Nur Romlah memandangi Mira yang terbujur kaku di hadapannya. "Selamat, Mira. Penantian selama tujuh tahun kalian untuk menantikan hadirnya keturunan akhirnya terwujud." Kalimat itu hanya bergema di dalam pikirannya yang terasa tak sinkron dengan apa yang dirasakan oleh hatinya saat itu.
Airmata Sutrisno berlinang di pipinya dan berkata, "Mira sudah meninggal, Bu."
Melihat ibunya yang tak kuasa menahan air mata, Sutrisno menenangkannya. "Bersabarlah, Bu." Ia sendiri merasa bingung ketika kalimat itu terlontar dari mulutnya. Seharusnya ia yang lebih bersabar, sebagai suami dan seorang ayah yang ditinggal istri tercinta selama-lamanya. Tapi entah kekuatan apa yang membuatnya merasa lebih tabah dari yang seharusnya. Ia sendiri pun sesungguhnya tak mengerti. Di luar sana, tepatnya dari jendela kamar Mira yang tertutup, seseorang berdiri di daun jendela, mencuri dengar dan bergumam. "Kalian semua akan terkena kutukan. Lihat saja nanti. Bangsat! Kalian akan membuat desa Pasar Wetan ini menjadi tandus dan kering. Kalian tidak bisa tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama lagi. Cuihhh. Anjing kalian semua! Babi!"
Tapi Nur Romlah tidak sebodoh itu. Ia memahami apa yang akan terjadi bila masih tinggal di desa itu. Rencananya sudah matang sebelum dijalankannya. Ia harus pindah bersama putra dan kedua cucu kesayangannya sebelum wabah mengerikan itu tiba.
Nur Romlah baru saja akan meninggalkan kamar ketika sepasang telinganya menangkap suara Sutrisno. "Ibu mau ke mana? Bisa jaga jenazah Mira sebentar, aku mau ke luar dulu—mau minta tolong ke Pak Abdullah untuk mempersiapkan segala hal dalam mengurusi jenazah."
Nur Romlah mengangguk. "Tapi jangan terlalu lama, Nak. Ada yang mau ibu bicarakan sama kamu." Wanita tua itu merasakan napasnya sedikit sesak. Ia berpikir keras tentang apa yang harus dikatakan pada anaknya.
"Soal apa, Bu?"
"Nanti saja! Kamu panggil Pak Abdullah dulu untuk mengurus jenazah Mira, kita harus menguburnya malam ini juga." Suara ibunya terdengar memerintah. Sutrisno langsung bergegas pergi menembus malam.
Di luar udara terasa dingin. Kabut sepintas turun naik menggantung di hamparan tanah merah. Namun hawa panas terasa menegangkan tengkuk Sutrisno. Berkali-kali ia memikirkan masa lalunya yang terasa tak bahagia. Sulit memiliki anak. Tapi tidak untuk sekarang. Kini ia mendapati kebahagiaan itu dan dapat melupakan angan-angan memiliki anak yang sejak tujuh tahun lalu tak kunjung datang. Ia tengadah. Memandang langit yang hitam pekat kehilangan cahaya.
Di udara, aroma bau darah menguar namun lelaki itu tak menyadari. Ia kembali memikirkan masa-masa kelamnya. Begitu sedih dan tak terperikan. Penantian yang terbayarkan dengan buah kesabaran dalam menjalani sebuah kisah kerinduan terhadap datangnya cahaya. Bayangan masa lalu itu membawanya jauh ke dalam, berkembang sangat jauh dan jauh sampai akhirnya ia tak menyadari muncul sesosok bayangan besar berwarna hitam dari belakang tubuhnya.
Masa-masa pernikahannya bersama Mira telah membawa kedamaian dan kehormatan bagi dunianya. Yang terasa kurang adalah ketika rumah mereka sepi dari suara bayi. Harapan terus dipupuknya, namun harapan juga tak selamanya bertahan. Ada saat di mana mereka kehilangan harapan. Persetan dengan hidup tak memiliki anak, pikirnya. Setiap malam Sutrisno membisikkan telinga Mira agar senantiasa bersabar dan berdoa. Tapi harapan untuk memiliki anak tak kunjung tiba. Seperti ada dinding besar yang menghalangi permohonannya pada Yang Maha Kuasa.
Kedamaian perlahan berganti menjadi kesedihan yang menyelimuti dinding hati mereka.
Mira sendiri selalu berdoa setiap malam. Bahkan wanita itu kerapkali meminta doa pada kyai hingga dukun agar senantiasa mau mendoakannya dengan ikhlas agar dikaruniai seorang anak. Tapi harapan mereka belum juga terkabulkan. Ia putus asa. Bahkan Sutrisno beberapa kali sempat memergoki Mira sedang berbicara sendiri di dapur dengan luapan air mata. Hidup tanpa anak selama tujuh tahun mengajarkan mereka betapa susahnya menjaga kerukunan keluarga. Tapi Mira beruntung memiliki Sutrisno. Laki-laki itu adalah suami yang penyabar. Setiap waktu ia tak kehilangan kesabaran untuk melenyapkan kesedihan sang istri dengan perkataan-perkataannya yang senantiasa mengandung pesan kesabaran dan tawakal. Mereka tidak berminat menjadi pasangan yang saling menyalahkan.
Bulu roma di sekitar tengkuk Sutrisno terasa menegang. Cepat-cepat ia berbalik ke belakang. Tidak ada siapapun di sana. Sampai akhirnya ia mencium aroma busuk dan ia tak bisa menahan diri untuk tak muntah. Di suatu tempat yang tak jauh darinya terdengar lolongan anjing. Rintihan binatang itu menyayat tulang. Sutrisno merasa ada sesuatu yang salah. Tapi ia tidak bisa menyimpulkan di mana letak kesalahan itu. Mira meninggal usai melahirkan, tengkuk yang menegang, bau busuk yang menguar tiba-tiba. Usai muntah, Sutrisno berhenti sejenak. Ia membakar rokok yang tersisa beberapa batang di sakunya. Isapan demi isapan tembakau terasa membuat dirinya menjadi lebih tenang.
Dua batang rokok yang ia hisap, rasanya begitu nikmat. Pikirannya bekerja, masih mengenang kisah-kisah selama tujuh tahun—yang harus bersabar untuk menanti seorang anak. Senyuman itu lebih berkembang ketika ia mendengar suara jeritan bayi menangis dari kamarnya. Ia tertawa. Meluapkan rasa kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sekarang ia menyadari bahwa ada sepasang anak kembar yang akan membuat sisa hidupnya menjadi lebih berwarna. Tapi di saat bersamaan, ia menyadari sekarang Mira sudah tidak ada. Hanya kenangan dan aroma sisa kehidupan tertinggal pada sanubarinya. Satu kehendak yang tak bisa diubah lagi dari Yang Maha Kuasa. Kendati demikian, ia akan terus berjalan menemukan sisa kehidupan bersama kedua anak-anaknya.
Sutrisno baru saja akan pergi ke rumah Pak Abdullah ketika seseorang muncul dari kegelapan dan mengucapkan sesuatu yang mengejutkannya, "kamu harus meninggalkan desa ini, Sutrisno!" Awalnya Sutrisno tidak tahu suara itu milik siapa. Tapi beberapa detik kemudian, sesosok tubuh manusia dengan wajah menyeringai tersapu cahaya bulan menampilkan dirinya di hadapan Sutrisno.
Ia terkejut menyadari siapa orang itu. "Pak RT!" ia mundur satu langkah karena masih belum bisa menguasai keterkejutannya. "Kenapa Pak RT bisa berkata seperti itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorrorDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...