Selepas mengantarkan Dana dan Dini ke sekolah, Irfan memacu mobil dengan gelisah. Ia teringat sesuatu. Di rumah, istrinya berpesan agar uang gaji yang mestinya diterima esok hari, diambil hari ini saja. Toh hanya beda sehari, mestinya tidak menjadi persoalan. Paling-paling cuma ditanya ini dan itu saja sama majikannya, demikian istrinya menyatakan keinginannya. Tapi Irfan merasa tidak enak kalau harus meminta uang gaji itu bila belum waktunya. Tapi di rumah, istrinya sudah mencak-mencak tak keruan. Katanya butuh uang tambahan untuk membeli pakaian dan digunakan untuk arisan dengan tetangga-tetangganya agar terlihat menarik. Sebagai seorang suami yang bijak, mestinya Irfan bisa memberikan pelajaran kesabaran pada istrinya. Tapi ia hanya bisa manggut-manggut. Tak ubahnya seperti seekor kerbau yang mau tak mau harus siap sedia membajak sawah bila istrinya sudah mencak-mencak.
Ada lagi yang sebenarnya membuat Irfan sedikit kurang enak bila harus meminta gajinya yang seharusnya bukan ia terima hari ini. Ia tidak bisa mengutarakan alasan tepat seperti apa yang harus dinyatakan pada majikannya. Istrinya beralasan ingin membeli pakaian. Tapi ia tidak bisa menyampaikan alasan istrinya itu kepada Sutrisno. Sungguh malu rasanya. Kalau seandainya ia beralasan untuk makan, rasanya Sutrisno kurang percaya. Sebab gaji yang diterima perbulannya sudah lebih dari cukup untuk setiap harinya makan daging berikut lauk-pauk yang memadai. Tidak usah disebutkan lagi makanan apa saja yang enak-enak, aku rasa kalian cukup pintar membandingkan mana makanan enak dan yang tidak enak.
Setibanya di belokan gang menuju rumah keluarga Sutrisno, keputusan itu sudah bulat. Irfan akan beralasan ingin pulang ke kampung dan secukupnya ingin memegang uang untuk keperluan di sana. Dengan demikian, uang gaji yang semestinya ia terima esok hari, akan dimintanya sekarang saja dengan beralasan seperti itu. Ia sudah punya alasan yang cukup membuatnya tak merasa kehilangan harga dirinya. Lagipula, ini pertamakalinya Irfan meminta uang gaji sebelum waktunya.
Mobil bermerek Avanza itu berhenti di depan pekarangan keluarga Sutrisno. Irfan baru saja akan meloncat keluar ketika tampak Nur Romlah duduk-duduk di teras dengan tatapan membuang muka. Segan ia turun, dipastikannya enggan keluar dari mobil. Ia merasa ekspresi yang diperlihatkan wanita tua itu terkesan kurang menyenangkan. Rasanya seperti orang yang baru saja mendapati masalah lalu pergi begitu saja meninggalkan masalah itu sendiri. Tapi apa pedulinya, pikir Irfan dengan heran. Tujuan ia ke situ ingin meminta gajinya. Bukan untuk mempelajari ekspresi wajah wanita tua yang masam dan mengerut seperti itu.
Niat itu ia urungkan ketika dari dalam rumah, muncul Sutrisno dengan ekspresi wajah tersenyum sambil melambaikan tangan kanan padanya. Sejenak ia merasa tersanjung disapa majikannya sendiri. Tapi ada yang membuatnya terkejut setengah mati. Di belakang tubuh Sutrisno, berjalan mengikuti pria itu, tampak sesosok wanita tua dengan tangan kanan yang juga melambai ke arahnya. Keningnya seketika bersimbah peluh dingin. Basah sudah sekujur tubuhnya ketika menyadari sosok wanita tua yang berjalan mengikuti Sutrisno itu adalah Nur Romlah. Padahal baru saja dilihatnya di teras juga tampak Nur Romlah sedang duduk-duduk. Jadi Nur Romlah ada dua? pikir Irfan dengan tubuh gemetaran. Ketakutan setengah mati, Irfan keluar dari mobil dan kabur tanpa menoleh ke arah Sutrisno yang kala itu berteriak memanggil namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
Kinh dịDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...