23. Bita

4 0 0
                                    

Di sinilah kami sekarang, di sanggar balet bilangan Jakarta Pusat. Jangan tanya aku sedang apa di depan bangunan berwarna putih ini, tadi hujan mulai reda namun kami tak melanjutkan perjalanan ke Blok M untuk makan bebek, sudah terlanjur siang dan sudah lapar jadilah makan bakso tepat di seberang kami meneduh. Saat selesai makan siang di Daerah Senen, tiba-tiba kakak sepupu dari Gara telepon meminta bantuan menjemput anak semata wayangnya di sanggar balet, volume ponsel Gara saat menerima panggilan sangat jelas dan cukup keras sehingga aku bisa mendengarnya. Aku tau saat itu Gara hendak menolak sepertinya gak enak sama aku, tapi aku memberi isyarat untuk mengiyakan tugas negara tersebut.

Sepanjang perjalanan, aku diceritakan oleh Gara betapa aktif, bawel dan usilnya Bita, keponakannya yang akan kami jemput. Yang paling membekas di kepalaku adalah saat ia cerita, "Kamu tau gak, piala ranking satu aku kan ukurannya lumayan gede, sama dia dicopotin, katanya mau dipake buat dijadiin tongkat main penyihir-penyihiran sama temannya." dan itu sukses membuatku tertawa.

"Tapi dia pintar, ngerti sama yang orang lain ucapin. Dewasa sebelum waktunya karena bang Ferdi, papa Bita meninggal. Jadi udah biasa berdua sama Mamanya, namanya kak Ghea, kakak sepupuku." katanya sendu yang membuatku ikut sedih mendengarnya.

Sebelum jalan menuju ke sanggar balet ini, Gara juga sempat memperlihatkan foto si kecil Bita yang saat ini berusia lima tahun yang sedang dikuncir dua, menggunakan jepitan berwarna biru, kulitnya putih dan pipinya chubby. Gemas, benar-benar gemas.

Jadilah aku di sini sekarang bersama Gara, berdiri di depan pintu utama menunggu Bita. Terlihat di kanan dan kiri kami beberapa orang tua muda yang sepertinya menunggu anak mereka, kami sepertinya satu-satunya anak sekolah, seperti anak kecil yang sedang menjemput anak kecil. Aku melirik ke arah Gara yang saat ini memasang wajah santai. Sementara aku dengan senyum lebar tak sabar berkenalan dengan si chubby, Bita.

Tak lama, pintu terbuka lalu anak-anak kecil berkeluaran dengan langkah senang. Gara melambaikan tangannya pada seorang gadis kecil yang langsung disambut gadis itu dengan larian kecil ke arah Gara.

"Om Garaaaaaaaa!!!!" serunya sambil berlari ke arah Gara yang dibalas dengan pelototan oleh Gara.

"Jangan lari-larian nanti jatuh." kata Gara memperingatkan.

Gadis kecil yang saat ini menggunakan stocking, rok tutu dan leotard berwarna pink berdiri di hadapan kami sambil tersenyum lebar. Manisnya.

"Om, Tante ini siapa?" tanyanya pelan ke arah Gara saat sadar ada aku di sebelah Gara. Pertanyaannya membuatku tersenyum tipis.

"Peri. Nggak liat ada sayapnya?" tanya Gara santai yang membuatku mendelik sementara Bita mengerjapkan matanya sambil menatapku. Lucu sekali.

Bita bergerak memutariku dan melihat ke tubuh belakangku, lalu menatap Gara, "Mana, Om? Kok Bita nggak bisa liat?" tanyanya dengan wajah yang sangat penasaran yang membuat Gara tertawa.

"Emang cuma orang tertentu yang bisa liat sayapnya Tante. Cuma Om doang yang bisa liat." jawab Gara yang membuat Bita memicingkan matanya, terlihat sekali seperti berpikir.

"Coba Bita ajak kenalan." ujar Gara lagi dan otomatis membuat Bita langsung menatapku.

"Tante, ini Bita. Nama Tante siapa?" gadis kecil yang rambutnya dicepol ini, menatapku sambil tersenyum lebar. Manisnya.

Aku menunduk lalu jongkok sambil melihat Bita dengan tersenyum, "Salam kenal, Bita. Nama Tante, Sheena." ujarku.

"Tante Sheena, aku mau kayak om Gara yang bisa liat sayap Tante." katanya sambil menatap wajahku dan melihat ke arah belakangku bergantian.

Dasar Gara!

Gara ikut jongkok di hadapan Bita sambil memegang lengan Bita, "Bita bisa liat kalau Bita udah kenal Tante Sheena lebih dalam." katanya pelan yang membuatku menatap Gara.

Sepertinya aku mulai paham ucapan ngawur Gara akan kemana.

"Maksudnya, Om?" tanya Bita sambil mengerjapkan mata yang membuatku terfokus pada bulu matanya yang lentik. Sepertinya satu keluarga besar Gara memiliki bulu mata yang panjang dan lentik deh. Mulai dari Gara, kak Sara, sekarang Bita.

"Sama kayak yang Bita ceritain waktu itu, katanya Bita punya teman yang nyebelin, pas Bita kenal ternyata hatinya baik. Nah yang bisa liat kebaikannya cuma orang-orang yang kenal lebih dalam kan?" tanya Gara.

Serius Gara berbicara seperti ini ke anak umur lima tahun? Emang Bita ngerti?

Bita menganggukkan kepala seolah-olah paham lalu tersenyum, "Ohhh jadi Tante Sheena itu peri tanpa sayap ya, Om?" tanya Bita santai yang membuatku kaget.

Bita benar-benar pintar dan mengerti maksud yang tersirat. Sepertinya ia memang benar-benar dewasa sebelum usianya. Hatiku terenyuh melihat Bita, rasanya aku semakin ingin mengenalnya lebih dalam, menjelajahi isi kepala dan hatinya. Aku mengerti sekali, karena dari keluarga yang divorsed, jauh dari keluarga besar, di paksa dewasa sebelum waktunya, meskipun Bita lebih beruntung karena memiliki keluarga besar seperti Gara, tentu aja pasti tak mudah untuk anak seusianya, saat anak-anak lain dijemput oleh orang tua mereka, sementara Bita hanya dijemput oleh Mamanya dam sekarang Gara.

Laki-laki di sampingku yang saat ini menggunakan baju berwarna hitam tersenyum sambil menganggukkan kepala, "Bita pintar." kata Gara.

Bita langsung menanggapi, "Memang." jawabnya percaya diri sambil tertawa yang membuatku ikut tersenyum.

Gadis kecil ini seperti penyejuk hati. Ia mampu membuat orang lain ikut tersenyum hanya karena ia tersenyum.

"Tante, suka es krim?" tanyanya ke arahku yang otomatis kujawab dengan anggukan cepat.

Bita tersenyum dan matanya bersemangat, "Sama, Bita juga!" katanya lagi.

"Oh yaaa? Es krim apa yang paling Bita suka?" tanyaku dengan senyum merekah.

"Strawberry!" serunya girang yang membuatku ikut bahagia.

Tanganku tergerak untuk mengusap pipinya, "Tante beliin ya buat Bita." jawabku yang langsung diangguki dan membuatnya loncat kegirangan.

Aku menatap Gara yang saat ini sedang tersenyum. "Selamat menyelami dan mengenal lebih dalam satu persatu keluargaku, semoga aku bisa ngasih kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah kamu rasain." bisiknya pelan yang membuatku terenyuh dan membuat mataku berkaca-kaca.

Kebaikan mana yang kulakukan sampai dibalas dengan hadirnya laki-laki yang sangat sempurna ini, Tuhan? Laki-laki yang memberikan cinta seteduh, setenang dan sebahagia ini.

***

Tell Me, Why? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang