Meski dua gelas kopi sudah dihabiskan, Sutrisno masih saja sulit untuk meredamkan pemikirannya. Dalam tahap seperti ini, biasanya ia cepat menemukan jawaban dari setiap persoalan. Tapi untuk yang satu ini, sulit menerima jawaban begitu saja. Pak RT mati tertancap batang pohon pepaya, demikian yang ia pikirkan. Rasanya itu sungguh mustahil. Tapi itu terjadi di depan matanya sendiri.
Ia duduk di teras menikmati udara malam yang sejuk. Suasana Cijantung, Jakarta Timur, terkadang hangat dan sejuk menguar dari pelbagai arah. Sebisa mungkin ia menikmati kesegaran itu bersamaan dengan akalnya yang terus mencari jawaban. Masalah di toko sembakonya sudah beres. Pencuri itu sudah tertangkap. Pencuri berjenis kelamin wanita itu mengakui perbuatannya karena butuh makan untuk anaknya. Suaminya mati tertimpa pohon besar ketika sedang berjalan mencari barang-barang bekas untuk ditimbang.
Akhirnya Sutrisno sepakat dan memutuskan untuk membebaskan pencuri bertampang sedih itu tanpa harus ada penahanan yang berarti. Semuanya tidak lagi berbentuk kebencian maupun rasa ketidakikhlasan. Bukan itu yang Sutrisno pikirkan sekarang, tapi ada masalah yang jauh lebih besar dan masih sulit ia temukan jawabannya. Dan itu masih menjadi misteri baginya dan di saat-saat terganggu sering mengganggunya. Mengapa Pak RT melarangnya untuk kembali ke desa di mana ia dilahirkan. Dan mengapa lelaki tua itu mengancam dirinya dan kemudian sampai beraninya akan berbuat yang tidak-tidak pada keluarganya bila ia kembali ke desa itu. Ini pasti ada alasannya, pikir Sutrisno sambil bangkit dan mondar-mandir di teras dengan kepala tertunduk. Udara malam yang dingin menyergap sekujur tubuh pria perokok berat itu. Suasana malam turut mengundang kegelapannya dan menyebar di sekitar beranda rumah keluarga Sutrisno. Keadaan semakin mencekam.
Kelam. Menakutkan.
Dini muncul dari dalam. "Ayah! Dini takut!" Segera anak itu memeluk paha Sutrisno.
"Kamu kenapa, Dini?" Sekarang, peristiwa kematian Pak RT yang sejak tadi menggangu benaknya, mulai tergantikan seketika. "Ada apa, Nak? Ada apa memangnya?"
"Dini nggak mau tidur sendirian, Yah." Suara manis anak itu membuat Sutrisno ingin mengecup keningnya.
"Lho. Emangnya kenapa, Dini? Kok nggak mau tidur sendirian? Biasanya juga begitu kan? Dini kan udah gede, masa masih manja sih." Lagi-lagi Sutrisno tersenyum dan berlutut dan mengecup kening anaknya. Ia melanjutkan, "terus, Dini mau tidur di mana lagi?"
"Dini mau tidur sama nenek aja, yah."
"Kok sama nenek? Dini kangen ya tidur dikelonin nenek?" "Bukan itu, yah. Dini takut aja kalau tidur sendirian." Kembali Sutrisno mengecup kening anaknya. Perlahan- lahan ia tarik napas dan diembuskannya dengan santai. Suara anjing menyalak di kejauhan. Begitu menyayat sampai terasa ke tulang bila kau ada di situ. Di atas genteng rumah mereka, sesosok bayangan hitam menari-nari bersama hitamnya malam. Dan Sutrisno melanjutkan, "Dini Sayang." Ia mulai menenangkan. "Kamu sudah besar. Kamu nggak boleh takut dengan kamarmu sendiri. Terus kalau nanti teman-teman sekolahmu tahu, kalau kamu takut tidur di kamar, gimana dong?"
Pikiran anak kecil mudah dibawa dengan sendirinya ke alam permainan ciptaannya sendiri. Termasuk dengan keadaan dan suasana hati, itu pun bila tidak memungkinkan. Dan Dini berkata, "iya deh, Dini mau tidur di kamar."
"Nah begitu, dong. Ini baru anak ayah yang cantik dan hebat." Sutrisno menggiring anak bungsunya ke kamar. Setelah Dini berbaring dan tubuhnya terbungkus selimut, Sutrisno kembali berkata, "lampunya dinyalakan saja ya. Dan pintunya dibiarkan terbuka. Kamu merasa lebih tenang kan, Dini?" Anak itu manggut-manggut. Perasaan takut itu mulai memudar.
Sebelum pergi, Sutrisno mengecup kembali kening anaknya. Lalu ia tersenyum dan meninggalkan ruangan kamar dalam keadaan pintu terpentang lebar. Dini merasakan hangatnya malam itu bersamaan turunnya udara dingin yang menyebar masuk melalui ventilasi jendela. Ada suara-suara ranting jatuh di luar sana, suasana begitu senyap dan sepi, tidak ada kesan ancaman maupun kengerian pada diri Dini. Anak itu mulai memejamkan kelopak matanya dengan sukacita menari-nari di dalam mimpi indahnya, meski ketika itu, berdiri sesosok bayangan gadis cilik di sisi kiri ranjangnya dengan mata merah berkilat-kilat dan genggaman pada tangan kanannya mencengkeram sebatang permen rasa jeruk.
***
Di dalam kamar, Sutrisno tidak segera tidur. Lantas ia seret kursi kayu yang terletak di sudut ruangan itu ke liang jendela. Ia pentangkan jendela kamar lebar-lebar. Tatapannya terpusat pada suasana di luar sana. Kebun jambu yang membatasi rumah tetangga betul-betul membuat pikirannya menjadi runyam lagi. Ia ambil sebatang rokok dan mulai membakarnya untuk kemudian diisap dan duduk masih memandang pohon jambu dengan sorotan tajam tak bergairah.
Pak RT mati tertancap pohon pepaya selagi ia berkunjung ke rumah lamanya. Itulah yang membuatnya tidak bisa tidur. Jam sepuluh. Belum terlalu malam.
Suara anjing menyalak di kejauhan. Awalnya meninggi, kemudian turun, tinggi lagi dan turun dan menghilang ditelan kesunyian mendalam. Cahaya bulan tertutup awan gelap. Hitamnya malam menjadi lebih kelam dan menakutkan. Salah satu alasan alam membuka keagungannya untuk menerima roh-roh yang mati penasaran. Buru-buru ia tutup jendela itu. Sudah jam sebelas, lima batang rokok sudah ia habiskan tanpa peduli dengan napasnya yang terasa sesak. Ia takut ada sesuatu di sekitar yang akan datang malam ini. Tapi ia tidak bisa memahami maksud kedatangan sesuatu itu. Apakah khayalan atau rancangan dari rasa takut yang ia alami akhir-akhir ini. Itu sungguh mengherankan. Buat apa memedulikan perasaan yang tak jelas asal usulnya. Tidur lebih baik dan enak.
Ia paksakan untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Udara semakin dingin. Suara burung hantu menciptakan suasana malam semakin kelam, membentuk karya maha besar yang diciptakan para setan-setan di neraka. Mereka yang menggantung di luar, bertengger dalam kesenyapan untuk bersiap-siap masuk ke dalam rumah keluarga Sutrisno.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorrorDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...