Malam merapatkan sensasinya pada awan gelap, berbentur jilatan cahaya rembulan menerobos jendela kamar. Dini duduk di atas ranjang menyaksikan empat batang permen di hadapannya. Matanya berkilat-kilat memancarkan nafsu atas kepuasan yang sebentar lagi diraihnya ketika menikmati kelezatan permen kesukaannya. Masing-masing permen memiliki rasa yang berbeda. Ada rasa stroberi, jeruk, mangga dan lemon. Tapi rasa jeruk lah yang ia harapkan untuk melahapnya terlebih dahulu. Di luar sana, suasana tenang-tenang saja. Angin bertiup cukup sejuk, sinar bulan bertaburan di atas tanah, memberikan penawarnya sebagai ungkapan kegembiraan bagi mereka yang takut gelap. Hening dan sunyi, demikian alam memanggil malam.
Tatapan matanya terfokus pada empat batang permen itu, Dini tidak merasa bosan. Ia sanggup menunggu dan menyimpulkan, selama berjam-jam, hanya untuk mengambil keputusan permen mana yang harus ia lahap dulu. Tapi harapannya hanya ada pada satu permen. Ia suka sekali dengan rasa jeruk. Semua makanan yang berasa jeruk, pantasnya ia habiskan secepatnya, karena aroma harum jeruk dan rasanya begitu menggairahkan gigi-gigi kecil itu ketika menghancurkan batang permen itu.
Karena ingin bermain-main dulu, akhirnya Dini memutuskan untuk memejamkan matanya. Kemudian mengacak-acak empat batang permen itu dan memilihnya salah satu untuk dimakan terlebih dulu. Rasanya menyenangkan, meski di luar sana terdengar suara-suara yang tidak ia mengerti. Suara anjing atau burung, ia tak peduli. Habiskan saja permennya, pikir Dini. Jendela kamar masih dalam keadaan terbuka. Gorden itu melayang ketika embusan angin masuk dan menyapa acara kecil yang terjadi di dalam kamar itu dengan caranya yang dingin. Kelam terasa sunyi, tak mengandung ancaman apapun. Tapi sebentar lagi sesuatu akan masuk ke dalam kamar gadis cilik itu.
Mata Dini masih terpejam, menunggu hasil buah pikirannya. Satu menit kemudian, jari jemari kanannya memilih salah satu dari keempat batang permen itu dan bersamaan dengan itu, tengkuknya tertiup angin dan rasanya cukup hangat. Gadis kecil itu menoleh ke belakang. Daun jendela bergoyang-goyang, meminta persetujuan untuk ditutup pemiliknya. Tapi Dini tidak memahami hal demikian.
Kembali ia memandang empat batang permen itu. Matanya dipejamkan, dan gerakan jemarinya lebih cepat dari yang sebelumnya. Ketika ia memutuskan untuk memilih salah satu dari keempat batang permen itu, kembali udara hangat menyergap rambut panjangnya. Sekarang sensasi ketakutan itu mulai muncul menyeruak ke permukaan hatinya.
Ia menoleh, termenung memandang liang jendela dalam perasaan sedikit ngeri. Hasrat ketakutan belum terlalu penuh berpihak padanya. Ia memutuskan untuk melompat dari ranjang dan berdiri di liang jendela. Padangannya menyapu ke segala arah. Suasana di luar sana lengang-lengang saja seperti malam-malam sebelumnya. Jauh entah di mana, deruan motor mengaum-ngaum, kemudian sayup-sayup sampai akhirnya tak lagi bersuara. Hening. Tidak ada sesuatu yang harus ditakutkan. Itu benar. Dan memang tidak seharusnya ia takut.
Daun jendela itu ia rapatkan, kemudian ia kunci. Dini kembali ke ranjang dengan mata melotot karena permen yang tadinya ada empat batang, kini hanya tersisa tiga batang. Ia memajukan badannya dan melompat ke sisi ranjang lainnya. Barangkali permenku jatuh, pikirnya sambil memandang lantai dengan fokus, namun ia tak menemukan apapun di sana.
Ia baru saja naik ke ranjangnya ketika permen itu menyisakan dua batang lagi. Sekarang ia benar-benar takut. Dan lebih takut lagi ketika menyadari daun jendela terbuka lebar, dan terdengar suara jatuh ke lantai. Ia merasakan ada sesuatu yang baru saja masuk ke dalam kamarnya melalui liang jendela itu. Ia ingat, sebelum perkara ini terjadi, ada empat batang permen di atas ranjangnya. Tetapi kenapa sekarang tinggal dua batang permen lagi.
Rasa tidak enak pada hatinya kian memuncak dalam penantian dorongan atas rasa takut, ketika terdengar suara seretan di lantai—tepatnya dari sisi ranjang berlainan. Suara seretan itu awalnya pelan-pelan saja, kemudian cepat, pelan lagi dan cepat, lebih cepat, sangat cepat. Sampai akhirnya dalam ketakutan yang luar biasa, Dini melesat tanpa menghiraukan pilihan permennya yang sekarang menyisakan satu batang lagi di atas ranjangnya. Permen rasa jeruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorrorDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...