Kembar

109 15 12
                                    

Setibanya di pasar, tampak Nur Romlah berdiri dan di sebelahnya menumpuk pelbagai macam barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari keperluan pribadinya. Tatapan Irfan awalnya tidak percaya, namun wanita tua itu memecahkan renungan lelaki itu. "Mas Irfan, tolong diangkat ya barang- barang ini!"

Semua barang-barang itu sudah dimasukkan ke dalam mobil. Tiba saatnya bagi Irfan untuk meyakinkan bahwa wanita yang diajaknya bicara ini adalah benar-benar Nur Romlah. Memangnya Nur Romlah ada berapa? Dan ia berkata, "Ibu Nur kapan pergi ke pasarnya?" Suaranya masih bergetar. Jauh lebih kuat dibandingkan getaran sebelumnya. "Tadi sewaktu kamu anterin Dana dan Dini ke sekolah." "Ibu naik ojek?" Irfan tahu kalau Nur Romlah tidak bisa mengemudikan mobil. 

"Iya. Saya kan tidak bisa menyetir mobil. Kamu meledek saya ya, Fan? Lagipula sebelum berangkat, barang-barang keperluan sehari-hari itu sudah saya pesan lewat telepon. Jadi saya tinggal membayar aja ke sana dan menelepon kamu untuk jemput saya. Kenapa emang, Fan? Kamu kayak orang ketakutan begitu. Habis dimarahin sama istrinya ya?" "Oh. Bukan itu, Bu Nur." Yang ada di dalam pikiran Irfan, bukan lagi Nur Romlah yang ada di dalam mobil bersamanya. Tapi Nur Romlah yang tadi ia jumpai di rumah. Sekarang ada lagi yang membuat pikirannya semakin runyam. "Maaf ibu jika saya tidak sopan bertanya seperti ini.

Sebelumnya ibu punya kembaran?" Ada lagi alasan yang dikemukakan Irfan dan ia harus mencari alasan untuk menemukan jawaban itu. "Nggak, Fan." Wanita tua itu heran. "Emangnya kenapa, Fan?" dan itu membuat Irfan semakin takut lagi.

Akhirnya ia menjawab, "nggak apa-apa, Bu." Tarikan napasnya terasa menyesakkan. Setelah itu Irfan tidak lagi bicara. Perasaan cemas membuat kerongkongannya sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Otaknya belum bisa mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Itu artinya ia harus memacu mobilnya lebih tenang lagi, tak ingin terjadi yang bukan- bukan sepanjang perjalanan ke rumah majikannya.

Setibanya di sana, mobil langsung dimasukkannya ke garasi. Setelah mesin dimatikan, ia turunkan barang-barang belanjaan majikannya itu dengan tangan gemetaran. Nur Romlah masuk ke dalam rumah, terus ke kamar untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia ke dapur membuatkan segelas kopi untuk sopirnya.

Tubuh Irfan masih bergetar. Sensasi ketakutan semakin tersumbat di tenggorokannya. Tidak ada yang harus aku takuti, pikirnya. Cukup lama ia memandang pintu masuk rumah keluarga Sutrisno ketika ia memutuskan untuk pergi dari situ dan terdengar suara wanita tua itu dari dalam. "Mas Irfan, jangan pergi dulu. Diminum dulu kopinya ya." Biasanya, setelah mengantarkan berbelanja, Nur Romlah selalu memberi uang pada Irfan. Mungkin di sebelah gelas kopi itu ada beberapa lembar uang untuk dirinya, pikir Irfan melangkah masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu.

Di dalam udara terasa dingin. Tapi tidak ia pedulikan. Semua terasa asing di dalam sini, pikir Irfan. Pandangannya menyapu ke segala arah. Jantungnya berdebar-debar. Sulit untuk memastikan, apakah wanita yang dijumpai tadi itu adalah Nur Romlah atau hanya ilusinya saja. Rasanya itu hanya pemikiran bodoh saja, pikirnya. Melupakan rasa takut itu, ia tenggak segelas kopi hangat dan kemudian ia nyalakan sebatang rokok. Tak ada uang upah untuk dirinya yang tergeletak di sebelah segelas kopi. Kosong. Menyedihkan. Hanya asbak dan sisa-sisa puntung rokok bekas Sutrisno berhamburan di sana. Sialan, pikirnya

Gelisah dan waspada kembali muncul di benak Irfan. Perasaannya semakin tak keruan. Rasanya seperti yang terasingkan saja duduk di ruang tamu itu. Adakalanya ia memikirkan sebab dan akibat mengapa itu bisa terjadi. Tapi ia tidak ingin berlama-lama duduk di situ lagi. Perasaan gelisah itu kian memanas dan terbakar dalam guratan ketidakinginan menunggu sesuatu yang tidak jelas. Akhirnya ia putuskan untuk pergi dari situ. Berlama-lama diam di rumah itu bisa membuatnya stres dan menjadi gila.

Tapi sebelum itu, ia ingin menyapa majikannya dulu. "Ibu Nur!"

Terdengar jawaban dari dapur. "Iya, Mas Irfan. Sebentar ya, saya berbenah-benah dulu." Suara wanita tua itu halus sekali.

"Saya mohon ijin pamit ya, Bu. Ditunggu istri di rumah.

Soalnya ada undangan yang harus dihadiri." "Iya, mas. Terima kasih ya."

"Iya, Bu Nur. Sama-sama. Mari." Ia sedikit kecewa karena tidak dapat sepeser pun uang untuk jajan rokok. Tapi tak apa-apa, pikirnya. Yang penting ia bisa segera pergi dari rumah yang lama-lama kian terasa asing untuknya.

Irfan baru saja bangkit dari duduknya untuk pergi dari rumah itu, ketika pintu kamar di bagian lorong menuju ruang tamu terbuka. "Mau ke mana, mas?" Nur Romlah menghampirinya dan tangannya menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah untuk Irfan. Tetapi Irfan tidak menggubrisnya. Justru ia merasa terkejut ketika melihat majikannya muncul di hadapannya.

Ia akhirnya berkata, "lho. Bukannya tadi Ibu Nur lagi di dapur?" Keheranan itu muncul lagi. "Kamu ini kenapa, sih, Mas?" Nur Romlah lama-lama kesal juga dengan lelaki gemuk ini. "Kok dari tadi aku merasakan ada yang berbeda sama kamu. Kelihatannya kamu ketakutan begitu ya, Mas?" "Bukan begitu, Bu Nur." Ia merasa tertantang untuk kembali menyatakan. "Tadi, barusan ini, selagi saya duduk minum kopi, terus saya sapa ibu dari ruang tamu, kedengarannya ibu lagi di dapur sedang berbenah-benah." "Ah masa sih. Dari tadi saya di dalam kamar kok.

Kamu ngantuk kali, Mas!" Nur Romlah memandang meja yang bersih tanpa segelas kopi sama sekali. "Dan juga, saya belum membuatkan kopi untuk Mas Irfan kok."

"Apa! Apa ibu Nur bilang!" Irfan merasa ujung lidahnya tercekat, lehernya terasa tercekik dan itu membuatnya ingin pingsan. Tapi ia paksakan untuk berkata, "ibu tidak membuatkan kopi untuk saya. Berarti yang barusan ngomong dari dapur sama saya siapa?"

"Kamu jangan nakutin saya, Mas. Kamu ini kenapa sih, Mas?" Sekarang giliran Nur Romlah yang tegang.

Dan Irfan pun kabur secepatnya tanpa menggubris sahutan majikannya dari belakang berteriak sekeras mungkin. Nur Romlah berdiri di ambang pintu melihat dan merenungkan sikap yang diperlihatkan sopir pribadinya yang mendadak menjadi aneh. Cukup lama ia merenung di pintu, sekali-kali kepalanya menoleh ke arah dapur, memastikan suasana yang sebenarnya tampak biasa-biasa saja seperti sebelumnya.

Suasana lorong menuju dapur biasa-biasa saja. Sesekali terdengar suara gerakan angin dari halaman belakang yang membanting pintu masuk dapur. Itu sudah biasa ia dengar, tidak ada ancaman apapun maupun sesuatu yang dapat menyebabkan dirinya terancam. Tidak ada keraguan bahkan ketakutan untuk kembali menyibukkan diri sekadar membunuh waktu.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang