4. Please Don't Selfish

86 12 5
                                    

Setelah akhirnya ia dijemput oleh Fania, Khanza hanya terbaring hampir dikamar. Ia sudah diberi omelan panjang lebar oleh Fania.

"Awas aja kalau Bunda liat kamu makan yang pedes-pedes lagi!"

Khanza hanya mengangguk, tak mengeluarkan satu kalimat pun.

"Kamu denger Bunda enggak, sih?"

"Denger," jawab Khanza pelan.

Fania memijat pangkal hidung nya. Anak gadis nya ini selalu saja membuat khawatir.

"Bunda bukannya marah sama kamu, sayang. Bunda cuman khawatir. Kamu tau, kan, Bunda sayang banget sama kamu. Bunda enggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aza cuman sakit perut, Bunda, bukan lagi sekarat."

"Astagfirullah, itu mulutnya! Tadi juga Marsha sama Jordan cerita sama Bunda, kamu ngomong nya malah ngelantur kesana kemari. Kenapa, sih, sayang? Gak boleh gitu. Gimana kalau tadi ada malaikat lewat dan nulis omongan kamu itu, hah? Udah punya amal berapa banyak kamu buat pulang menghadap Allah?"

Fania tidak bisa menahan gejolak amarah nya. Ia takut jika Khanza berbicara seperti itu. Sadar telah berlebihan memberi Khanza wejangan, Fania mendekat kemudian memeluk putri kesayangannya.

Khanza yang dipeluk seperti itu langsung membalas pelukan Fania dengan erat.

"Maafin Bunda, ya? Bunda cuman gak mau anak Bunda sakit. Bunda sedih liat nya."

Khanza mengangguk. "Aza yang salah, maafin Aza juga, ya, Bunda."

Gemas dengan sang putri, Fania menggoyangkan tubuh Khanza ke kanan dan kiri dalam pelukan nya. "Anak siapa, sih, ini?"

"Anak Bunda Fania Pauline!"

"Masya Allah."

Tanpa mereka sadari, dibalik pintu yang tidak tertutup sepenuhnya, ada Deon yang diam-diam memperhatikan. Dari awal Khanza pulang dan dibawa masuk oleh Fania, Deon mengendap-endap memasuki rumah Fania yang tak terkunci. Pemuda itu melihat bagaimana interaksi ibu dan adik bungsu nya.

Andai saja ia bisa ikut bergabung kesana, pasti ia akan ikut memeluk mereka berdua. Bukan disini; berdiri memperhatikan mereka.

"Cepet sembuh, adik kecil."

————— part four —————

Seharusnya Juan sudah bisa bersekolah hari ini, tapi tiba-tiba adiknya, Juhana, justru malah kembali jatuh sakit. Padahal semalam demam anak itu sudah turun.

"Makan." Juan memberikan bubur pada Juha yang baru ia ambil dari ART yang sudah menyiapkan nya.

Juha menolaknya, ia menggeleng lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. Juan yang melihat itu hanya bisa menghela napas kasar.

"Kamu mau sembuh nggak, sih?"

"Pait, gak suka." Suara Juha tidak terlalu jelas akibat tertutupi selimut yang tebal.

"Yang penting kamu sembuh. Makan dulu ini, abis itu minum obat."

"Pait, Abang ~ Juha enggak suka."

Dengan memendam seluruh emosi yang ingin ia keluarkan, Juan duduk dipinggiran kasur Juha. "Makan. Abang suapin."

Diam-diam Juha tersenyum dalam selimut nya, ia kemudian dengan segera duduk dan membuka mulut nya. "Aaa, suapin Juha! Suapin! Aaa."

"Manja," cibir Juan dengan kekehan diakhir.

"Biarin, kan, manja nya sama Bang Ju aja. Kalo Bang Deon nggak mau manjain Juha."

Juha menerima suapan pertama nya, ia tak kesulitan menelan bubur yang tak ada rasanya itu. Jadi cukup cepat bubur itu habis.

Unifying Imperfection [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang