Mimpi Buruk

96 15 12
                                    

Pagi itu udara terasa sejuk dan nyaman. Di ruang tengah, Sutrisno menceritakan kejadian dini hari tadi pada Nur Romlah. "Ibu. Semalam Dana berteriak-teriak."

Nur Romlah terkejut selagi termenung di kursi sebelah Sutrisno duduk. "Teriak-teriak kenapa, Tris?"

"Iya. Katanya ada ibu di halaman belakang, sambil jalan-jalan begitu."

Nur Romlah tertawa kecil. Aneh sekali suara tawanya. "Ah, masa iya sih. Mimpi mungkin anak itu, Tris."

"Yah, mana aku tahu. Tapi nggak biasanya anak itu berteriak-teriak tengah malam begitu. Apalagi sampai membangunkan aku."

Nur Romlah mendesah. Sikap duduknya menjadi gelisah. "Yah. Namanya juga mimpi buruk, Tris. Kan yang namanya mimpi buruk itu, bisa kapan saja datangnya." Kemudian ia melirik jam dinding. "Sudah jam setengah tujuh. Kamu nggak antarkan anak-anak kamu, Tris?"

"Hari ini aku harus datang ke cabang toko sembako yang ada di Menteng, Bu. Dengar-dengar ada maling yang membobol toko kita."

"Waduh. Kalau begitu, segera lah kau urus, Tris." "Nggak banyak yang hilang kok, Bu." Bagaimanapun

Sutrisno harus menenangkan keadaan. "Cuma beberapa karung terigu dan beras saja yang hilang. Anggap saja sedekah." Ia berdiri. "Di mana Dana dan Dini, Bu?"

"Biasa. Di meja makan." Setelah itu Sutrisno ke ruang makan dan melihat anak-anaknya baru saja selesai sarapan pagi. Kelihatannya enak sekali makan pagi disertai udara pagi yang sejuk dan menenangkan, pikirnya.

Sutrisno berkata pada mereka, "Dana, Dini. Ayah sungguh minta maaf. Hari ini, ayah tidak bisa mengantarkan kalian. Karena ada urusan penting yang harus ayah kerjakan."

"Terus. Siapa dong Yah, yang anterin kami ke sekolah?" Setiap pagi suara Dini enak didengar, pikir Sutrisno. Itulah yang membuat Sutrisno semakin sayang pada anak bungsunya. "Kan ada Kang Irfan." Dan ia berpaling pada Dana. "Dana sayang, kamu mau kan dianter sama Kang Irfan?" Dengan penuh harap Sutrisno meyakinkan dengan berkata. "Cukup sekali ini saja. Hari Minggu nanti kita ke Ancol.

Bagaimana menurut kalian?"

Awalnya Dana memerlihatkan sikap cemberut. Tapi siapa yang tidak mau diajak liburan ke Ancol. Hanya orang bodoh yang menolak pergi ke sana, pikir Dana. Dan akhirnya ia berkata girang, "yang benar, Yah?"

"Iya, benar. Masa ayah bohong sih."

"Terus, nanti aku makan permen yang banyak di Ancol, boleh nggak, Yah?" Dini mencari peluang untuk memuaskan dirinya.

"Iya. Kalian bebas mau makan apa saja. Asalkan tidak bikin kalian sakit perut aja. Nah anak-anak, ayah berangkat kerja dulu. Sebentar lagi Kang Irfan datang. Kalian tunggu saja di depan."

Sutrisno melambaikan tangan ke kedua anaknya ketika mobilnya keluar dari halaman. Dari ujung matanya ia menangkap raut wajah yang aneh ibunya dari kejauhan.


KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang