Gaji

4 0 0
                                    

Ketika lelaki itu bangkit dari duduknya, Linda melihat aura kepuasan dari wajahnya. Maka ia berkata, "hati-hati ya, Mas Irfan sayangku yang tampan dan perkasa." Sambil berkata seperti itu, ia daratkan kecupan kecil pada pipi suaminya itu. Betapa enaknya mendapatkan kecupan dalam keadaan bahagia. Coba kalau dicium dengan suasana hati menderita, mana enak rasanya. Lalu ia menambahkan, "aku puas sekali malam tadi lho. Nanti malam lagi ya, sampai pagi " Irfan tersenyum. Ia pandangi wajah istrinya dengan kepuasan bercampur kebanggaan. Siapa yang tidak senang bila istri memuji seperti itu. Sekarang Irfan semakin bersemangat untuk mengambil uang gajinya. Dalam hatinya ia berjanji akan diberikan semua uang gajinya pada Linda. Biasanya ia menyisakan lima ratus ribu untuk keperluan bermain judi poker dan membeli rokok. Tapi sekarang itu sudah tidak berlaku lagi. Akan ia berikan semua uang itu pada istri tersayang yang sanggup memuaskan dirinya di ranjang. Cinta di atas ranjang itu lebih enak ketimbang rayuan gombal. Yang seperti itu, tak ubahnya seperti sampah. Banyak berbicara tapi tak ada bukti.

Benarkah di rumah majikannya ada hantu? Demikian Irfan bertanya-tanya pada dirinya sendiri selagi berjalan menuju rumah Sutrisno. Tapi kalau memang rumah itu berhantu, mengapa baru sekarang ini menampakkan wujudnya? Tapi yang menganggu pertanyaan itu adalah ketidakmengertian wujud hantu yang berupa Nur Romlah. Sungguh aneh. Ia yakin betul dan tidak salah melihat bahwa Nur Romlah ada dua. Matanya masih awas kok. Apalagi ia sejak kecil kerapkali memakan sup wortel dan setiap diperiksa kesehatannya ke puskesmas terdekat, tiga bulan sekali, dokter tidak pernah menyinggung persoalan mata yang akhir-akhir ini justru menjadi asal muasal dari sejumlah pertanyaan di benaknya. Irfan belum pernah melihat hantu secara jelas. Tapi menurut teman-teman berjudinya, hantu itu hanya memasuki hati dan pikiran manusia, selanjutnya tubuh manusia itu akan dikuasai seenaknya saja. Tanpa mempedulikan apapun yang terjadi. Tubuhnya bergetar. Ia berhenti di tepi jalan, kebetulan di situ ada pohon beringin yang cukup adem melindungi dari sengatan panasnya matahari yang semakin terik. Ia sandarkan punggungnya pada batang pohon adem itu. Angin bertiup menggairahkan membuat suasana segar menjadi sensasi teramat menyenangkan. Lantas ia kembali bertanya-tanya, bagaimana kalau ia tidak mengambil uang gajinya di rumah majikannya. Dan apakah kurang sopan bila bertemu di luar saja. Bukannya apa-apa, Irfan takut bertemu dengan hantu berwujud Nur Romlah itu. Ia memastikan bahwa itu adalah nyata. Mana mungkin Nur Romlah ada dua? Awalnya memang tak percaya, tapi apa yang dilihatnya tempo hari, sudah merupakan kesimpulan yang membuahkan jawaban nyata dari hasil penglihatannya. Sekitar seratus meter lagi ia tiba di rumah majikannya.

Tapi kakinya terasa berat untuk melangkah, seperti ditarik seribu tangan busuk dari dalam tanah. Harapan untuk belanja pakaian bersama Linda harus terjadi hari ini juga, batinnya berkata. Tapi kalau itu mau terjadi, ia harus menerima uang gaji itu—dan itu tandanya ia harus bertemu Sutrisno dulu. Dan sekarang majikannya itu ada di rumah. Itu berarti mau tidak mau ia harus menemukan orang yang menggajinya di rumah yang tak ingin ia datangi. Apa boleh buat. Ia tidak mau datang ke rumah itu dan bekerja di situ lagi.

Ia keluarkan HP di sakunya dan menghubungi majikannya untuk bertemu di mana sekarang ia berada. Di pohon beringin saja aku mengajaknya bertemu, pikirnya. Dalam perbincangan lewat HP,  awalnya Sutrisno tidak mau dan menyuruh Irfan untuk mengambil gajinya ke rumah. Tapi Irfan beralasan tidak kuat berjalan kaki karena jempol kaki kirinya keseleo. Mendengar alasan seperti itu, Sutrisno cepat-cepat masuk ke kamar dan membuka lemari dan mengambil uang gaji sopirnya yang sudah dimasukkan ke dalam amplop dan disembunyikan di tumpukan pakaiannya. Sepuluh menit kemudian, Sutrisno tiba di pohon beringin— di mana tampak Irfan sedang bersandar di batang pohon sambil tersenyum. "Jempol kakimu keseleo, Fan?" tanya Sutrisno agak cemas. "Emang kenapa awalnya?"

"Tadi di gang sebelah, saya sedang jalan kaki, tiba-tiba saja ada motor dari depan yang sedikit oleng dan cepat-cepat saya minggir ke kiri tapi karena pergerakan kaki saya terlalu cepat, akhirnya jempol kaki kiri saya keseleo, Pak."

"Ya sudah, minta diurutkansaja sama Bi Inah. Dia kan ahlinyatukang urut di kampung kita ini." Sutrisnomenyodorkan amplop yang ia keluarkan dari saku kemeja putihnyayang mahal dan mengilap. "Ini gajimu bulan ini." 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang