Pasar Wetan

351 17 20
                                    

Desa Pasar Wetan, kecamatan Cikajang, Garut, pertengahan Oktober 2005. Suasana malam mencekam menyelimuti desa yang dikenal begitu tenang dan damai. Terlalu hitam dan kelam. Pintu dan jendela rumah di sekitar desa itu tertutup dan dikunci oleh penghuninya. Padahal waktu baru saja menunjukkan pukul tujuh tepat. Belum terlalu malam sebenarnya. Bintang gemintang di atas sana tertutup oleh kegelapan awan. Cerah yang ditelan hitamnya malam. Kosong dan pekat. Merasa waspada, di dalam rumah, penduduk desa Pasar Wetan berinisiatif untuk menyalakan TV atau radio dengan volume yang cukup memekakkan telinga, mencoba menutupi rasa takut yang tak kunjung hilang dengan meramaikan udara dengan suara. Sebagian lainnya berdoa sepanjang malam diiringi isak tangis.

Kegelapan malam berpadu dengan rasa takut mendatangkan teror yang terasa mengguncang batin.

Dinginnya udara malam di desa Pasar Wetan menimbulkan spekulasi bagi roh-roh para leluhur yang mati membawa penyesalan. Tersiksa dan terjerembap di neraka, kesunyian yang terdampar untuk kemudian dijadikan sebagai alasan bagi mereka yang mati penasaran untuk mendatangi keluarganya, kemudian duduk di kursi kebanggaannya—yang biasa dijadikan tempat untuk merenung, memikirkan nasib yang tak kunjung membaik semasa hidupnya.

Namun ketakutan yang menyergap penduduk di desa itu, tidak dirasakan sama sekali oleh Sutrisno. Istrinya—Mira, sebentar lagi akan melahirkan. Sebuah kabar gembira. Tapi tidak bagi sebagian penduduk desa Pasar Wetan. Bagi mereka, kabar itu akan menjelma semacam kutukan yang tidak akan pernah pergi. Akan melekat abadi bersama mereka. Tapi Sutrisno tidak peduli. Kabar istrinya yang akan melahirkan, bukan bagian dari bencana apalagi kutukan, pikirnya. Ia banyak bercerita tentang kegembiraan pada tetangga sekitar. Tapi mereka seolah tidak ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan Sutrisno. Mereka yang mendengar kabar itu justru diliputi perasaan takut yang tidak mereka mengerti sama sekali dari mana sumbernya. Sebuah ketakutan yang terus menjalar dalam batin mereka. Seperti sebuah kengerian yang tengah mengintip dan siap meneror mereka pada saat yang tak mereka sangka.

Suasana desa Pasar Wetan benar-benar mencekam.

Semua penduduk merasa takut.

Mereka tidak peduli dengan kelahiran anak-anak dari pasangan Sutrisno dan Mira.

Mereka hanya ingin meninggalkan desa itu dan tidak akan pernah kembali.

Sesuatu akan terjadi. Malam ini.

Sesuatu yang sangat buruk dengan membawa wabah penyakit.

Ibu Badriyah, wanita paruh baya yang terkenal sebagai dukun di desa itu membantu persalinan Mira dengan doa-doa pilihannya. Caranya tidak manusiawi, tapi apa peduliku, pikir Sutrisno. Yang penting istriku bisa melahirkan dengan selamat. Persetan dengan mereka yang tidak memercayai istrinya dibantu melahirkan oleh dukun.

Banyak bermunculan binatang kecil merayap di dinding kamar tempat Mira menjalani proses kelahiran. Air yang baru dimasak berbau anyir dan terasa asin. Makanan yang dimasak sore tadi menjadi cepat basi. Tanaman di pekarangan menjadi layu. Tak pernah sekalipun desa Pasar Wetan mengalami kejadian mengerikan seperti itu. Semua bungkam. Takut berbicara satu sama lain karena dikhawatirkan akan mengundang datangnya wabah kutukan yang jauh lebih mengerikan.

Ini tidak biasanya terjadi!

Ada sesuatu yang menakutkan di desa itu! Semuanya harus pergi!

Mereka semua cemas. Menanti asal-usul yang tak jelas dari mana datangnya.

Dari pintu masuk kamar Mira, seorang pria berumur lima puluh tahun dengan wajah segar meski bertubuh kurus itu bergumam lirih pada wanita tua yang tampak gelisah menanti kelahiran menantunya. "Bu Nur, maaf, bisa ikut saya sebentar!"

Mereka berdua berbicara di dapur. Nyaris tanpa suara. Ruangan itu sangat dingin. Hening dan sunyi. Aroma tak sedap, atau lebih tepatnya seperti bau amis darah, seperti mengitari udara di langit-langit ruangan dapur itu.

Seperti ada sesuatu yang jahat bersemayam di dapur itu. Pria itu lantas berbicara dalam nada cepat. "Bu Nur, ada yang ingin saya bicarakan." Suaranya sedikit terganggu dengan rasa takut.

"Jadi begini, Bu Nur. Sewaktu saya berdiri di depan rumah ibu, dengan tidak sengaja, saya melihat ada sesosok bayangan besar di atas genteng rumah. Saya takut sekali, Bu." Ia merasakan badannya bergidik. Diam sejenak, pria itu celingak-celinguk, pandangannya menyapu dapur dengan sorotan mata ketakutan. Ia merasa ada sesuatu berdiri di sudut situ. Kemudian menambahkan, "yang mau saya tanyakan sama kepada ibu, apakah yang saya lihat di atas rumah ini, adalah manusia atau ...."

Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya langsung disambar oleh Bu Nur. "Saya tidak tahu, Pak RT!" Jawaban wanita tua itu bukannya membuat Pak RT merasa lebih tenang, namun justru sebaliknya. Ia lebih merasakan ketakutan. Suara Bu Nur pelan, namun mengandung perlawanan. Di telinga Pak RT malah terdengar menakutkan. Melihat sikap takut lelaki itu, wanita tua itu berkata kembali, "memang apa urusannya dengan Pak RT, kalau seandainya sosok yang Pak RT lihat itu adalah ....... setan?"

"Astaga!" Pak RT terperangah. Mukanya pucat seketika. Ia merasakan detak jantungnya berdebar sangat kencang. "Bu Nur yang saya hormati, saya harap penampakan bayangan besar itu tidak ada sangkut pautnya dengan—" Hembusan udara menerpa sekujur tubuh dua manusia itu secara tiba-tiba, masuk melalui ventilasi jendela, membuat keheningan menyatu dalam pusaran kegelapan malam.

Nur Romlah memamerkan senyuman misteriusnya pada lelaki itu. Tapi lelaki yang menjabat sebagai Pak RT itu tidak berani lama-lama memandang senyuman wanita tua itu. Ia berkata dengan kepala tertunduk menatap lantai, "baik kalau begitu, saya tidak akan mencampuri urusan ibu. Saya pamit sekarang."

"Apa yang kamu ketahui sebenarnya bukanlah urusanmu, Jajang Suherman!" Ketakuan yang tadi didengarnya dari suara wanita tua itu kini berganti menjadi teror. Tekanan suara Nur Romlah berkata mengandung ancaman ketika lelaki itu baru saja melangkahkan kakinya. "Itu urusan saya dan keluarga saya! Kamu mengerti, Jajang Suherman!" Bagi Pak RT, pernyataan wanita tua itu kurang lebih sebagai perintah yang terkesan memaksa.

"Ssssayaaa, permisi dulu." Ketika Pak RT tergopoh-gopoh pergi dari dapur, terdengar suara langkah-langkah kaki dari atap sana. Wanita tua itu kini merasakan ketakutan yang menyergap tamu yang baru saja diancamnya itu. Bulu romanya merinding. Setelah mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruangan gelap itu, cepat-cepat ia meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang. Dan dari langit-langit dapur turun sebentuk bayangan besar dan hitam dan mengikuti wanita tua itu.

Masuk ke dalam kamar, Nur Romlah melihat dua bayi yang terlihat jernih dan bersih, masing-masing digendong oleh dukun yang membantu persalinan dan anaknya—Sutrisno. Kedua bayi itu menangis dengan syahdu. Akhirnya menantuku memiliki anak juga, pikirnya.

Suara Sutrisno memecah kesunyian dan sejenak menghilangkan ketakutannya. "Ibu, akhirnya kami memiliki anak. Sepasang anak kembar." Ia menyerahkan bayi berjenis kelamin laki-laki itu pada ibunya sambil berkata. "Ini yang lahir lebih dulu, Bu." Sepasang mata bayi itu berwarna biru. Kemudian ia menoleh ke dukun yang berdiri di sebelahnya. "Dan yang satu lagi anak kedua, berjenis kelamin perempuan, mereka kembar, Bu, dan mereka hanya berbeda umur sekitar dua menit saja. Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" Suara putranya itu seperti nyanyian kebahagiaan di telinganya. Bayi yang digendong dukun beranak itu matanya berkilat-kilat bagaikan mutiara. Sudah besar nanti ia akan menjadi gadis cantik, pikir Nur Romlah.

Nur Romlah langsung memeluk putranya itu. Putra kesayangannya itu selalu menjadi bagian terpenting dari hidupnya. Apapun akan dilakukannya untuknya. Bahkan jika harus menjual jiwanya kepada Setan sekalipun.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang