Kesepian dan kesunyian di rumah tidak membuat Nur Romlah merasa jenuh. Selama ditinggal anaknya bekerja dan cucu-cucunya bersekolah, ia habiskan waktuseharian itu untuk mencuci, mengepel,memangkas tanaman di pekarangan hingga menyajikan kudapan kesukaancucu- cucunya menjelang sore. Selalu ada saja yang dilakukannya demi membuat tubuh tuanya terus bergerak.Meski sudah tua, tenaga Nur Romlah cukup besar dan sanggup mengangkat lemari pakaian tak berisi—yangkayunya terbuatdari kayu jati. Sebenarnya Sutrisnokerapkali menyuruhagar semua pekerjaan rumah dilakukan saja oleh pembantu rumah tangga. Tapi Nur Romlah tidak mau. Iamasih kuat dan bisa bekerja sendirian tanpa harus ada seorang pembantu rumah tangga. Bukan karena merasa egois. Ia lebih senang bekerja sendiri dan itu membuat tubuhnya menjadi sehat. Banyak bergerak dan berkeringat sangat baik untuk daya tahan tubuh. Kalau sudah nyaman seperti itu, buat apa menggunakan jasa pengurus rumah tangga, pikirnya. Karena kesibukannya itu, ia tak sempat merasakan kesepian. Justru ada kebahagiaan tersembunyi bagi seorang wanita tua seperti dirinya yang masih terus bisa beraktivitas dan bermanfaat bagi anak dan cucu-cucunya.
Selagi mengurus pekerjaan rumah, biasanya Nur Romlah ditemani musik-musik kesukaannya. Ia suka mendengarkan musik tembang kenangan era tujuh puluhan. Musik seperti itu membuat dirinya menjadi lebih bersemangat dan pekerjaan pun terasa lebih ringan. Volume musiknya sekedarnya saja, cukup untuk membuat dirinya tersenyum simpul mengenang masa silam.
Jika anak dan cucu-cucunya belum pulang, Nur Romlah lebih suka menghabiskan waktunya di dalam kamar. Oleh Sutrisno, kamar itu diisi lengkap, mulai dari perabotan, alat elektronik seperti TV layar datar hingga kulkas yang selalu terisi penuh dengan makanan. Ia merasa kamar itu seperti tempat baginya untuk bisa menjadi diri sendirinya tanpa seorang pun melihatnya.
Setiap malam, ia mengajak Dana dan Dini untuk masuk ke dalam kamarnya dan bercerita apa saja. Suasana hangat dan nyaman terasa begitu menyenangkan. Benar-benar menyenangkan bagi wanita tua itu. Seolah kiamat tak akan terjadi, ia tidak membatasi ruang gerak kepuasannya itu. Buat apa membatasi diri dengan pelbagai keadaan yang seharusnya tidak dipersulit. Itu namanya orang bodoh. Sudah susah malah dipersulit. Biar saja ketenangan itu kita ciptakan. Rasa benci, bosan, amarah hanya bikin sakit badan saja. Pikiran dan hati terasa mati hanya memikirkan persoalan tidak penting seperti itu.
****
Terdengar suara ketukan pintu dari depan. Nur Romlah yang ketika itu sedang menyapu lantai dapur bergegas ke depan dan melihat seorang pria bertubuh gendut. bertampang asyik, berdiri dalam suasana menyenangkan. Irfan namanya. Sopir pribadi Sutrisno yang senantiasa mengantarkannya ke mana saja ia suka. "Oh, Mas Irfan," sapa wanita tua itu dengan sukacita menyambut tamunya seakan-akan tamunya itu baru saja datang dari surga.
Irfan menjawab. "Iya, Bu Nur." Lembut sekali suaranya. "Begini, Bu. Saya kan baru saja mengantarkan Dana dan Dini ke sekolah. Tadi pak Sutrisno meminta saya untuk datang ke rumah dan menanyakan ke Ibu suatu hal. Apa Ibu butuh bantuan saya untuk pergi ke pasar berbelanja?" Suara dan sikap tubuh Irfan menunjukkan dirinya pandai untuk bersikap sopan.
Nur Romlah tertawa kecil. Senang rasanya diperhatikan seperti itu. Padahal itu bukan pertama kalinya ia diperlakukan seperti itu. Dan wanita tua itu menjawab, "nggak usah, Mas. Nanti saja kalau memang saya membutuhkan Mas Irfan. Saya yang akan menghubungi. Nomer HP-nya tetap yang biasa itu kan?"
"Tentu saja, Bu Nur." Irfan merasa lega karena tidak ada lagi yang harus dikerjakan. Dan ia sekarang akan bermain kartu bersama teman-temannya di pos ronda. "Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menelepon saya. Mari, Bu Nur."
Irfan baru saja melewati pagar rumah keluarga Sutrisno ketika terdengar dering telpon bernada kocak dari dalam sakunya. "Halo," sapanya dengan dahi berkerut-kerut. Ada yang aneh, pikirnya.
"Halo, Mas Irfan." Suara di seberang sana tiba-tiba saja membuat Irfan bergidik. "Lagi di mana, Mas?"
Sekarang Irfan menjadi takut. Ia menoleh ke pintu masuk rumah keluarga Sutrisno. Untuk beberapa saat lamanya lelaki itu termenung. Mencoba mengambil kepastian mengapa bisa menjadi seperti ini. Berbagai pikiran aneh melesat dalam pikirannya seketika itu juga. Ia tak tahu bagaimana merespon situasi aneh ini. Hingga akhirnya suara di seberang sana berkicau menghentikan pikirannya yang terus berkecamuk. "Mas Irfan kok diam saja? Bisa bantu saya nggak? Saya sedang di pasar, belanja banyak untuk kebutuhan sehari-hari saya." Dan sekarang Irfan benar-benar takut.
Ia angkat bicara dengan keadaan bergetar. "Ini Ibu Nur?" Suaranya terdengar terbata-bata, campuran antara keterkejutan dan ketakutan yang tak bisa ditutupinya. "Iya. Memangnya Mas Irfan mengira saya siapa? Nomer ibu nggak kamu save ya?" Suara Nur Romlah terdengar terkekeh dari ujung telpon.
"Ini, Ibu Nur, ibunya pak Sutrisno kan?" Suara Irfan semakin bergetar dan mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Ya ampun, Fan! Kamu ini kenapa, sih? Saya ini Nur Romlah. Neneknya Dana dan Dini." Ketika itu pintu masuk rumah keluarga Sutrisno terbentang lebar. Irfan memandang dengan sorotan tak percaya. Suasana di dalam begitu kelam, bahkan teramat suram. Ada bau tak sedap menguar jelas memenuhi udara seketika itu juga. Irfan sempat goyah. Ia merasa berhak memeriksa keadaan di dalam sana. Tapi untuk apa. Ia tidak mau menerima risiko apalagi bahaya yang datangnya tidak disangka-sangka. Tanpa banyak berpikir untuk kesekian kalinya, Irfan masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesinnya. Dipacunya kendaraan itu seperti orang kesurupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HororDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...