Pertanda

128 15 26
                                    

Segelas kopi lengkap dengan dua potong roti bakar tersaji di meja teras. Sama sekali belum disentuhnya dan menarik minatnya. Sutrisno masih merenungkan kejadian dini hari tadi. Ia baru saja tiba di rumah lima belas menit sebelumnya. Biasanya mobil langsung ia masukkan ke dalam garasi, tapi hari ini ia memarkirkannya di halaman. Apa pedulinya dengan masalah itu, pikirnya. Pohon pepaya yang menancap di tubuh Jajang Suherman lebih menghantui pikirannya. Takut dan ingin muntah mengingat hal demikian, Sutrisno mencoba untuk menegur dirinya sendiri agar lebih tenang. Tapi tidak bisa.

Sesuatu akan datang malam ini.

Ibunya—Nur Romlah, muncul dari dalam. "Tris, kamu kenapa? Kelihatannya, tegang begitu. Kamu lagi sakit, ya?"

Kalau seorang ibu bilang seperti itu pertanda si anak harus pandai menyembunyikan perasaannya. Dan Sutrisno akhirnya menjawab, "nggak kok, Bu. Aku nggak sakit." Ia memaksakan sebentuk senyum di raut wajahnya demi menutupi perasaan yang sesungguhnya. Setelah ibunya kembali masuk ke dalam rumah, Sutrisno kembali terdiam. Ia kembali teringat dengan sebatang pohon pepaya yang tertancap di punggung Jajang. Keheningan mulai memadati ruang gerak dan menggelarkan ketakutan pada diri Sutrisno. Dan ia seperti tak punya kuasa atas pikirannya untuk melawannya. Nur Romlah kembali ke teras dan melihat segelas kopi dan beberapa potong roti yang belum tersentuh anaknya. "Kamu nggak lapar, Tris? Ibu perhatikan kopi dan roti bakar itu belum kamu apa-apakan. Kamu sudah makan ya di luar?"

"Belum, Bu."

"Emang kamu sebenarnya dari mana, Tris? Kok jam segini baru pulang? Tumben-tumbenan."

Pertanyaan seperti itu bagi Sutrisno terkesan sebuah ancaman yang menurutnya tidak semestinya dijawab. Tapi ia adalah seorang anak yang tidak ingin melukai perasaan ibu dengan membentak. Dan kelembutan suaranya berkata. "Aku dari Garut, Bu!"

"Dari Garut!" Nur Romlah terkejut. "Di mananya, Tris?" "Desa Pasar Wetan, Bu." Melihat mata ibunya melotot, cepat-cepat ia menambahkan. "Tapi aku ke sana cuma mampir ke rumah Rudi Hariansyah!"

"Lho. Untuk apa kamu ke sana lagi, Tris? Ibu selalu mengingatkan kamu untuk tidak pergi ke desa itu lagi!" Suara gusar ibunya terdengar begitu jelas di telinga Sutrisno. "Rudi—teman kecilku memaksa untuk mengambil uang belanja sembako padaku yang kukirim kemarin, agar uangnya langsung diambil saja ke sana."

"Aneh banget itu orang. Kalau urusannya cuma uang, kan bisa ditransfer!" Meski Sutrisno sudah memberi penjelasan yang sebenarnya, tetap saja Nur Romlah merasa ada yang ditutup-tutupi anak semata wayangnya itu darinya.

"Nah itu dia. Orang itu memaksaku untuk mengambilnya ke sana. Dasar Rudi dari dulu memang suka begitu, Bu. Dia kangen sama aku, Bu, katanya mau bertemu."

"Lalu ...." Nur Romlah tidak menyelesaikan kalimatnya. "Lalu apa, Bu?" Perasaan Sutrisno mulai tidak enak. "Bagaimana dengan Pak RT brengsek itu—yang dulu mengusir kita dari desa itu."

Suara tertawa terdengar di suatu tempat. Sutrisno bangkit celingak-celinguk mencari suara tawa itu. Melihat sikap anaknya yang ketakutan seperti itu, wanita tua itu angkat bicara. "Kamu ini kenapa sih, Tris?"

"Dengar suara tawa itu, Bu?" Suara Sutrisno serak. Lidahnya seperti tercekat. Menandakan ketakutan yang luar biasa.

Nur Romlah jadi ikut-ikutan takut. "Ah, nggak ada suara tawa kok." Ia membelai lengan kanan anaknya. "Kamu kelelahan sepertinya, Tris."

"Sepertinya, Bu. Oya, Dana dan Dini di mana, Bu?"

"Di meja makan. Biasa, sarapan pagi." Cepat-cepat Sutrisno melangkah ke ruang makan diikuti Nur Romlah yang heran melihat perubahan sikap anaknya.

Bau roti bakar dan asap susu menguap, membuat rasa takut itu mulai mereda. Ditambah dengan memandang kedua wajah anaknya selagi menyantap sarapan pagi dengan kebiasaan khas mereka. Kebiasaan yang dipandang Sutrisno sebagai sesuatu yang lucu dan menggemaskan. Sutrisno menyapa mereka dengan sukacita. "Halo, Dana, Dini. Selamat pagi anak-anak ayah yang tampan dan cantik."

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang