Dingin dan beku, demikian gadis cilik itu merasakan sensasi tubuhnya yang tiba-tiba saja melompat dari ranjang meski kesadarannya cepat mencari tahu apa yang terjadi. Tapi masih tidak bisa. Jiwanya seperti terikat rantai yang tak kasatmata. Halus namun mematikan. Ada kepedulian untuk menghentikan langkah-langkah kakinya ketika menuju pintu kamar. Tapi tidak bisa. Ia memberontak agar tidak tidur dalam keadaan berjalan. Ingin rasanya Dini menjerit- jerit ketakutan. Terasa mulutnya seperti disumpal sesuatu, demikian ia merasa dengan napasnya yang tak terlalu bebas untuk ditarik maupun dikeluarkan. Rasa sesak menguliti kesadaran yang tertutup dinding gelap dan kelam.
Pintu kamar dibuka, terus ke dapur meski kesadarannya hanya bisa diartikan lewat hati. Seperti boneka yang digerakkan oleh tangan-tangan manusia tak berkulit, langkah kaki Dini terasa tertarik ke dalam lantai, menyayat telapaknya untuk kemudian kembali menjerit di hati.
Ketika itu kelopak mata gadis cilik itu melotot. Seperti ratapan anak yang kurang diberikan kebebasan oleh orangtuanya. Dini berhenti di dekat lemari kecil—di mana ia melihat setumpuk benda-benda yang digunakan untuk perlengkapan makan dan memasak. Ada pisau, garpu, sendok, panci dan lain-lain. Sorot matanya yang berkilat memandang tajam ke satu benda untuk dijadikan sebagai pegangan. Entah apa maksudnya pegangan itu, ia sendiri tidak mengerti, mengapa di saat tengah malam seperti ini harus pergi ke dapur hanya untuk mengambil sebilah pisau. Seringai yang terukir di wajah imutnya memperlihatkan kepuasan yang tak ada ujung pangkalnya.
Anak itu mengendap-endap keluar dari dapur dengan tangan kanan mengenggam sebilah pisau. Dari caranya berjalan yang tak ingin didengar, ada kesan kejam dan beringas selagi seringai yang terulas dari wajahnya tak meredup sedikitpun.
Ada kebencian dan hasrat ujaran keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang berbahaya.
Kaku dan jahat, anak itu berdiri di depan pintu kamar kakaknya. Kenop pintu diputar, dipentangkan begitu saja ketika cahaya sinar bulan menerobos dari liang jendela kamar Dana, menjilati tubuhnya yang penuh dengan kebencian. Terlalu dalam untuk dikatakan bahwa itu 'kebencian', lebih tepatnya mungkin keinginan yang munculnya bukan berdasarkan dari hati. Gadis cilik itu menangis pada hatinya. Namun wujudnya mengesankan cepat-cepat ingin memulai sesuatu. Dengan pisau tergenggam di tangan kanannya, anak yang jiwanya dirasuki kegelapan itu meninggikan sebilah pisau itu kemudian naik ke ranjang Dana dan benda yang berkilatan tertimpa sinar rembulan itu, siap dihunjamkan ke jantung Dana. Dini akan membunuh kakaknya sendiri!
*****
Malam itu Sutrisno tidak bisa tidur, maka ia membunuh waktu kritis itu dengan mengisap rokok disambut pikiran yang masih terus mengusik ketenangannya. Teringat dengan ibunya, lantas pikiran yang mengusik ketenangannya membuat udara malam itu terasa semakin panas. Ia mencurigai ibunya sendiri—yang sampai saat ini masih menyimpan sebuah misteri yang sepertinya sulit untuk muncul ke permukaan dan memberi jawaban. Alhasil, gelisah dan cemas menyelimuti jiwanya yang semakin berandai-andai tak karuan.
Tidak sampai di situ, ia putuskan untuk terus menikmati isapan-isapan rokoknya duduk di pinggir jendela kamar yang terpentang lebar. Dari kejauhan, deru motor dan mobil bersahut-sahutan saling memaksa untuk menjadi yang terdepan. Kadang-kadang diiringi suara gemeretak batang- batang pohon yang menyemarakkan malam itu dengan tariannya bersama angin. Tubuhnya gemetar ketika ingatan itu mengusik pikirannya. Apa yang dipikirkan tentang Nur Romlah, ada alasan yang sesungguhnya tak bisa diandaikan bila sampai sekarang ia tidak bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya disembunyikan wanita tua itu. Beberapa kali Sutrisno menyempatkan waktu hanya untuk memikirkan peristiwa tak wajar beberapa hari ini. Tapi tidak bisa. Terlalu hitam dan kosong.
Ada ketakutan yang beralasan ketika rasa penasaran itu menguar dari ketidakberdayaan pemikirannya. Suatu persoalan rumit yang tak ingin ia ketahui jawabannya namun niat untuk mencari kesimpulan justru semakin besar.
Sayangnya, Nur Romlah tidak memberi sedikitpun petunjuk yang bisa menjadi jawaban atas apa yang selama ini mengusik pikirannya. Alasan yang tak masuk akal itu memberi ruang penasarannya semakin meluas namun terasa menyesakkan. Seharusnya Nur Romlah berterus terang saja, perihal pengusiran oleh Pak RT dari desa itu—yang sampai saat ini masih menjadi pertanyaan besar dalam hidupnya. Tak lain dan tak ingin, Sutrisno akan tetap mencoba untuk mencari tahu jawabannya.
Menurutnya, memikirkan satu persolan yang tak ada jawabannya, justru akan membuat hati dan pikirannya menjadi stres. Gambarannya juga tidak begitu jelas seperti apa. Ia putuskan untuk memejamkan mata saja ketika jendela kamar ia rapatkan untuk kemudian dikunci. Tapi sebelum itu ia ingin kencing dulu. Sudah berapa gelas kopi yang ia minum sejak senja berwarna darah itu turun? Rasanya sudah empat gelas. Apa lima gelas? Ia keluar dari kamar ketika mendengar suara pintu berderit dari salah satu ruangan di rumah itu. Barangkali itu Dana atau Dini yang juga ingin buang air kecil di tengah malam seperti ini.
Cepat-cepat Sutrisno berjalan ketika ia melihat pintu kamar Dana yang seperti baru saja dibuka. Sebab daun pintu itu berderit-derit dan ia mendengar derakan ranjang dari dalam sana. Ia mengintai dari pintu yang membentang lebar ketika menyaksikan suatu peristiwa paling menakutkan sepanjang hidupnya. Saat itu ia melihat Dini menindih tubuh Dana dengan tangan kanan terangkat mengenggam sebilah pisau tertimpa cahaya sinar rembulan yang pucat dari ventilasi jendela.
"Astaga!" Sutrisno berlari menghentikan apa yang ingin diperbuat anak bungsunya. "Hei, Dini! Kamu kenapa?" Di saat itu, ia berhasil merebut sebilah pisau dari tangan kanan Dini dan cepat membuang benda itu ke lantai.
Tapi di saat bersamaan, Dini tak sadarkan diri. Tubuhnya terkulai di pangkuan Sutrisno dan lelaki itu merasakan napasnya berat. Terasa sesak menyadari apa yang baru saja akan dilakukan Dini terhadap Dana. Dalam hatinya ia berkata, seandainya terlambat beberapa detik saja, mungkin Dana sudah tertusuk pisau itu. Tapi kenapa Dini melakukan hal mengerikan seperti itu. Sebab dan akibat yang tak ada ujung pangkalnya, membuat cara berpikirnya semakin luas namun tak tentu arahnya. Tapi untuk saat ini akan ia kubur dulu pemikirannya itu. Lantas ia bopong tubuh Dini ke dalam kamarnya dan membaringkanya di ranjang. Setelah itu, Sutrisno membuka jendela kamarnya dan kembali membakar rokok sembari menunggu matahari terbit.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HororDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...