30. Bulan dan Langit

1 0 0
                                    

Kakiku mengikuti langkah kaki Gara di tangga rumahnya yang menuju ke rooftop dan di sinilah kami sekarang, di atas atap rumah Gara, mataku mengedarkan pandangan ke rooftop ini, rooftopnya terlihat seperti tidak terawat. Sangat terlihat dari bangku busa berwarna merah yang warnanya kusam seperti terkena hujan namun tidak diganti dan beberapa tanaman yang mati. Sayang sekali, padahal tempat ini bisa sangat berguna untuk quality time bersama keluarga, apalagi keluarga ini termasuk ke dalam kategori keluarga cemara.

"Jarang pada kesini ya?" tanyaku melirik ke arah Gara yang langsung diangguki olehnya.

Aku mengambil sebuah kain yang sudah tidak terpakai di sudut rooftop lalu bergerak menuju ke arah kursi berwarna cokelat yang sudah berdebu dan membersihkannya. Setelah bersih, aku duduk begitupun dengan Gara.

"Sayang tau ada space kosong yang bisa kepakai tapi jarang digunain."  tuturku pelan.

Laki-laki di sampingku menjawab, "Makanya kamu sering kesini, kalau kamu sering kesini, nanti kita kumpulnya di sini sama kak Sara juga, ajak Kayla sama Rio juga kayaknya seru." katanya terkekeh.

Ide bagus sih tapi kebayang nggak kalau ada perempuan metal macam Kayla akan jadi seberisik apa? Akan seramai apa karena mulut usilnya? Akan seheboh apa karena tingkahnya? Walaupun perlu kuakui Kayla adalah perempuan yang bisa mencairkan suasana, suasana yang sunyi pun akan menjadi hidup jika Kayla ada.

"Haduh kayaknya tempat yang seharusnya syahdu dan nenangin gini akan jadi berisik kalau ada Kayla." cibirku yang langsung membuat Gara tertawa.

Aku dan Gara sama-sama menatap bulan purnama dari rooftop rumah Gara. Bulan yang terlihat gagah dengan sinarnya yang mampu memberi cahaya pada seluruh penjuru bumi. Menyinari gelapnya malam dengan indah tanpa pamrih.

"Kamu--kayak bulan itu." ucapku sambil tetap melihat ke arah bulan.

Gara melirik ke arahku dan tidak menjawab apapun, mungkin ia pikir aku sedang bercanda dan tak serius. Tapi sebenarnya aku serius. Ia benar-benar seperti bulan yang menyinari malamku yang redup. Ia dan kehadirannya memberikan warna dan bahagia baru yang sebelumnya tak pernah kurasakan bahkan kupikir bahagia ini tak pernah ada untukku.

"Kamu kayak langitnya, si ruang luas untuk semua. Bulan, bintang, matahari, hujan dan angin. Secerah dan segelap apapun yang akan dikasih, langit tetap kuat dan teguh ada di atas sana." katanya yang berhasil membuatku yang tadi menatap bulan tanpa henti menjadi menatap ke ruang luas yang mengelingi bulan yaitu langit.

"Dan sampai kapanpun kamu adalah langit yang kucintai cerahnya, mendungnya, badainya, petirnya, pelanginya. Dan semua yang ada di diri kamu, Sheen." katanya lagi.

Mataku berkaca-kaca lalu menatap ke arah Gara, laki-laki yang kini berhasil mengisi dan tinggal di hatiku. Retina kami bertemu dan suasana senyap mendadak bisu. Gara tetap dengan tatapan teduhnya persis seperti tatapan tante Hesti.

Dicintai sepenuhnya beginikah rasanya?

Lidahku kelu untuk menjawab kalimat Gara, aku mengadahkan wajah menatap ke arah bulan kembali. Begitupun Gara. Kami sama-sama terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Sheen, kalau kamu dikasih dua permintaan sama Tuhan dan akan dikabulin, kamu mau apa?” tanya Gara tiba-tiba.

Aku semakin memandang langit di atas sana, yang entah apa yang ada di atas sana, “Yang pertama, masuk surga tanpa hisab. Yang kedua, meninggal.” jawabku singkat.

Kulihat dari ujung mataku, laki-laki di sampingku menengok menatapku, “Kenapa kamu mau kayak gitu?”

Tanpa menengok ke arahnya dan tetap melihat ke arah awan, “Ya siapa sih Gar yang nggak mau surga?” tanyaku padanya.

“Bukan, kenapa pilihan kedua kamu mau meninggal?” tanyanya.

Mataku yang tadinya menatap ke arah langit menjadi menatap Gara kemudian bertanya “Emang kenapa?”

Wajahnya terlihat tanpa ekspresi dan pias “Ya orang lain bisa milih mau hidup bahagia, punya rumah bagus atau yang lainnya, masa kamu mau meninggal?” katanya datar.

Aku menelan ludah, kuarahkan pandanganku dan memilih untuk menatap kakiku sendiri, “Aku capek Gar.”

Lagipula kalau udah dijamin bisa masuk surga untuk apa aku hidup terlalu lama? Tentu aku memilih kebahagiaan yang sifatnya kekal. Rasanya lelah kalau harus terus hidup di dunia yang tidak pasti ini. Hidupku seperti terombang ambing dan setiap kali rasa senang datang, aku selalu khawatir, rasa sedih apa lagi yang akan kudapat?

“Kehadiran aku nggak merubah rasa capek kamu sama hidup?” tanyanya lagi, ada rasa kecewa dari nada bicara Gara yang membuat hatiku entah kenapa terasa seperti terhantam.

Bukan, bukan seperti itu. Kuakui semenjak ada Gara, ada warna baru di hidupku. Rasa bahagia ini yang sebelumnya belum pernah kurasakan dan kupikir nggak akan kurasakan, ternyata bisa kurasakan. Hanya saja aku takut. Sekarang aku bisa bahagia karena kehadirannya, aku takut suatu saat akan sangat terpuruk karena perubahan atau mungkin kehilangannya.

“Nggak gitu.” lirihku sambil tetap melihat ke arah kakiku sendiri.

Apa Gara kecewa?

Hening. Tak ada yang berniat membuka suara. Tenggorokanku rasanya kering, mulutku pun seperti terkunci.

Gara mengubah posisinya menjadi menghadapku, lalu memegang tanganku yang membuatku menjadi menatapnya, “Yauda gapapa kalau kamu tetap ngerasa capek sama hidup, berarti usaha aku buat bikin kamu bahagia harus lebih keras lagi.” katanya sambil tersenyum yang membuat hatiku semakin sesak.

Kasiannya Gara harus terpenjara sama perempuan yang banyak ketakutannya seperti aku. Apa ya yang Gara liat dari aku? Dia masih bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih bisa membuatnya bahagia tanpa beban.

“Maafin aku ya.” kataku sambil menggenggam tangannya erat.

Gara menggelengkan kepalanya, “Stop, udah nggak usah dilanjutin minta maafnya. Dan kalau kamu sekarang ngerasa bersalah dan mikir, aku nih harusnya bisa dapat lebih dari kamu, buang pikiran itu jauh-jauh karena aku maunya sama kamu.” katanya lagi seolah tau apa yang ada di pikiranku.

Tuhan, bagaimana aku tidak semakin mencintai laki-laki ini dari hari ke hari?

Mataku memanas dan hendak menangis, “Terimakasih ya udah memilih menyayangi aku perempuan yang rumit ini. Terimakasih juga untuk hari ini, aku jadi tau dan bisa ngerasain keluarga cemara.” kataku tulus.

Gara memegang pundakku, “Aku yang harusnya terimakasih. Kehadiran kamu bikin aku jauh lebih berpikir dan bersyukur akan banyak hal.” katanya tersenyum.

Jika ada manusia yang bisa menyayangiku dengan segala kekurangan yang sudah ia tau tentangku selain Mama, itu adalah Sagara.

Tak lama suara pijakan kaki di tangga membuatku dan Gara melihat ke arah tangga, kak Sara disusul bang Putra ikut naik.

"Yuhuuuuuu couple goals dataaanggg!" seru perempuan beralis tebal yang tak lain tak bukan adalah kak Sara.

"AH ELAH, GANGGU AJA! Lo kan bisa pacaran di teras, ngapain sih kesini?" gerutu Gara sambil berdiri dan menatap ke arah kakak perempuannya dengan tatapan membunuh.

Sisi lain Gara sebagai adik yang sedang kesal dengan kakaknya muncul membuatku tertawa.

Seolah nggak mau kalah oleh adiknya, Kak Sara langsung bersidekap tangan di dada, “Waaaahhhhh lo lupa selama ini yang selalu ngeganggu pas gue pacaran itu siapa? Sekarang waktunya gue gantian lah.” katanya menantang.

Kini dua adik kakak saling berhadapan dan bertatapan seperti akan perang. Sementara bang Putra hanya tersenyum santai, seolah perdebatan adik kakak di hadapannya ini sudah biasa.

Okay, selamat menonton pertunjukkan perang adik kakak, Sheena.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tell Me, Why? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang