Nur Romlah

98 15 15
                                    

Sudah jam satu dini hari, Nur Romlah masih belum tidur. Ia duduk di tepi ranjang sembari menonton acara komedi di TV. Sejak muda wanita tua itu memang sering begadang. Dokter yang memeriksa kesehatannya dibuat bingung tak kepalang dengan wanita tua itu. Tekanan darahnya stabil, kadar gulanya normal. Setelah memeriksa, biasanya dokter selalu berkata, "kesehatan ibu baik-baik saja. Tidak ada yang salah." Kemudian suara berikutnya terdengar misterius. "Apa sih rahasianya?"

Ia tidak pernah memikirkan sesuatu yang dapat membuatnya pusing. Menurutnya, hidup sudah susah, untuk apa dipersulit lagi. Apa pedulinya tentang cerita kesedihan orang-orang itu. Ia sering mendengar dan berhadapan dengan orang-orang lemah seperti itu. Menurutnya mereka jenis orang yang meminta dikasihani. Serba tak ingin dan apa-apa yang dikerjakannya, mesti harus ada imbalannya. Kalau sekali saja tidak diberi, hancur sudah perkara itu. Hidup tak ingin, mati pun tak mau, sebuah pepatah kuno yang kerapkali membayangi mereka yang pemalas dan bikin sempit dunia saja. Dasar tolol!

Dana dan Dini adalah perisai penyemangat hidupnya. Tidak lain maupun tidak kurang, sesuatu yang dapat membuat dirinya akan hidup lama. Barangkali abadi. Itu pemikiran yang bodoh. Tapi untuk Nur Romlah, memang benar adanya. Kalau kita selalu berpikiran tenang meski di sekeliling banyak jenis orang-orang yang kacau, mungkin keabadian itu akan kita dapatkan, demikian pemikiran Nur Romlah. Baginya seribu tahun hidup di dunia bukanlah sesuatu yang mustahil di tengah kekacauan kehidupan yang makin hari semakin tidak keruan saja. Untuk itu ia sengaja menghindar dari keramaian. Ia tidak pernah bersosialisasi dengan warga sekitar. Banyak para warga sekitar yang bertanya perihal keberadaan dirinya pada Sutrisno. Tapi seberapa banyak pertanyaan itu keluar, selalu dijawab anaknya itu dengan sopan. "Ibu baik-baik saja di kamarnya. Beliau memang suka menyendiri, tidak terlalu suka ke luar rumah dan lebih suka bermain dengan cucu-cucunya."

Jam setengah dua dini hari, kelopak mata wanita tua itu semakin berat. Dilihatnya TV menjadi buram, padahal TV-nya bermerek bagus dengan harga yang mahal pula. Tapi bukan ... bukan TV itu yang membuat pandangannya menjadi kurang awas. Ia mulai mengantuk. Tapi sebelum tidur, ia ingin mengecup kening kedua cucunya. Rasanya seperti mencium madu saja. Rasanya setelah mencium, ada keyakinan yang mendadak berpikiran bahwa hidupnya akan abadi selamanya.

Ia buka pintu kamar, terus melaju ke kamar cucunya. Kamar Dini bersebelahan dengan kamar Dana. Awalnya Nur Romlah heran dengan pintu kamar Dini yang terpentang lebar berikut lampu kamar yang terang benderang menjilati sekujur tubuhnya, membuat matanya untuk beberapa saat menjadi mengabur. Ia hampiri Dini yang nyenyak bersama dengkurannya yang halus. Begitu lembut. Bahkan Nur Romlah sanggup mendengar dengkuran lembut itu sampai matahari terbit. Atau barangkali ia rekam suara dengkuran cucunya itu dengan alat perekam. Tapi sayangnya ia tidak punya alat itu. Setelah mengecup kening Dini, ia matikan lampu, keluar ke kamar sambil menutup pintu dan sebelum pintu itu tertutup rapat, ia mengintai dari celah sampai akhirnya daun pintu itu merapat.

Ia beralih ke kamar Dana. Alangkah bahagianya masih sanggup berjalan kaki ke kamar cucu-cucunya untuk kemudian mencium mereka sepuas hati, demikian ia berpikir. Pintu ia buka, udara dingin menyergap sekujur tubuhnya. Jendela masih dalam keadaan terbuka. Anak lelaki memang selalu ceroboh, pikirnya. Bagaimana kalau nanti ada orang yang sampai masuk ke dalam dan kemudian Ia berhenti memikirkan akan kemungkinan lain yang mengerikan itu. Cepat-cepat ia menuju jendela dan menutupnya, mengunci, menggeser gorden, berbalik dan duduk di tepi ranjang anak lelaki itu yang tertidur nikmat tanpa terbungkus selimut.

Ia hamparkan selimut itu pada tubuh Dana, dan di saat bersamaan, hasrat ingin tersenyum bahagia itu mulai memancarkan kasih sayangnya yang selalu ia dambakan. Setelah mengecup kening cucunya, ia bangkit dan berjalan santai meninggalkan ruangan itu. Seperti biasanya, sebelum daun pintu itu tertutup rapat, Nur Romlah mengintai anak lelaki itu dari celah sambil tersenyum hangat.

Ia baru saja akan menutup rapat daun pintu, ketika di sudut ruangan kamar yang gelap itu, sesosok bayangan hitam berdiri. Daun pintu ia buka perlahan-lahan. Awalnya ia menganggap itu hanyalah kegelapan. Sedikit-sedikit ia mulai mengamati dengan awas. Seperti tubuh yang besar berdiri di sudut, ia buka lebar-lebar daun pintu itu dan meraba-raba stop kontak yang terpajang tepat di dekat kusen pintu. Lampu menyala dengan pucatnya, Nur Romlah melihat tiang gantungan pakaian.

Merasa lega dengan apa yang dilihatnya, ia matikan lampu, kemudian menutup pintu perlahan-lahan namun ketika pintu akan dirapatkan, sesosok bayangan yang ia anggap tiang gantungan pakaian di sudut itu, bergerak-gerak. Aneh. Tidak ada angin. Jendela sudah ia tutup. Rasanya tidak mungkin kalau hanya dengan udara yang masuk melalui ventilasi, sampai bisanya menggoyangkan tiang gantungan pakaian itu.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang