Khanza. Rasa bersalah kembali ia rasakan saat mengingat selama 15 tahun ini ia ikut andil dalam memisahkan anak-anak nya, terutama Khanza. Ia merasa bersalah pada Khanza karena sudah memisahkan nya dari kakak juga kembaran nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unifying Imperfection [✓]
RandomKhanza tidak pernah tahu apa yang sebenarnya semesta rencanakan pada tiap lika-liku kehidupan nya. Selama ini, kehidupan Khanza baik-baik saja. Ia bahagia walaupun hanya bersama Bunda dan Nenek nya. Sampai kemudian, kerinduan nya yang selalu ia ras...