Lemari

91 15 12
                                    

Selesai sarapan pagi, Sutrisno bergegas mengantar Dana dan Dini pergi ke sekolah. Setelahnya ia langsung pergi mengecek toko-toko sembakonya yang akhir-akhir ini kurang laku karena harga yang melonjak naik atas kebijakan pemerintah. Di rumah, Nur Romlah berbuat apa saja seperti biasanya; menyapu, berbenah-benah di dapur, merapikan kamar cucu-cucunya dan kalau belum terlalu capek, ia juga menata kamar Sutrisno. Apa saja yang ia lakukan demi kepuasan dirinya semata-mata, tidak berbekal kekuatan tenaga yang besar, wanita tua itu menganggap semuanya hanya untuk menghibur diri dari kesepian selama sendiri di rumah.

Dari ruang tengah terdengar deringan telepon. Ia angkat gagang telepon. "Halo."

Tak ada jawaban. Sayu-sayup di seberang sana terdengar derakan yang tak jelas. Hening. Diam yang mematikan. Merasa dipermainkan, Nur Romlah kembali berkata. "Halo. Ini siapa ya?"

Masih tidak ada jawaban. Dua meter di belakang tubuh wanita tua itu, berdiri lemari tempat memajang benda-benda hias yang harganya tidak terlalu mahal, lamat-lamat bergerak dan bergeser mendekati Nur Romlah. Masih mengenggam gagang telepon, wanita tua itu kesal dan meletakkan gagang telepon itu ke wadahnya ketika terdengar kembali suara deringan. Masih pagi, tetapi cuaca mendung menjadi gelap dan terasa hangat membaur dengan sensasi ketakutan bagi mereka yang penakut. Lemari itu sekarang berjarak satu meter dari tubuhnya ketika gagang telepon diangkat dan berkata. "Ini siapa ya? Jangan main- main sama orang tua! Saya laporin polisi nanti kamu. Ha!" Belum ada jawaban sekalipun. Tapi di sela-sela kesunyian tersebut, Nur Romlah mendengar suara tarikan napas dari seberang sana. Perasaannya semakin takut. Apakah ini hanya gurauan atau semacam ancaman, bahkan orang yang salah sambung namun enggan untuk bersuara, pikirnya. Tapi apa pedulinya. Persetan dengan mereka yang senang bermain-main

Lemari itu terus maju mendekati wanita tua itu meski secara pendengaran, sebenarnya Nur Romlah masih peka, namun ketika benda di belakang itu bergerak, tak ubahnya ia seperti mendengar suara deruan angin. Lagipula, suasana pagi itu hening dan tak ada satupun suara terangkat di luar sana. Mengambang bagaikan kota mati. Di kejauhan memang sesekali terdengar deruan motor dan mobil, seperti kenangan, kemudian muncul sayup-sayup dan lenyap ditelan waktu yang terus berpacu melawan dunia yang serba menipu. Sebelum meletakkan gagang telepon pada wadahnya,

ia masih sempat mengumpat. "Sialan kamu!" Dan di saat bersamaan, ia menoleh ke belakang ketika lemari itu mulai bergerak cepat menghantam tubuh wanita tua itu. Keadaan masih bisa ia rasakan. Kelopak matanya pelan-pelan saja bergerak, mengamati situasi yang terjadi. Lamat-lamat tubuhnya terasa dingin dan tatapannya kosong. Kemudian dunia tampak gelap bergelimpangan di bawah robohan lemari.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang