43

160 15 1
                                    

Darren menuruni tangga dengan perlahan, meskipun semalam dia berada di ambang kematian, tapi disini lah ia sekarang di dapur hendak mengambil sarapan nya dengan seragam lengkap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Darren menuruni tangga dengan perlahan, meskipun semalam dia berada di ambang kematian, tapi disini lah ia sekarang di dapur hendak mengambil sarapan nya dengan seragam lengkap.

"Mas Darren?!" pekik Mala melihat tuan muda nya sudah rapi dengan seragam sekolah nya.

"Kenapa Bi? Astaga bikin kaget aja," tanya Darren.

"Kamu ngapain?!" tanya Mala penuh penekanan.

"Hah? Sarapan lah ini," jawab Darren polos.

"Bukan masalah ituu! Ini ngapain udah pakek seragam aja? Kamu mau sekolah? Kamu nggak ingat tadi malam kamu kenapa ha?!" kesal Mala.

"Elah Bi, kirain kenapa," balas Darren lalu kembali melanjutkan sarapan nya.

"Nggak, nggak! Ganti baju kamu sekarang, bibi nggak bolehin kamu sekolah, inget kata dokter Hamza? Kamu harus istirahat total!" titah Mala dengan wajah khawatir.

"Nggak Bi, bentar lagi Papa dateng, mending aku sekolah aja," jawab Darren lalu membuang nafas nya kasar.

"Kamu nggak usah khawatir, ada bibi, pokoknya kamu nggak boleh pergi," larang Mala lagi dan lagi.

"Nggak Biii. Cukup, aku nggak mau nanti jadi Bibi lagi yang disalahin, nanti gaji Bibi lagi yang terancam, atau bahkan nanti Bibi nggak sengaja kena Papa lagi, aku nggak mau itu terjadi," tolak Darren, lalu meneguk segelas air putih dan bangkit dari duduknya.

"Darren pamit ya," pamit Darren.

"Kalok nggak kuat di sekolah telfon supir, jangan ditahan-tahan, bawa mobil aja, jangan bawa motor lagi," peringat Mala mengusap lengan Darren lembut.

"Iyaaa Bi, yaudah Darren pergi yaa," pamit Darren tersenyum hangat lalu melangkah pergi menuju garasi.

Meskipun ia tak punya Ibu, ia masih beruntung bisa merasakan kehangatan seorang ibu dari pembantu kesayangan nya sejak kecil.

Mala, pembantu nya yang sudah rentan. Darren belum siap kalau Mala akan pulang ke kampung halamannya jika sudah tak sanggup lagi bekerja, karena pada saat itulah ia akan merasakan kesepian yang sesungguhnya.
Ia sama sekali belum siap.

***

"Brow, sendiri aja? Beneran di bully nih ceritanya?" tanya Rudi teman sekelas Darren.

"Bacot, sana lo!" usir Darren karena ia benar-benar terganggu dengan suara laki-laki itu, dari hari-hari sebelumnya tak jemu-jemu mengejek dirinya perihal peringkat nya yang menurun. Sialan memang.

"Wess santai dong, bahkan temen akrab lo si Revan sampe pindah tempat duduk ke belakang, nggak mau deket-deket sama lo. Parah banget sih," kompor Rudi, Darren pun melirik Revan yang sedang bermain ponsel di kursi paling belakang, padahal sebelumnya kursi Revan itu di depan nya. Tapi biarlah Darren pun tak peduli.

"Lo sih keliatan banget nyogok nya, ogah lah dia temenan sama lo lagi. Kemarin-kemarin peringkat 1 eh bulan ini malah peringkat 22 kebanting banget," lanjut Rudi tertawa, bahkan beberapa teman nya yang mendengar ucapan Rudi pun ikut tertawa kecil.

𝐂𝐀𝐂𝐓𝐔𝐒 𝐂𝐎𝐔𝐏𝐋𝐄 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang