Mobil dipacu dengan tenang menyusuri jalan-jalan perkampungan yang lembab dan basah. Sepertinya tadi sore turun hujan besar di desa Pasar Wetan ini, pikir Sutrisno sambil berbelok menuju jalan yang lebih besar dan berlapis aspal yang lebih baik. Mobilnya berhenti sebelum berbelok ke jalan besar, ketika ia melirik sebuah jalan kecil menuju rumah lamanya. Mesin mobil ia matikan. Ia perhatikan dari kaca mobil sepanjang jalanan yang gelap tak berlampu itu.
Dari dulu begini saja jalanan menuju rumahku, pikirnya. Gelap dan tak berkesan enak untuk dilewati. Begitu ia menyalakan mesin mobilnya, mendadak ada tarikan yang membuat jiwanya untuk kembali ke rumah lamanya. Dari sini sebenarnya Sutrisno merasa untuk tidak memaksa mengikuti sebuah dorongan yang datangnya tidak jelas. Cukup waspada, Sutrisno tetap menjalankan mobilnya menuju jalan besar, namun kembali ia merasa dorongan itu semakin kuat, kuat dan lebih berkembang menjadi gabungan yang sulit untuk dihindari. Hujan gerimis membasahi desa Pasar Wetan. Suasana menjadi lebih dingin dan penuh teror. "Sial! Kok aku merasa kangen sama rumah lamaku,'' sungutnya sambil memutar balik mobilnya dan dipacunya masuk ke jalan menuju rumah lamanya. Suara-suara rintik hujan di luar bagaikan teriakan dari dalam kubur yang tak kunjung lenyap. Kaca mobil sudah ia rapatkan, jadi kewaspadaannya hanya memandang ke depan saja. Tak peduli misalkan nanti ada penampakan yang tidak diinginkan, ia akan hantam meski hasilnya sia-sia.
Sepuluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Sutrisno berhenti di sebuah rumah yang penuh dengan kenangan baginya. Sulit dimengerti, tapi bagian ini memang yang paling menarik untuk dijadikan sebuah ingatan. Di sinilah masa-masa indah saat kecil dan remajanya. Ingin rasanya ia turun dari mobil dan mengetuk pintu itu untuk menyapa penghuninya. Ia tahu kalau penghuninya adalah sebuah keluarga asal Bandung. Tapi dorongan untuk menyapa penghuni rumah lamanya seakan-akan membuat rasa takut itu semakin besar dan kuat. Apalagi sekarang sudah masuk jam setengah dua dini hari. Sesegera mungkin ia harus kembali ke Jakarta. Besok pagi ia harus mengantarkan Dana dan Dini ke sekolah.
Mesin mobil baru saja dinyalakan ketika sesosok makhluk muncul dari kegelapan dan menyapa. "Sutrisno!" Nah siapa tuh yang memanggil. Setan apa manusia?
Mesin mobil dimatikan. Mata Sutrisno awas memerhatikan sesosok tubuh di kegelapan sana. Tak ubahnya ia merasa seperti anak kecil yang ingin kencing di celana. Rasa takut itu muncul namun ia menekannya dengan membuka pintu dan berkata. "Siapa di sana?"
Orang itu muncul dari kegelapan. Dari atas, sinar bulan menyapu tanah, memerlihatkan wajah sosok dari kegelapan itu. Sutrisno bersiap-siap kembali masuk ke dalam mobil karena takut ketika orang yang muncul dari kegelapan itu menjawab. "Saya Jajang Suherman. Masih ingat dengan saya?" Sekujur tubuh orang itu sekarang bermandikan cahaya bulan. Sebuah pendahuluan untuk memahami dan mengenali sosok itu lebih jauh, Sutrisno mulai teringat dengan lelaki itu dengan suara yang terkesan terkejut. "Pak RT!" katanya dengan serak.
Jajang tersenyum kecut. Melambangkan suatu tradisi bagi sebagian orang yang bersifat sentimentalitas. "Masih ingat rupanya dengan saya ya." Sejenak mengambil napas untuk kembali berkata. "Mau apa anda datang ke sini lagi, hah!"
Darah Sutrisno mendidih. Ia lahir di desa ini. Sekolah di desa ini. Menikah di desa ini, lantas mengapa orangtua itu berani berkata seperti itu. Sialan, pikirnya. Kamu pikir aku ini kucing garong! Akhirnya Sutrisno berkata. "Itu bukan urusan, Pak Jajang." Ada kesan menantang yang sulit dijabarkan. "Apa saya salah, datang ke desa—yang telah membesarkan saya? Hah!"
Seperti ada yang tidak beres, pikir Jajang. Dan ia mencoba untuk mengambil alih suatu percakapan yang mulai memanas. "Bukan tidak boleh, Trisno. Anda nanti terkena kutukan dan wabah penyakit yang tidak ada obatnya. Jadi, jangan coba-coba datang ke desa ini lagi ya. Segera pergi dari sini." Angin berhembus. Hening dan sunyi kembali menyergap.
Kening Sutrisno berkerut. Sepertinya pernyataan Jajang menimbulkan dorongan untuk segera pergi dari tempat sialan itu. "Sebelum saya pergi, ada yang mau saya tanyakan, pak Jajang!"
"Dan apa itu?"
"Maaf, Pak Jajang. Sebenarnya, apa alasan bapak ketika tujuh tahun lalu, anda menyuruh keluarga kami untuk pergi dari desa ini?" Setelah bertanya seperti itu, kembali deruan angin mengambang dan menggulung untuk kemudian jatuh ke tanah dan di atas genteng rumah lama Sutrisno dan perlahan memunculkan sosok bayangan hitam. Bayangan demi bayangan di balik bayangan hitam itu menyatu dan membentuk menjadi gabungan yang menakutkan.
Jajang mendekati Sutrisno. Menyadari orang didekatinya itu mundur ke belakang, ia cepat-cepat berkata, "jangan takut! Sebenarnya, ada yang ingin saya bicarakan kepada, Mas Sutrisno."
"Kalau begitu, saya mau mendengarnya." Sutrisno menjadi lebih semangat. Sampai sekarang ia masih penasaran mengapa tujuh tahun lalu orang ini mengusir keluarganya. Sosok bayangan hitam di atas genteng itu menghilang dan muncul di belakang badan Jajang Suherman, namun tidak ada yang dapat melihat bayangan hitam itu selain kegelapan malam. Dan Jajang berkata, "tujuh tahun lalu, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, apa yang ibu anda lakukan ketika istri anda belum melahirkan." Suasana menjadi lebih tenang dan sunyi. Keheningan yang menyeramkan. Ditambah dengan hadirnya sosok bayangan hitam yang berdiri di belakang badan Jajang Suherman. Ia menarik napas dalam-dalam untuk kemudian melanjutkan, "waktu itu saya melihat ibu Anda, sedang—" Punggung Jajang merasa terbakar. Ia berpaling ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Kemudian melanjutkan. Tapi sekarang suaranya penuh getaran. Seperti merasa takut. Seperti diawasi oleh sesuatu yang tak kasat mata. "Waktu itu, Ibu Nur—Ibu Mas Sutrisno, sudah melanggar norma-norma kehidupan yang selayaknya."
"Maksud pak Jajang?" Sutrisno tidak mengerti. Baiknya ia menekan pernyataan bertele-tele orang tua itu.
Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, tertanam pohon pepaya. Pohon itu terangkat dari tanah dan melayang setinggi satu meter. Di saat bersamaan, angin berhembus lebih kencang. Itu tandanya mereka harus segera pergi. Tapi sayang, tidak ada yang mengetahui lebih lanjut mengenai pohon pepaya yang melayang itu.
Jajang berkata. "Maksud saya." Batang pohon pepaya itu terentang dan masih dalam keadaan mengambang. "Ibu anda, telah melakukan—" Belum sempat Jajang menyelesaikan kalimatnya, pohon pepaya itu menukik ke arah punggung Jajang dan menusuk menembus hingga isi perut itu terlempar ke tanah.
Sutrisno kaget luar biasa melihat kejadian yang sekejap mata terjadi di hadapannya. Ia buru-buru masuk ke dalam mobil. Pohon pepaya yang menancap ke tubuh Jajang tercabut dan kembali merentangkan posisinya dan menukik ke arah Sutrisno. Tapi lelaki itu cepat-cepat mengelak. Bangkit dan masuk ke dalam mobil, Sutrisno mulai menyalakan mesin dan di saat bersamaan pohon pepaya itu melaju dengan lebih cepat ke arah jendela mobil yang terbuka. Keberuntungan masih berpihak pada Sutrisno. Lebih cepat dari hunjaman pohon pepaya itu, cepat-cepat ia memacu mobilnya. Menyadari hal gila seperti itu, Sutrisno merasakan ketakutan yang luar biasa. "Sialan! Apa-apaan sih, ini. Anjing banget, sih!" sungutnya dalam hati dan mobil dipacu lebih cepat dengan mata tertuju pada kaca spion. Tidak ada yang mengikutinya. Ia selamat dan dua jam kemudian ia berada di jalur bebas hambatan jalan tol Cipularang membawa bayangan hitam itu di belakang mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorrorDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...