Secangkir Kopi Pahit

21 14 0
                                    

Sesak dan tubuhnya berkeringat, ia buka jendela berikut pintu dapur menuju halaman. Ia berdiri di liang merasakan kesejukan udara pagi menjelang siang yang mengesankan kesegaran berlipat ganda bagi mereka yang belum menemukan jawaban satu dari ketidakmengertian akan apa yang disampaikan oleh sopir pribadinya. Ia tarik napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya perlahan. Senang dan bahagia rasanya, masih bisa menikmati udara yang kata orang kalau dinikmati dapat menghilangkan pelbagai rumitnya persoalan kehidupan sejenak. Tampaknya itu benar, pikirnya.

Ia berjalan menuju tempat di mana kompor gas terletak. Ia putar kenopnya dan sebuah ceret berisikan air dingin ia letakkan di atas api kebiruan itu. Sekarang ia ingin minum kopi. Kata orang, minum kopi dapat melupakan kejadian-kejadian yang tak wajar. Tujuh menit kemudian, bibir tutup ceret itu mengepulkan asap. Ia putar kenop gas ke garis off. Ia tuangkan air mendidih itu ke gelas yang sebelumnya sudah ia masukkan dua sendok kopi hitam dan setengah sendok gula pasir. Ia bawa gelas itu berikut ia tarik bangku meja makan ke liang pintu. Gelas kopi itu ia letakkan di lantai. Pandangannya memandang ke halaman sana sembari mengingat-ingat istrinya—Mira.

Ia membayangkan, seandainya kesedihan masa lalu bisa dijadikan penyemangat hidup, mungkin ia akan lebih menjadi seorang ayah yang dapat melupakan pelbagai macam urusan hidup di dunia. Tapi setidaknya Sutrisno merasa sudah bisa menggapai harapan itu meski belum sepenuhnya ia temukan harapan itu. Alangkah bodohnya kalau ia sampai merugikan jiwanya sendiri hanya karena mengingat kesedihan masa lalu dan sampai akhirnya membuat dirinya menjadi jatuh sakit. Banyak membayangkan kesedihan masa lalu sebenarnya tidak baik. Akan membuat badan menjadi kurus, makan pun tak terurus. Bukan karena kekurangan namun karena adanya dorongan dari kesedihan masa lalu yang sulit ia lupakan.

Gelas kopi di lantai itu ia pertemukan dengan bibirnya dan meneguk air di dalamnya dengan napas yang bijak dan teratur dari seorang pria yang lama tak merasakan kegairahan di ranjang. Sejak kematian istrinya, Sutrisno tidak sekalipun menyinggung perasaannya terhadap wanita lain. Apa perlunya kebutuhan seperti itu untuk diriku, pikirnya. Cinta tak ubahnya seperti sampah. Hanya dekat ketika orang yang disayang itu ada, dan jauh ketika yang disayang sudah tak ada lagi di sisinya. Perasaan gila itu namanya, pikirnya. Untuk apa mencari cinta yang sudah punah? Buat apa menemukan kembali cinta yang lama ia miliki meski sekarang sudah terkubur dan tak akan kembali lagi? Rasanya sulit untuk dimengerti, namun secara hakikat, sensasi seperti itu ia rasakan setiap malamnya. Kesepian, sendiri dan sunyi menjadi sahabat di sisa hidupnya.

Udara berhembus menerpa sekujur tubuh Sutrisno ketika segelas kopi itu ditengguknya dengan perasaan nikmat. Tak terasa, rasa manis itu hilang sedikit demi sedikit seperti segelas kopi yang ia teguk sekarang ini. Tapi atas kepeduliannya dengan kesedihan masa lalu itu, ia hanya memasukkan setengah sendok gula pasir saja untuk menutupi rasa pahit ketika cita rasa kopi itu membaluri lidahnya. Meski masih terasa hambar, setidaknya segelas kopi yang ia minum tidak membuat lidahnya mengecap rasa tak wajar. Dalam bayangannya, selagi air kopi yang sudah hangat itu akan dihabiskan sekaligus, ia harap ada rasa manis dalam perkara menjalani sisa hidupnya tanpa istri dengan cara yang ia hadapi sekarang ini. Terlepas dari semua itu, Sutrisno tidak bisa menyingkirkan begitu saja apa yang tadi dikatakan Irfan. Seharusnya ia memulai dengan sikap manis di hadapan Nur Romlah ketika nanti banyak pertanyaan yang harus ia lontarkan pada ibunya itu.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang