Kejadian Aneh

5 1 0
                                    

Kesal berkali-kali menelepon Irfan tak diangkat, membuat Sutrisno terpaksa mengantarkan sendiri anak-anaknya. Setelah mengantarkan mereka, ia menjelaskan apa yang dilihatnya malam tadi pada Nur Romlah. Mereka duduk di ruang tengah. TV dalam keadaan menyala. Hanya dipandangi tanpa disimak. Selama menceritakan kejadian mengerikan itu, sepasang mata wanita tua itu melotot, sekujur tubuhnya merinding.

Sampai akhirnya ia berkata, "menurutmu kenapa Dini bisa berbuat hal mengerikan seperti itu?" Pertanyaan Nur Romlah membuat Sutrisno tertegun. Lantas ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa ibunya malah lebih memilih untuk berkata seperti itu? Kenapa ibunya itu tidak berusaha menjelaskan sesuatu yang sudah disembunyikannya sejak lama?

Sebagai anak yang penurut dan berbakti, Sutrisno hanya bisa berkata lembut, "aku sendiri tidak tahu, Bu. Kalau boleh aku bertanya, apakah selama ini, Ibu pernah melakukan kesalahan pada orang lain?" Setelah bicara seperti itu, ia merasa tidak enak. Ia merasa bersalah terkesan menuduh ibunya.

Nur Romlah heran dengan pertanyaan anaknya yang tak jelas dari mana datangnya. "Maksudmu bicara seperti itu kenapa, Tris?"

"Begini, Bu. Barangkali, kejadian aneh yang menimpa kita dalam beberapa hari terakhir ini, bersumber dari sesuatu yang tidak disukai orang lain pada keluarga kita." Sutrisno akhirnya mengutarakan sesuatu yang sudah mengusik pikirannya selama bertahun-tahun.

Nur Romlah mulai mengerti. "Maksudmu, ada orang yang tidak suka sama kita, lalu mencoba untuk berbuat mengerikan dengan mengirim sesuatu hal yang berbau gaib, begitu?"

"Bisa seperti itu, Bu."

"Justru ibu mengkhawatirkan usaha kamu yang selalu stabil, memicu mereka yang tak suka dengan kelancaran bisnismu dan berbuat yang mengerikan pada keluarga kita!" Ibunya melancarkan sebuah teori yang tampak masuk akal namun perlu ditelaah lebih mendalam oleh Sutrisno.

"Tapi selama ini tidak ada orang yang membenciku, Bu! Apalagi sampai tidak suka dengan kelancaran usahaku." "Tahu apa kamu tentang isi hati orang!" Dari cara bicaranya, ada kesan ketidakinginan dari sesuatu yang disembunyikan wanita tua itu muncul ke permukaan begitu saja dengan alasan-alasan yang tidak pernah bisa dijadikan panutan atas peristiwa yang beberapa hari terakhir ini mengganggu keluarga Sutrisno.

"Aku memang tidak tahu bagaimana isi hati orang." Ia memelankan suaranya ketika melanjutkan. "Tapi perasaanku berkata tidak demikian, Bu. Dan aku sangat yakin kalau rekan-rekan bisnisku, tidak akan mencoba untuk melancarkan serangan mengerikan seperti itu. Jujur saja, kejadian malam tadi mempertegas keyakinanku bahwa ada sesuatu yang ibu sembunyikan dariku."

Udara pagi terasa sejuk, kadang ada sensasi menggelitik di permukaan lantai. Mengembang dan naik ke atas kemudian menggantung di langit. Janggal dan menggoda. Rasa lainnya ada di saat perasaan dua manusia itu saling memikirkan dan mempertahankan apa maksud dan tujuan perdebatan itu. Selayaknya manusia tak mungkin mengalah begitu saja. Hidup sudah susah, buat apa mengalah. Menang terus kan lebih enak. Mau tolol apa pintar, tidak ada yang mau disebut kalah. Apapun perdebatan itu, keputusannya hanya satu; menang dan puas.

Ekspresi wajah Nur Romlah memperlihatkan ketidaksukaan. "Tidak ada yang ibu sembunyikan darimu, Nak."

"Aku tidak percaya, Bu!" Sabar tidak ada batasnya, demikian apa yang dirasakan Sutrisno.

"Itu masalahmu, mau percaya apa tidak! Yang jelas ibu merasa tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari kalian."

Habis sudah kesabaran Sutrisno. Tapi kelembutan itu selalu ada teruntuk ibunya. "Ibu, mau sampai kapan diam begini saja. Apa tidak ada niat sedikitpun untuk merembukkan masalah ini secara baik-baik. Ibu kan tahu, betapa mengerikannya peristiwa yang kita alami dalam beberapa hari terakhir ini. Apa Ibu nggak kasihan sama Dana dan Dini? Dan Ibu perlu tahu satu hal. Malam tadi, kalau saja aku tidak pergi ke kamar mandi untuk kencing, mungkin Dana sekarang sedang dimandikan jenazahnya!" "Jangan sembarangan kalau bicara, Tris!" Habis pula kesabaran Nur Romlah. "Dia itu cucu saya!"

"Dan dia anakku, Bu." Setetes air membasahi pipi kanan lelaki itu. Rasa ketidakinginan atas sesuatu yang tak jelas datangnya, membuatnya pasrah menanti serangkaian kejadian berikutnya yang lebih mengerikan.

Nur Romlah bangkit dan berkata, "sekarang juga, datanglah ke sekolah mereka."

"Untuk apa, Bu?"

"Minta izin sama wali kelas kedua anak-anak itu selama beberapa hari." Nada antusias jawaban dari misteri yang menganggu pikiran Sutrisno mulai terkuak. Nur Romlah melanjutkan, "ibu mau mengajak mereka liburan ke desa Pasar Wetan."

"Tapi mau tinggal di mana, Bu? Di desa itu tidak ada hotel maupun motel."

"Kita tinggal di rumah Teteh Ani untuk sementara. Toh hanya berlibur saja, bukan tinggal selamanya. Aku mau menyiapkan pakaian kedua cucuku dan segala keperluan mereka. Pergilah kau ke sekolah dan temui wali kelas mereka."

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang