5

420 31 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Dengan roti ditangannya, Raena meraih tas punggung nya yang sebelumnya ia letakkan diatas pantry.

"Bunn, Bunda dimana? Raena mau pamit," ujar Raena mencari kearah depan.

Ternyata Riana sedang menyiram bunga-bunga yang ia koleksi berbagai jenis.

"Ayah belum siap loh, mau kemana sih buru-buru banget," balas Riana melangkah mendekati Raena yang ada di teras.

"Raena piket Bun, Ayah juga lama banget bangun nya, Raena pergi duluan aja deh," terang Riana meraih tangan Riana untuk ia salim, tak lupa kecupan kecil untuk pipi kiri, kanan, dan dahi Riana. Kebiasaan nya sebelum pergi kesekolah.

"Hati-hati ya nak." Peringat Riana menatap lembut Raena yang berjalan menuju gerbang.

"Iya Bunnn, Raena pergi ya! Bubay!" Pekik Raena melangkah keluar dari pekarangan rumahnya.

Perlahan Riana menduduki kursi yang ada disana.
Riana tersenyum, anak satu-satunya  sudah tumbuh menjadi gadis cantik.

Entah kenapa hati nya sangat ingin menamai anaknya Raena, namanya yang dulu.

Melihat Raena, Riana dibawa melalang buana kemasa lampau. Tak terasa ternyata ia sudah melalui semuanya selama 36 tahun, menginjak angka umur yang sudah tak muda lagi, Riana rasa ia semakin bahagia.

Ternyata benar, tidak ada yang mustahil di dunia ini, yang dulunya ia kira, ia akan terus menderita, kini ia sudah mendapatkan apa itu yang namanya kebahagiaan.

Bahkan ia sudah dikaruniai seorang gadis cantik, pintar, ramah, intinya hampir sempurna. Raena Caesar.

Setiap hari ucapan syukur selalu terlintas dibenaknya.

"Bun, Ayah pergi dulu ya," ujar Al yang tiba-tiba sudah ada disampingnya.

Riana menoleh melihat sang suami yang sedang memakai jam tangan silver dengan susah payah.

Ia berdiri meraih jam itu berniat untuk membantu memasangkan benda itu.

"Yah," panggil Riana.

"Hm?" Balas Al yang menatap lekat Riana yang sedang membantunya memakaikan jam tangannya.

"Satu Minggu lagi, Darren ulang tahun...yang ketujuh belas," lanjut Riana lalu menatap wajah Al, kala ia sudah selesai dengan aktivitas nya tadi.

Karena sudah tau topik apa yang akan dibahas, Al menuntun Riana untuk kembali duduk di kursi yang ada di teras.

"Kamu mikirin perjodohan itu lagi Bun?" Tanya Al menatap Riana yang menatap ke arah depan, bertanya meski ia sudah tau jawabannya.

"Udah berapa kali aku bilang,
kalau kamu kalau nggak bisa, nggak usah—"

"Aku mau nepatin janji aku," potong Riana cepat.

"Kalau kamu terpaksa nggak usah, nggak baik, ini bukan main-main," peringat Al dengan nada lembut.

"Nggak, bagaimana pun Kartika yang udah nemenin aku bertahun-tahun, dia yang selalu ada buat aku setelah Kamu,"

"Aku juga nggak tega Yah, lihat Darren yang bukan sekali dua kali diabaikan sama Devano, aku nggak tahan sama sikap Devano yang seolah-olah nyalahin Darren," sambung Riana dengan mata yang berkaca-kaca.

"Dari kecil dia nggak pernah di kasih sayang yang penuh sama Devano, kalau emang dia nggak bisa, jangan dibawa jauh dari kita, biar aku aja yang ngerawat,"

"Jadi demi kebaikan Darren, aku mau nepatin janji aku, aku nggak mau buat Kartika sedih diatas sana, dan aku juga mau, Darren ngerasain gimana punya Ibu, karena hidup tanpa kasih sayang ibu nggak enak kan? Kita udah ngerasain sama-sama,"

"Cuman ini cara yang bisa buat Devano mau balik lagi ke kota ini,"tutup Riana.

Al termenung, setelah mendengar semua penjelasan Riana, ia mengangguk setuju, hidup tanpa ibu itu memang menyakitkan.

Meskipun Kartika bukan sahabat karibnya, tapi ia juga bisa merasakan yang sama apabila anaknya selalu diabaikan.

"Aku setuju, seminggu lagi lebih baik kita lebih dulu ngasih tau ke Devano isi surat itu, jangan ke Darren, siapa tau ada hal yang nggak harus Darren tau, nanti aku coba hubungin Devano, mungkin dia bakalan setuju-setuju aja karena nggak terlalu peduli sama Darren," ujar Al mengusap lembut rambut Riana.

"Yaudah Ayah ini pergi dulu ya Bunda, mau nyari duit demi sesuap nasi dulu," ujar Al sembari terkekeh.

Riana terkekeh lalu mengangguk.
"Omongan mu Yahhh, kayak mau kerja keras banting tulang aja," balas Riana meraih tangan Al yang disodorkan sang pemilik, setelah mencium tangan sang suami. Berbalik ia menerima kecupan lagi dan lagi dia seluruh wajahnya, suaminya memang sedikit berlebihan dari anaknya.

"Dahhh Bunda." Ucap Al lalu pergi melangkah.

Riana tersenyum menggelengkan kepalanya, meskipun sudah jadi bapak-bapak, Al ini tak berubah juga selalu bucin dimana pun.

Teringat hari ini ia ingin mendatangi rapat dengan penerbit bukunya, cepat-cepat ia masuk kedalam untuk bersiap-siap, bisa-bisa nya ia lupa.




"Ya santai dong, gue juga nggak mau kayak gini," balas Raena mulai terpancing emosi.

Yang terjadi sekarang adalah, kelompok nya batal presentasi karena bahan presentasi yang lupa dibawa Raena, ini memang kesalahan nya, tapi ia tak terima terus dipojokkan.

"Tapi ini salah lo Raenaaa, kelompok kita jadi nggak jadi presentasi, apa gunanya kita buat bahan presentasi bagus-bagus kalau akhirnya jadi kayak gini," sahut teman sekelompok nya yang lain.

"Ya gimana rumah dia jauh, sedangkan ini mapel pertama, nggak ada guna juga, lagian udah berlalu, nggak usah debat lagi," ujar Reva menenangkan.

"Jangan mentang-mentang Raena temen lo, lo bela dia Rev," balas Selin, orang yang paling tidak terima dari tadi.

"Yakan dia udah minta maaf Sel, udahlah satu nilai kosong nggak langsung mati kan?" Ujar yang lain ikut membela Raena yang kini menunduk merasa bersalah, mukanya juga memerah menahan malu, hari ini hari sial.

"Serah lo pada deh, makan tuh temen sekelompok lo yang si paling berguna," ujar Selin lalu pergi keluar.

Semuanya menghembuskan nafas kasar, lalu pergi ke kursi masing-masing.

Reva memegang pundak Raena.

"Are you okay?"  Tanya Reva, yang hanya dibalas anggukan oleh Raena.

"Gue ke kantor guru dulu ya, tadi di panggil Pak Boby," ujar Raena beralasan.

"Perlu ditemenin?" Tawar Reva.

"Nggak usah, kayaknya lama, nanti lo jadi kayak gembel disana," ujar Raena terkekeh canggung.

"Yaudah deh, dahh, gue mau ngerjai pr PKN dulu," ujar Reva, Raena mengangguk lalu pergi.

Ia ingin menenangkan pikiran dulu, lama kelamaan ia sudah mulai suntuk dengan tugas-tugas yang tiada hentinya memborbardir dirinya setiap hari, bisa-bisa ia akan gila.

Ia ingin menenangkan pikiran dulu, lama kelamaan ia sudah mulai suntuk dengan tugas-tugas yang tiada hentinya memborbardir dirinya setiap hari, bisa-bisa ia akan gila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





𝐂𝐀𝐂𝐓𝐔𝐒 𝐂𝐎𝐔𝐏𝐋𝐄 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang