Mobil Farhan —suami Bella— sudah memasuki kawasan perumahan Sofi. Setelah tadi Fania dan Bella pulang dari kafe, Farhan langsung menjemput Bella. Karena mereka satu arah dan sama-sama menuju ke rumah Sofi, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang bersama, karena tadi Fania datang ke kafe menggunakan taksi.
"Iya, Sof. Aku bentar lagi juga nyampe, kok. Tapi Aza udah gapapa, kan?"
"Aza udah baik-baik aja, kok. Dia udah tidur."
"Syukur Alhamdulillah kalo gitu. Ya udah, aku tutup telpon nya, ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi."
Fania menyimpan kembali handphone nya ke dalam tas kecil, sebelum tadi sempat mengirim chat singkat pada Sofi.
"Khanza, Ni?"
Fania menoleh ke arah Bella yang duduk di samping nya. Ia lalu tersenyum. "Iya. Katanya tadi Aza —" Fania menjeda ucapan nya dengan menghela napas. "—biasa lah, anak bungsu ku itu emang beda dari kakak-kakak nya."
"Eh? Kenapa?"
Mendengar pertanyaan dari Bella yang seperti nya ingin tahu lebih banyak membuat ingatan Fania seolah tertarik kembali ke masa-masa saat ia pertama kali mengetahui bahwa Khanza tak bisa mengendalikan emosi nya. Tahun-tahun yang berat untuk Fania adalah saat Khanza tak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan. Bahkan ketika ayah Fania meninggal, Khanza hanya diam dan tak menangis.
Maka dari itu, saat kemarin Geo datang dan memberitahu Khanza yang sebenarnya, Fania benar-benar takut. Dan yang ia takutkan pun terjadi hari ini; emosi Khanza diluar kendali nya. Dulu, saat ayahnya masih ada, beliau yang selalu menenangkan Khanza saat emosi Khanza tidak stabil akibat anak itu memendam perasaan kesal dan marah nya.
Mungkin saat itu ayah Fania sudah memiliki firasat bahwa umur nya tak lama lagi, tepat sebulan sebelum ayah Fania wafat, beliau merekam dulu suara nya untuk Khanza jika anak itu kembali sulit mengendalikan emosi nya. Dan rekaman suara itu benar-benar membantu Khanza setiap anak itu tak bisa mengendalikan emosi nya. Bahkan Fania, ibu Fania, Sultan dan kedua sahabat Khanza mempunyai rekaman suara ayah nya untuk berjaga-jaga.
"Aza itu sulit untuk mengekspresikan perasaan yang dia rasakan, Bel. Dia jarang sekali menangis. Seingat ku, terakhir kali Aza menangis saat umur 10 atau 11 tahun, aku agak lupa. Bahkan saat tahun kemarin kakek nya meninggal, anak itu gak menangis sama sekali. Cuman tatapan matanya gak bisa bohong, aku tau anak itu ingin sekali menangis." Fania menjeda ucapannya sejenak.
"Makanya saat kemarin Mas Geo datang menemui Aza, aku takut, Bel. Dan akhirnya hari ini kejadian apa yang aku takutkan. Aza selalu memendam emosi dalam dirinya. Tapi di saat emosi itu sudah benar-benar tak bisa lagi dia pendam, dia akan melampiaskan pada orang terakhir yang membuatnya kesal. Kalo kata Sofi, Aza kesal karena Riki. Perasaan Aza emang lagi nggak baik-baik aja. Makanya dia langsung ngeluarin emosinya," lanjut Fania, terkekeh di akhir kalimat.
Genggaman tangan Bella semakin mengerat di tangan nya. Fania tahu, pasti Bella masih merasa bersalah. Maka dari itu, Fania memberikan senyuman teduhnya.
"Maaf, Nia. Seharusnya aku —"
"Udah, gapapa. Itu udah lewat. Lagipula kita udah saling memaafkan."
"Maaf sebelumnya. Ini blok rumah nya nomor berapa, ya? Takutnya kelewat," ucap Farhan pada kedua wanita yang duduk di kursi belakang itu.
"Nomor 51. Nah, itu kan di depan ada pertigaan, kita belok kanan abis itu nanti ada rumah lantai dua warna abu-abu yang pager nya tinggi. Itu rumahnya," jelas Fania memberi instruksi pada suami Bella.
"Aku deg-degan banget, Ni. Gimana kalo Sofi masih marah sama aku?"
Fania berdecak pelan. "Ya, enggak dong, Bel. Udah, kamu tenang aja, ya. Niat kamu, kan, baik cuman mau jemput Juha, bukan nyari huru-hara." Tawa Fania mengudara, di ikuti oleh tawa Bella yang ikut keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unifying Imperfection [✓]
RandomKhanza tidak pernah tahu apa yang sebenarnya semesta rencanakan pada tiap lika-liku kehidupan nya. Selama ini, kehidupan Khanza baik-baik saja. Ia bahagia walaupun hanya bersama Bunda dan Nenek nya. Sampai kemudian, kerinduan nya yang selalu ia ras...