25. Fears

7 0 0
                                    

"Sheen." panggil Gara sambil menepuk pundakku yang membuatku tersadar dari lamunan.

Aku menatap ke laki-laki yang saat ini menggunakan polo shirt berwarna putih, "Kamu kenapa sih kok kayak murung gitu?" katanya yang kujawab dengan gelengan pertanda tidak apa-apa.

Gara mengangkat alisnya seperti tidak percaya namun terlihat enggan untuk bertanya kembali. Aku menyeruput es teh di hadapanku sambil menatap kosong ke arah jalanan cafe. Beberapa orang berjalan sambil membawa tas di tangan dengan langkah yang terburu-buru, di seberang jalan ada beberapa perempuan dan laki-laki paruhbaya yang berdiri di depan dagangan mereka sambil bercengkrama. Pemandangan di hadapanku membuatku semakin sadar bahwa seburuk apapun hari yang dialami, waktu akan terus berjalan dan orang lain pun akan tetap menjalankan kehidupan.

"Kamu nggak mau cerita apapun ke aku?" tanya Gara yang membuatku menatapnya.

Sejujurnya aku bingung ingin menceritakan dari bagian mana. Semua bagian terlalu menyakitkan untuk diingat.

"Gapapa kalau belum mau cerita. But just for you know and remember, aku ada di sini loh untuk dengerin kamu kapanpun." katanya yang membuatku tersenyum tipis dan hatiku menghangat.

Laki-laki di sampingku ini entah mengapa selalu paham bagaimana harus memperlakukanku bahkan di kondisi seperti ini. Bahkan perkataannya berhasil membuatku yang sedang gusar menjadi cukup tenang.

"Aku dari keluarga yang divorsed. Mungkin kamu juga sadar aku cuma cerita tentang Mama, Mama dan Mama karena memang aku cuma tinggal berdua sama Mama. Di antara keluarga besar Mama lainnya, keluargaku yang paling ekonomi menengah ke bawah, nggak kurang, cukup. Tapi nggak kayak Om dan Tante lainnya yang punya segalanya. Mungkin itu sebabnya aku selalu diperlakukan beda sama keluarga besar Mama, semua yang aku lakuin selalu salah walaupun aku benar, nggak boleh ini nggak boleh itu dan banyak omongan mereka yang nyakitin perasaan aku yang nggak akan pernah bisa aku lupain. Aku nggak bisa ngerasain hangatnya keluarga di keluarga Mama, mustahil aku pulang dari rumah mereka tanpa tangisan saking ada aja omongan dan perlakuan yang bikin aku sakit hati." kataku kemudian menghela nafas panjang, hatiku sesak rasanya.

"Mama punya satu anak sebelum punya aku, sebenarnya aku banyak naro harapan di orang ini yang katanya kakak aku, aku juga pengen kayak anak-anak lainnya yang bisa ngadu apapun ke kakaknya, dibela, disayang dan diperhatiin. Bukan kayak gitu yang aku dapat, tapi justru dia bikin keluarga Mama benci sama aku dengan banyak cerita karangannya seolah-olah dia menderita dan aku yang jahat. Keluargaku sendiri yang bahkan ngebuat aku ngerasa sendirian dan nggak pantas."

Nafasku tercekat, sesak di dadaku semakin menikam. Rasanya benar-benar sakit. Aku meremas tanganku sendiri, berusaha mencari kekuatan untuk melanjutkan cerita.

"Aku nggak pernah mau sedih, tapi setiap malam aku selalu mikirin ini dan ujung-ujungnya nangis. Aku capek harus terus sedih dan nangis karena hal yang sama." kataku sambil menghela nafas.

"Kalau ngeliat keluarga orang lain yang utuh, aku seberusaha itu untuk ikut bahagia juga. Tapi aku nggak bisa bohong, kalau aku juga pengen punya keluarga kayak gitu. Kadang aku nanya ke Tuhan, dari sekian banyak manusia kenapa aku nggak terpilih untuk punya keluarga yang utuh dan saling sayang? Kenapa dari sekian banyak orang, harus aku yang ngerasain diasingkan bahkan sama keluarga sendiri?" tanyaku pelan yang tanpa sadar membuat air mataku menetes.

Tangan Gara bergerak menggenggam tanganku, hangatnya menjalar ke seluruh tubuhku yang beku. Aku menunduk menatap meja di hadapanku dan terdiam, bulir air mata yang tadi sudah menggenang, kini jatuh ke kayu meja di hadapanku. Aku terdiam beberapa saat berusaha mencari kekuatan untuk melanjutkan cerita.

"Sampai akhirnya kakak kelas aku, namanya kak Leta masuk ke hidup aku. Dia baik banget. Dia ngisi posisi Kakak yang selama ini aku idam-idamkan. Dia perhatiin aku, seringnya dia galak cuma karena perkara aku belum mandi, telat makan atau begadang. Tapi itu yang aku butuh selama ini. Dia punya dua adik perempuan, kebayang nggak harus perhatiin aku yang cuma orang lain? Aku respect dan naro hormat ke dia, benar-benar kayak adik ke kakak, mungkin itu juga yang bikin aku gampang nurut kalau dia yang ngomong. Setelah dia datang, aku mulai jarang mikirin perlakuan keluarga Mama dan Kakak aku. Mungkin nggak banyak yang bisa aku ceritain tentang kesedihan aku ke dia, tapi aku selalu ngerasa terlindungi dan ada yang membela setiap kali dia meluk aku. Kehadiran dia, bikin aku berpikir lagi kalau Tuhan baik. Tuhan nggak tidur untuk mendengar semua harapan aku untuk punya Kakak. Karena sekarang Tuhan hadirkan kak Leta, definisi kakak yang sempurna untuk aku." kataku sambil tersenyum dan Gara saat ini ikut tersenyum.

Tell Me, Why? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang