Jakarta. 2012. Pertengahan April.
Awan tebal menggelayut di langit. Sebentar lagi akan turun hujan. Terlihat Sutrisno duduk di teras, melamunkan sosok mendiang istrinya. Suasana seperti ini selalu membuat pikirannya melayang mengenang masa-masa indah yang pernah dilalui mereka bersama. Dorongan untuk ziarah ke makam Mira— almarhumah istrinya, semakin kuat menembus batas-batas kerinduan yang tak terperikan lagi. Tetapi ia tidak bisa mengingat tentang apa yang sebenarnya terjadi tujuh tahun lalu. Sesungguhnya bukan tak bisa, tapi ia tak mau melakukannya. Takut, begitu yang ia rasakan. Tapi pemikiran seperti itu cepat-cepat ia lupakan. Sangat sulit. Ini tidak benar, pikirnya. Kerap kali lelaki itu memikirkan masa-masa lalu di desa Pasar Wetan. Lalu ia akan menegur hati dan pikirannya untuk sejenak melupakan. Meski itu sulit, tapi ia melakukannya dengan waspada. Barangkali, memang benar, atau lebih tepatnya, Pak RT—Jajang Suherman, adalah pria yang pikirannya sudah tak waras. Sampai saat ini, Sutrisno masih memikirkan perihal kepindahan keluarganya hanya karena kegilaan satu orang saja. Rasanya itu sulit dimengerti.
Tapi Nur Romlah—ibunya kerapkali berkata, "dia sudah gila! Kalau kita masih tinggal di desa Pasar Wetan ini, nanti bisa-bisa kedua anak-anakmu dibunuh! Emang kamu mau, kalau anak-anakmu dibunuh sama orang sinting itu?"
Wajah Sutrisno mendadak pucat. "Astaga! Bagaimana mungkin, Bu, Pak RT bisa sampai segila itu! Perasaanku, lelaki itu pikirannya baik-baik saja."
Alasan seperti itu memang cukup bijak dinyatakan Nur Romlah. Kerapkali ia menyatakan pendapat seperti itu ketika Sutrisno terus bertanya mengapa harus pindah rumah secepat itu, dan mengapa pula harus pindah hanya karena ancaman dari mulut Pak RT yang tidak wajar seperti itu. Tapi Sutrisno bukan seorang pria yang berani membangkang ibunya. Bagaimanapun, ia selalu menurut bila ibunya memerintahkan sesuatu hal. Sebagai anak yang baik, sepatutnya melakukan apa yang orangtua perintahkan.
Tujuh tahun lalu setiba mereka di Jakarta, keluarga Sutrisno tidak langsung memiliki rumah sendiri. Ada yang harus diperjuangkan demi mencapai batasan dari sebuah harapan. Sutrisno dan keluarga mengontrak di kawasan Jakarta Selatan. Ketika itu biaya bulanan untuk membayar kontrakan cukup mahal. Tapi dengan kesabaran dan kegigihan yang ada pada diri Sutrisno, empat tahun kemudian mereka bisa membeli sebuah rumah cukup mewah di kawasan Jakarta Timur—Cijantung. Rumah itu awalnya tidak terkesan mewah, namun Sutrisno mewujudkan angan-angannya akan sebuah kemewahan dengan merenovasinya. Ia menggunakan jasa arsitek yang cukup terkenal untuk merombak total rumah itu. Lantas rumah itu diisinya dengan berbagai perabotan sesuai dengan saran dari seorang desainer interior terkenal.
Rumah milik ibunya di desa Pasar Wetan sudah terjual seminggu setelah kepindahan mereka ke Jakarta. Semua perkara itu dimudahkan dengan ambisi dan ketakutan akan ancaman dari Pak RT yang menurut Sutrisno tidak pernah dimengertinya sama sekali. Andaipun ia memahami pernyataan lelaki itu, rasanya sulit untuk memastikan, mengapa dirinya bisa sampai ketakutan seperti itu. Lagipula buat apa memikirkan sesuatu yang tak jelas. Hidup sudah susah, jangan dipersulit lagi. Memang benar, kalau sudah dibayangi ketakutan masa lalu, rasanya sulit untuk menghindari apalagi melupakan. Permasalahannya bukan karena tidak bisa melenyapkan semua bayangan itu, namun Sutrisno hanya belum bisa menemukan di mana sumber ancaman yang ketika tujuh tahun lalu dinyatakan Pak RT. Rasanya ibu memang benar, pikirnya. Kalau Pak RT tidak senang dengan kelahiran kedua anak-anaknya. Tapi kalau memang itu adalah alasan lelaki itu, mengapa sampai sekarang ia belum bisa menemukan jawaban dari alasan yang dilontarkan Pak RT. Melupakan saja tidak bisa, bila tidak ada tindakan yang menyeluruh. Kita dipaksa harus berpikir dan mencari jawaban dari pernyataan yang belum diketahui alasannya. Itu sungguh tidak wajar. Itu sama saja dengan membuat diri ini menjadi gila. Sudah tidak mampu menemukan jawaban, tapi masih saja dipikirkan. Dasar tolol!
Sutrisno tersentak dari lamunannya ketika hujan mulai mengguyur rumahnya. Ia bangkit dari duduk sembari membawa pemikiran yang belum ia temukan jawabannya. Udara begitu sejuk ditambah dengan suara guyuran hujan deras laksana benteng pertahanan yang harus ia jaga demi kenyamanan keluarganya. Sutrisno berdiri tegak menutup mata sambil menarik napas. Dua menit kemudian ia masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. TV masih menyala, Nur Romlah—ibunya sering lupa mematikan TV. Tapi ada yang lebih penting lagi untuk memikirkan TV yang masih menyala. Ia dihadapkan suatu pilihan antara ketakutan dan rasa penasaran.
Salah satu pengusaha sembako asal desa Pasar Wetan meminta dirinya untuk mengambil uang hasil pembelian bahan-bahan sembako yang sudah ia kelola dengan cermat selama bertahun-tahun di ibukota. Aneh sekali, pikirnya. Mengapa harus menunggu tujuh tahun untuk kembali ke desa Pasar Wetan?, pikirnya. Di samping itu, ia merindukan sosok Mira. Kedatangannya ke desa Pasar Wetan bisa dijadikan sebagai ajang pelampiasan kerinduan terhadap mendiang istrinya dengan berziarah ke makamnya membawa cinta dalam dunia yang berbeda.
Sutrisno adalah pria yang bisa meletakkan dirinya di antara kesenangan dan kesabaran. Ia memuja dirinya sebagaimana memuji keluarganya. Memiliki banyak kios sembako yang cabangnya tersebar di seantero Jakarta, ia merencanakan akan membahagiakan keluarganya dengan penghasilan yang dimilikinya. Sekarang ia bisa mempertanyakan nasibnya dengan baik. Bahkan ia tidak peduli akan sampai di mana batasan kejayaan itu dirasakan. Mira adalah wanita yang turut membantu kejayaan dirinya meski sosoknya tak lagi berada di sampingnya. Satu perasaan batin yang cukup kuat, meronta-ronta dalam sanubari hati Sutrisno yang terdalam. Ia merindukan belaian mendiang istrinya.
Rudi Hariansyah, seorang pengusaha sembako asal desa Pasar Wetan, berkali-kali menelepon dirinya untuk segera datang ke rumah secepatnya untuk mengambil uang pembelian bahan-bahan sembako itu tanpa harus ditransfer. Sutrisno sebenarnya mengetahui, mengapa Rudy tidak mau mentransfer uang pembelian sembako darinya dan lebih memilih dirinya sendiri yang harus mengambil uang itu ke Garut. Itu karena lelaki itu ingin bertemu dengannya. Itu saja. Tapi ada alasan yang tidak ingin Sutrisno kehendaki. Ia tidak mau pergi ke Desa Pasar Wetan, bukan karena malas atau tidak membutuhkan uang, melainkan ia masih merasakan ketakutan karena ibunya kerap kali mengingatkan seperti ini, "kamu jangan coba-coba kembali ke desa Pasar Wetan itu lagi, ya. Nanti kamu dipukul sama orang gila itu." Yang dimaksud 'orang gila', adalah Jajang Suherman—Pak RT, yang mengusir keluarganya tujuh tahun lalu. Ia benar- benar masih tidak mengerti, mengapa bisa sampai sejauh ini untuk membayangkan hal sedemikian rupa. Bikin runyam kepala saja.
Ada alasan lain yang justru membuatnya heran. Keheranan itu, semakin lama dipikirkan, membuahkan hasil berupa rasa penasaran yang makin menjadi-jadi saja. Dari mana datangnya jawaban, tentu harus ada tindakan. Ia tidak ingin pergi ke desa Pasar Wetan hanya karena salah seorang pengusaha di sana memesan bahan-bahan sembako padanya begitu banyak dan membayarnya dengan cara bertemu, melainkan ada ketergantungan dari cara perintah ibunya yang tidak mengijinkan dirinya untuk kembali ke Desa Pasar Wetan. Namun hatinya berkata lain, demikian batin Sutrisno berkata. Ia bisa saja melanggar perintah ibunya. Justru ada sebab dan akibat yang tidak bisa ia patahkan dengan cara berdiam diri tanpa ada tindakan yang menyeluruh. Meskipun ibunya sudah kerap kali mengatakan, jangan sampai kembali ke desa Pasar Wetan, Sutrisno sudah meneguhkan tekad untuk berangkat ke sana malam ini sembari berziarah ke makam mendiang istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorreurDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...