22. Hujan dan Doa

6 0 0
                                    

Rintikan hujan membasahi aspal yang aku dan Gara pijak. Kami sama-sama menatap tetes air dari langit yang terus turun. Aku berdecak sebal, seharusnya kami sudah menapakan kaki di tempat makan daerah Jakarta Selatan atau bahkan seharusnya aku sudah menggigit bebek goreng menu favorite di tempat makan bilangan Jakarta Selatan. Tapi justru kami masih terjebak dan meneduh di salah satu kios daerah Senen, Jakarta Pusat.

Aku mengamati orang-orang di seberang yang meneduh seperti kami, ada yang terdiam sambil menatap hujan, ada yang sibuk dengan ponselnya entah mengabari siapa, ada yang mengobrol dengan teman, ada juga yang sedang menggunakan jas hujan hendak melanjutkan perjalanan. Aku menatap ke sandal putih yang kukenakan, di beberapa bagian terciprat air dan kotor. Aku menggerutu dalam hati, coba aja laki-laki di sampingku ini nurut dikasih tau berangkat jam sebelas, pasti sekarang perutku sudah kenyang makan bebek goreng dan tentunya lagi tersenyum senang.

Sejak resminya hubungan kami sebulan lalu, satu fakta baru yang kuketahui tentang sifat Sagara, ia cukup keras kepala jika menurutnya benar dan itu cukup membuatku kesal. Di minggu pertama, kami berdebat karena Rio melaporkan ia suka sekali kebut-kebutan dan ugal-ugalan di jalan.

Ketika kuperingkatkan, dengan santainya dia bilang, "Kan jalanannya sepi, jadi kecepatannya aku sesuain. Lagian kalau lagi sama kamu, aku nggak pernah sekencang itu."

Dengan wajah yang kesal, kujawab, "Sepi? Itu banyak tikungan, kalau ada mobil atau motor tiba-tiba lewat dan lagi ngebut juga gimana?"

Sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya, ia menjawab santai "Nggak, kamu jangan suka mikirin kemungkinan-kemungkinan negatif, itu belum tentu terjadi yang ada kamu stress sendiri."

Jawabannya sukses membuat emosiku naik dan mataku menyalang, "Heh! Hidup tuh nggak selalu positif yang terjadi, kamu harus mikirin kemungkinan buruk yang terjadi. Keenakan ya selalu dapat hal baik? Jadinya sukanya ngegampangin." kataku ketus.

Katakan aku emosian, tapi aku nggak suka sama orang yang selalu menggampangkan sesuatu. Gapapa berpikir positif, tapi nggak ada salahnya kan berhati-hati? Terlebih ini soal keselamatannya juga.

Wajah Gara tertegun sepertinya tak menyangka dengan responku, "Maaf, ke depannya aku kurangin kebut-kebutan." jawabnya.

Lihat? Coba dari awal jawabannya seperti itu, aku tak perlu menarik urat kan?

Genggaman tangan Gara menyadarkanku dari lamunan mengenai perdebatan tempo hari dan membuatku kembali menatap hujan yang turun.

"Kesel ya? Maaf ya harusnya tadi aku dengerin yang kamu bilang minta jalan jam sebelas." katanya pelan sambil menatapku.

Aku hanya menganggukkan kepala, bingung merespon apa. Mau marah juga ia udah sadar sama kesalahannya. Jadi buat apa?

“Kalau kesel sama aku gapapa tumpahin aja.” katanya lembut dan menenangkan yang entah mengapa membuat hatiku menghangat dan tersentuh.

Nggak bisa aku tuh diginiin. Mau marah jadi tersentuh.

Aku menatap matanya yang kini menatapku dengan senyuman, “Nggak ah, kalau aku tumpahin, nanti tandukku muncul terus kamu kabur.” jawabku meledek yang membuatnya terkekeh.

“Maunya aku nggak kabur biar sama kamu terus ya?” tanyanya dengan senyuman jahil sambil menaik turunkan alis. Dasar narsis!

“Saya merasa dijebak sama masnya.” jawabku sambil mendengus yang membuatnya tertawa kencang.

Sontak saja tertawanya membuat beberapa orang menatap ke arah kami yang membuatku memelototi Gara, sedangkan ia memasang wajah santai tanpa rasa bersalah.

Saat akan mencubit perut Gara, hujan semakin turun dengan deras disahuti dengan kilatan dan suara geluduk yang membuatku bergidik. Mataku memicing melihat dua perempuan yang berboncengan di motor dan baru saja berhenti untuk meneduh, usianya sepertinya tak berbeda jauh dan wajah mereka mirip. Sepertinya adik kakak.

"Tuh kan basah! Kan tadi udah dibilang kamu aja yang pake jas hujan." ujar perempuan berambut panjang yang saat ini sedang membuka jas hujannya sambil melihat ke arah perempuan berambut pendek di belakangnya, baju biru yang dikenakannya basah lepek. Lucu sekali, seperti tikus kecebur got, kutebak itu adalah adiknya.

"Kalau aku pake jas hujan, nanti kakak pake apa? Kan kakak yang di depan, kakak yang bawa, ya kakak yang harus pake." ujarnya sambil merapikan rambutnya.

Benar kan, mereka adik kakak.

"Ya biarin aja, emang kenapa? Haduh, nanti kamu sakit mana mau UTS." katanya cemas menatap adiknya yang saat ini terlihat santai.

"Lah kakak juga mau ujian." jawabnya.

Perempuan berbaju hitam yang kini sedang melipat jas hujan menautkan alis, "Ujian apa? Orang kakak udah kerja." jawabnya bingung.

Sang adik tertawa, "Ujian kehidupan. Setiap hari lagi." katanya.

Aku ikut tersenyum tipis mendengar percakapan mereka dan jadi membayangkan, pasti suasana rumah mereka selalu hangat, dihiasi celotehan, debatan dan gelak tawa. Terbayang wajah orang tua mereka yang hanya menanggapi dengan tawa setiap kali melihat putri-putrinya berdebat khas adik kakak. Andai aku diberi kesempatan memiliki keluarga seperti itu. Tapi justru kebalikannya, aku tidak dekat dengan kakak ku dan jauh dari keluarga besar. Pokoknya definisi keluarga cemara itu tidak ada di keluargaku.

Tapi tunggu, ralat, aku sudah merasakan memiliki kakak kok. Kak Leta, kakak kelas yang dekat denganku, ia memberikan figur yang selama ini kuimpikan. Perempuan berwajah oval dan beralis tebal tersebut merupakan definisi kakak yang sempurna menurutku. Namun sikap dinginnya belakangan ini sejujurnya sangat mengganggu pikiranku. Hmm, jadi kangen kak Leta.

"Kenapa?" tepukan dari Gara di pundakku dan suara lembutnya berhasil membuatku kembali ke dunia nyata.

"Eh, gapapa." jawabku singkat.

"Katanya kalau lagi hujan terus kita doa, terkabul tau. Mau nggak doa bareng?" tanyanya sambil tersenyum.

Inilah Gara. Ia selalu bisa melihat sisi positif dari setiap yang terjadi. Hal kecil sekalipun. Ia selalu bisa menjadikan kesulitan menjadi ladang untuk menanam kebaikan. Dan senyumnya yang menghadirkan ketenangan di hatiku. Senyum yang mampu membuatku ikut tersenyum juga.

Aku menganggukkan kepala dan mengangkat tangan yang langsung ia balas dengan senyuman lebar dan ikut mengangkat tangan juga.

"Dalam hati ya." katanya yang kuangguki.

"Yuk mulai." ujarnya lagi.

Aku memejamkan mata, "Ya Allah, semoga aku diberikan kekuatan baru setiap harinya, semoga makin bijaksana setiap keputusan yang aku ambil. Ya Allah, aku kangen kak Leta, kayak kak Leta yang selalu bikin aku bahagia karena memiliki kakak, semoga Engkau berikan kebahagiaan berkali lipat untuknya. Ya Allah, aku sayang Gara, semoga Gara selalu sama aku sampai kapanpun." kataku dalam hati lalu kembali membuka mata.

Aku menengok ke arah Gara yang sudah membuka mata dan melihatnya yang sedang tersenyum. Kami bertatapan berapa detik, lalu ia bilang "Aamiin." yang kuiikuti dengan aamiin juga di dalam hati.

Ada perasaan hangat, tenang dan senang yang menyelusup dan menyeruak. Beginikah yang teman-temanku rasakan jika sedang bersama pacarnya? Semua hal sederhana menjadi istimewa. Senang, bahagia dan rasanya ada kupu-kupu yang berterbangan di perut.

Tuhan, bolehkah kuberharap bahagia dan rasa tenang ini hadir di hatiku selamanya?

Tell Me, Why? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang