Tanda Tanya

57 14 7
                                    

Di pagar besi yang membatasi pekarangan rumah keluarga Sutrisno, lelaki yang napasnya hampir habis itu cepat-cepat menghubungi pemilik rumah. "Pak Sutrisno. Saya mau kerja di tempat lain. Bapak nyari sopir yang lain saja."

Sutrisno, ketika itu sedang menghitung anggaran pengeluaran dan pemasukan di salah satu toko sembako miliknya, tersentak dan menjawab, "lho, ada apa ini, Fan? Tenang dulu. Bisa kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi sehingga kamu mengambil keputusan terburu-buru seperti ini?" Meski tampak kaget sesaat, namun Sutrisno terlihat masih bisa menguasai dirinya dengan baik.

Irfan hanya bisa menundukkan wajahnya. Hembusan napas perlahan dihempaskannya. Dalam benaknya, ia berontak dengan suasana mengerikan yang kerapkali merusak jalan pikirannya. Lama ia termenung untuk mencari ketenangan, hingga akhirnya ia berkata. "Begini, Pak Sutrisno. Tadi saya datang ke rumah bapak. Terus saya masuk ke dalam, ternyata ibu Nur tertimpa lemari yang terpajang di ruang tengah." Sutrisno hampir terjatuh dari kursinya saat mendengar Irfan menyemburkan informasi yang sesaat tak bisa dicernanya itu. "Apa kamu bilang? Sialan! Ada rampok yang masuk? Terus bagaimana keadaan ibu saya?" Laki-laki itu merasakan jantungnya berdebar sangat kencang dan tangannya gemetaran seketika.

Sesaat setelah menguasai diri, Sutrisno beranjak dari kursi dan bergegas mencari kunci mobilnya. Tapi langkahnya ditahan oleh Irfan yang masih terus berbicara dengan napas memburu.

"Kalau masalah rampok atau bukan, saya tidak tahu. Tapi ibu baik-baik saja, Pak. Sudah saya baringkan di sofa. Tapi...," sebelum melanjutkan kalimatnya, ingatannya melayang ke saat ia menatap ke dalam rumah keluarga Sutrisno yang dingin dan kelam. Ia bergerak beberapa meter menjauh dari rumah menakutkan itu.

"Tapi apa, Fan?" Sutrisno tampak sangat tegang. Kunci mobil diremasnya sangat kuat sehingga menimbulkan goresan di telapak tangannya namun tak dirasakannya.

"Begini, Pak. Waktu saya mau ambilkan segelas air mineral di dapur untuk ibu...," napasnya tercekat. Tapi ia terus memaksakan, "saya melihat ada ibu sedang duduk di bangku meja makan. Padahal seingat saya, ibu sedang terbaring di sofa." Ia bergidik. Udara berembus untuk kemudian menggelarkan suasana ketakutan dan membiarkan segala benda yang ada di sekitar menjadi tunduk dan patuh. Untuk beberapa saat, Sutrisno berpikir dan mencoba memahami informasi dari sopir pribadinya itu. Dan ia tak lantas bisa dibuat ketakutan begitu saja bila tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Apalagi ia seperti diingatkan kembali dengan peristiwa kematian Pak RT dengan cara yang yang tak wajar. Sekarang ia kembali bertanya-tanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah ada sesuatu yang ibunya sembunyikan tentang masa lalu? Jawaban yang belum akurat, tidak bisa ia simpulkan begitu saja. Habis sudah nanti kecurigaannya bila sampai ia tak menemukan cara dan bagaimana agar ibunya bisa berterus terang—tentang apa dan kenapa hingga Pak RT mengusir keluarganya bertahun-tahun silam.

"Kamu yakin dengan apa yang kamu lihat, Fan?" akhirnya ia bersuara.

"Yakin sekali, Pak." Jawab Irfan dengan suara bergetar. "Untuk apa saya bohong, tak ada gunanya dan ...."

"Oke, cukup, Fan!" Sutrisno membereskan tas kerjanya dan bergegas ke mobil. "Kamu ikut saya sekarang."

"Nggak mau, ah, Pak. Saya takut!"

"Lho. Kamu di luar rumah saja. Jangan masuk ke dalam kalau takut." Setelah itu ia pamit kepada pegawainya dan meminta agar meneruskan pekerjaannya yang terlantar. Ia pacu mobilnya dalam kecepatan normal meski pikirannya masih terus dihantui pelbagai tanda tanya yang bermunculan dari benaknya.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang