Wujud

6 1 0
                                    

Ada yang membuat pikiran Irfan terganggu; ia tidak tahu mana yang asli dari kedua wujud wanita tua itu. Linda sendiri sulit mempercayai apa yang baru saja dituturkan suaminya. Tapi ia tidak bisa menganggap cerita itu guyonan semata. Ada maksud dan tujuan yang menurutnya seperti ada kesan dari penampakan yang ingin ditunjukkan pada suaminya itu. Tapi apa maksud dan tujuannya sampai harus memperlihatkan kesan seperti itu? Irfan sendiri dikenal cukup baik di lingkungan sekitar. Tidak pernah berbuat kejahatan apalagi sampai menimbulkan korban. Paling banter main judi kecil-kecilan sembari menenggak sebotol anggur. Membayangkan hal demikian, tubuhnya gemetaran. Ia sering menonton film horor yang arwahnya menuntut balas karena hidupnya telah direnggut dengan cara mengenaskan. Tapi mana mungkin Irfan melakukan pembunuhan seperti itu.

Rasa keterkejutan itu semakin memuncak saja sampai akhirnya ia angkat bicara. "Mas, kamu nggak pernah bunuh orang kan?"

"Apa kamu bilang? Bunuh orang? Kamu sudah gila ya! Jangan menuduhku sembarangan, Lin." Emosi Irfan terombang-ambing diantara ketakutan dan kemarahan.

"Bukan itu maksudku, Mas!"

"Kalau bukan ada maksudnya, terus apalagi yang kamu bayangkan? Eh, Lin. Asal kamu tahu aja ya, aku ini bukan lelaki bejat seperti yang kamu bayangkan. Jangankan untuk membunuh manusia, menabrak kucing aja rasanya badan ini bergetar hebat dan sulit tidur kurang lebih dua minggu."

Pikiran Linda menjelajahi masa lalu. Dulu suaminya pernah menabrak seekor kucing hingga badan binatang itu hancur berantakan. Setelah kejadian itu, Irfan jadi tak nafsu makan, bercinta jadi ogah-ogahan, tidur pun kerapkali di waktu adzan subuh mulai terdengar. Jadi sekarang sudah ada jawaban yang membuat Linda sedikit tenang. "Maafkan aku, Mas. Aku cuma sedikit teringat aja dengan pilem-pilem horor yang arwahnya menuntut balas dengan si pembunuh. Biasanya kan, arwah-arwah itu sering menampakkan wujud yang berbeda untuk menyampaikan pesan ke pembunuhnya." "Tapi aku kan bukan pembunuh," sahut Irfan masih jengkel. "Aku cuma sopir pribadi!" Sebagai istri yang baik, adapun itu suatu pertimbangan yang layak, Linda berusaha menenangkan kejengkelan suaminya dengan membelai pundaknya. "Iya, aku cuma asal bicara aja kok, Mas. Maafkan aku ya." Cepat-cepat dia mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, besok kamu gajian, dong?"

Sedikit tenang hati dan pikiran Irfan sekarang. "Iya, Lin. Yah, sebaiknya kita tunggu saja sampai besok. Nggak apa-apa kan, beli pakaian untuk acara arisannya ditunda sampai besok?"

Linda tersenyum manis. Sebagai istri yang baik, anggukan menuruti perintah semestinya selalu tertuang di setiap perdebatan dengan suami. "Iya, Mas. Nggak apa-apa. Mau aku buatkan kopi lagi, Mas?"

*****

Kering menyayat malam, menggairahkan para roh-roh yang mati penasaran. Daun-daun yang berserakan di pekarangan rumah keluarga Sutrisno, menari-nari dengan pujiannya teruntuk kegelapan malam tak bernyawa. Lolongan anjing di kejauhan memberi ruang bagi mereka yang terlanjur benci dengan kehidupan, sebagian lainnya memberikan ketenangan untuk dijadikan pedoman hidup yang tak ada artinya. Kelam dan tak terikat dengan cahaya.

Jam sebelas malam lebih empat puluh lima menit, Dini bermimpi tentang indahnya kebersamaan dengan anak-anak dalam mengungkapkan mimpi dan keinginan di masa-masa dewasanya nanti demi meraih cita-cita berkilauan di antara perbatasan kegelapan dan cahaya. Bebas dan luas. Tidak pernah ada kebosanan dan kenakalan di masa-masa itu. Terlalu centil, sedikit terganggu namun itu menyenangkan. Tapi mimpi berkelana gadis cilik itu mendadak menjadi kelam dan pekat, ketika jiwanya merasakan sesuatu yang tipis dan menyengat, masuk ke hati serta pikirannya dan memberikan sensasi berupa dorongan untuk bangun. Tapi ia tidak bisa bangun. Barangkali keinginan untuk bangun terlalu kuat namun sekujur tubuhnya tak merasakan keinginan besar untuk bangkit dari tidurnya.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang