Terusir

191 16 14
                                    

Jajang Suherman adalah pria yang tidak menyukai pembicaraan dari jarak jauh. Ia mendekati Sutrisno sampai akhinya mereka hanya berjarak dua dua meter saja. "Saya katakan sekali lagi, Mas Sutrisno!" desaknya mengandung ancaman. "Kamu dan keluargamu harus pergi dari sini! Kalau tidak ..."

"Sutrisno!" Dari belakang terdengar suara Nur Romlah berteriak tiba-tiba. Suaranya menggelegar membelah malam. "Sini. Masuk kamu! Orang yang kita anggap sebagai Pak RT itu sudah gila! Jangan dekat-dekat sama dia. Sini! Cepetan masuk!"

"Anda jangan sembarangan kalau berbicara sama saya!" Pak RT tidak terima dibilang 'gila'. Tapi ada persoalan yang lebih penting—yang harus ia urusi ketimbang ocehan yang terlontar dari wanita tua itu.

Sutrisno sudah berdiri di belakang badan ibunya. Pak RT maju mendekati kedua manusia itu sambil berkata. "Saya harap kalian segera meninggalkan desa ini!" Bagi Sutrisno, suara Pak RT mengesankan suatu pemaksaan dari sebab dan akibat yang tidak ia mengerti duduk persoalannya. Pernyataan lelaki itu belum bisa dicerna logikanya dengan jernih.

Nur Romlah berkata dengan menantang. "Saya berharap demikian, Pak RT. Tapi bukankah lebih baik bila sekarang Anda pulang dan urus saja keluarga Anda di rumah. Apakah istri Anda tidak mengijinkan Anda pulang lagi? Ha!"

Amarah Jajang membubung ke ubun-ubun. "Jangan bicara sembarangan, Ibu Nur. Saya akan pulang ke rumah kalau kalian semua sudah angkat kaki dari desa ini!"

Sutrisno yang sedari tadi hanya mengawasi keributan antara ibunya dan pria itu akhirnya tak tahan juga untuk tak ikut campur. "Pak RT! Apa-apaan ini! Kenapa Anda berani-beraninya mengusir keluarga saya?" Ia berpaling pada ibunya. "Ibu, apa yang sebenarnya terjadi?"

Pak RT yang menjawab. "Ibumu itu ...."

Belum lagi Jajang menyelesaikan kalimatnya, Nur Romlah sudah memotongnya dengan ketus. "Hei! Diam kamu, sialan!" Setelah teriakan itu terdengar gemuruh dari langit. Tiba-tiba dan memekakkan telinga. Hujan besar akan datang. Kabut seketika menyelimuti mereka dan membuat jarak pandang sulit untuk menatap sesuatu yang ada di sekitar.

Tapi bukan itu yang membuat Jajang Suherman ketakutan. Ada sosok besar berwana hitam berdiri di atas rumah keluarga Sutrisno dengan sorot mata merah berkobar bagaikan api di neraka.

Tak lama kemudian hujan mulai turun. Pertanda bahaya lain akan datang. "Kalian semua harus pergi! Kalau tidak, kalian semua akan celaka! Kalian harus pergi!" Setelah itu Pak RT kabur dengan membawa ketakutan yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidupnya.

Setelah pak RT pergi, Sutrisno cepat-cepat berlari ke rumah Pak Abdullah. Segera lelaki kurus itu menyatroni warga lainnya untuk mengurus penguburan jenazah Mira. Di dalam rumah, Nur Romlah berbenah. Mempersiapkan pelbagai macam barang-barang penting yang harus ia bawa. Ketika Sutrisno tiba di rumah, ia heran melihat sikap ibunya dengan sikap yang tak seperti biasa. Gelagat ibu malam ini benar-benar aneh, pikirnya. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya. "Ibu. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan mengapa Pak RT mengusir kita? Ada apa sebenarnya, Bu?"

Semua barang-barang sudah dimasukkan oleh wanita tua itu. Akhirnya ia berpaling memandang anaknya. "Tidak ada apa-apa! Tenanglah. Pak RT sepertinya tidak suka kalau Mira melahirkan!"

Kegusaran terlihat seketika menyelimuti wajah Sutrisno. "Lho, apa urusannya dengan anak-anakku, Bu? Maksudku apa urusan Pak RT hingga tidak menyukai kalau almarhum istriku melahirkan."

Nur Romlah tak berani memandang wajah putranya itu. Ia tahu anaknya itu masih dalam keadaan berduka. Bahagia dan duka datang dalam waktu bersamaan dan jika mendatangi orang yang tak sabar, bisa saja keadaan seperti itu membuat seseorang terguncang sedemikian hebatnya. "Itu dia yang ibu herankan. Macam yang sudah gila saja orang itu. Sudah gila kok masih saja menjabat sebagai RT. Ganti saja RT-nya sama Mang Ade, Pak Dadang atau sekalian wak dukun saja. Sial betul itu orang, berani-beraninya mengusir kita. Dan kamu ingat satu hal, Sutrisno."

"Apa, Bu?"

"Jangan pernah kamu berbicara dengan orang gila itu lagi!" Di sini Sutrisno mulai merasakan adanya kejanggalan. Ia merasakan gejolak yang berbeda di hatinya. Getaran yang terasa sangat asing yang tak pernah sekalipun dirasakannya. Tapi sebagai anak yang baik, ia mencoba memahami kondisi perasaan ibunya. Barangkali saat ini, ia harus menuruti kemauan ibunya dan lebih memercayai omongan ibunya ketimbang pernyataan yang disampaikan Pak RT tadi. Sepertinya ibu betul, Pak RT sudah gila, pikirnya.

Empat jam kemudian, setelah jenazah Mira sudah dikuburkan, Sutrisno cepat-cepat meminta bantuan kepada pak Abdullah untuk dicarikan mobil. Secepatnya ia harus membawa keluarganya bila ingin jauh dari orang gila seperti Pak RT itu. Berbahaya dan berisiko bila ia masih tinggal di situ dan berdekatan dengan orang berpikiran tak wajar. Yang namanya orang gila, bisa kapan saja menyakiti, jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak pergi jauh dari desa Pasar Wetan sekaligus mencari suasana baru sebagai harapan indah untuk kedua anaknya yang begitu ia cintai. Secepatnya ia mengepak segala barang yang diperlukannya dan mengurusi tas berisi pakaian dan segala perlengkapan untuk kedua bayinya.

Jam empat subuh, mereka sudah berada di sepanjang jalan Nagrek menuju Jakarta. Sewaktu masih di rumah, Nur Romlah meminta pada Sutrisno agar pergi ke Jakarta saja. "Di sana ramai," kata Nur Romlah dengan semangat. "Kita tinggal di sana saja. Untuk sementara kita mengontrak dulu. Selama itu kamu urus rumah ini untuk dijual. Setelah itu gunakan uangnya untuk membeli rumah di Jakarta. Cari yang kecil saja, yang cukup untuk kita berempat dan barangkali ada sisa uang untuk kamu gunakan sebagai modal berdagang. Yang penting dari semua ini, ibu hanya ingin jauh dari orang gila itu. Rasanya nggak nyaman punya Pak RT yang berkelakuan sinting seperti tadi. Main mengusir seenaknya saja. Sialan!"

Mobil yang mereka tumpangi melaju santai dan tenang meski tanpa mereka sadari ada sesosok bayangan hitam yang ikut menumpang di dalam mobil itu dan duduk di sebelah Nur Romlah yang sedang mengusap-usap kedua cucu-cucunya yang masih merah dan mungil.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang