Tubuh Dana gemetar ketika matanya yang masih jelalatan membuuat Sutrisno kebingungan setengah mati. "Nggak tahu, Ibu. Kayaknya mimpi buruk anak ini." Ia mengguncang tubuh anak itu dengan lembut, terus menekan, sampai akhirnya keras. "Bangun, Dana!" Tak sampai lima menit, tubuh anak itu lemas tak berdaya. Awalnya getaran pada tubuhnya berlangsung mengecil, sampai akhirnya terus mengecil dan lenyap tak bergairah. Wajah Dana merah namun kelopak matanya mengesankan bahwa dirinya baik-baik saja. Sutrisno lari ke dapur mengambil air mineral dan meminta Nur Romlah untuk terus menjaganya. Sutrisno masuk ke kamar dengan membawa segelas air mineral, ketika melihat Nur Romlah dan Dana sedang berbicara.
Cepat-cepat Sutrisno meletakkan gelas itu di meja dan memeluk anak sulungnya. "Kamu kenapa, Dan?"
Suara anak itu terdengar pelan dan tak bergairah. "Aku dikejar orang, Yah!"
Nur Romlah dan Sutrisno bertukar pandang sampai akhirnya Sutrisno berkata, "dikejar siapa? Mimpi apa beneran?" Ia sudah siap-siap mencari kayu untuk mengantisipasi adanya perampok yang masuk ke rumah.
"Mimpi, Yah." Suara anak itu menjadi gemetar. "Tapi Dana takut banget, Yah. Takut banget."
Sutrisno memeluk anaknya untuk sekadar membantu melenyapkan rasa takut itu. Selama merangkul, ia menyadari akhir-akhir ini keadaan keluarganya—khususnya di dalam rumah ini, menjadi serba aneh. Dimulai dari cerita Irfan, kejadian yang dialami ibunya maupun ketakutan yang dinyatakan Dini tempo hari. Sekarang Dana ikut pula merasakannya. Dan ia sendiri belum bisa menyimpulkan dengan pasti pelbagai peristiwa yang dihadapi anggota keluarganya. Tapi satu hal yang pasti, sepertinya kejadian tak wajar ini bermula ketika ia pergi ke desa Pasar Wetan sampai akhirnya melihat kematian Pak RT dengan cara yang mengerikan. Sebab lainnya belum ia pertanyakan, mungkin ia akan menyimpan rasa ketidakwajaran itu untuk sementara malam ini dan kembali membukanya esok hari, ketika suasana menjadi lebih nyaman dan aman.
"Kamu tidur di kamar nenek aja ya, Dan?" Nur Romlah memang senang ditemani cucunya tidur. Dengan demikian ia bisa tidur dengan tenang. Tak ada pikiran aneh yang menyerang dirinya setiap malam menurunkan kegelapan.
Dana menyetujui ajakan neneknya. "Iya, Nek."
Dana dan Nur Romlah baru saja masuk ke dalam kamar, ketika Sutrisno membuka pintu kamar Dini. Berdiri di liang pintu, ia bergeleng-geleng melihat Dini tak membungkus tubuhnya dengan selimut. Di Jakarta, akhir-akhir ini malam menjadi sangat dingin sekali. Kelam, sunyi dan memuakkan bagi mereka yang mencari hiburan namun tak kunjung mendapatkan bahagia. Lantas ia bungkus tubuh gadis cilik itu dengan selimut yang terhampar acak-acakkan di sebelah badannya. Setelah memeriksa jendela kamar yang ternyata sudah terkunci, pandangannya menyapu ke segala arah, waspada akan segala sesuatu mengintai di sekitar. Tapi ia tidak merasakan hal demikian. Terlalu tenang suasana malam ini.
Pintu kamar Dini ditutup, Sutrisno terus berjalan ke ruang depan, memeriksa keadaan di luar sana melalui celah gorden yang ia buka secukup mata memandang. Dedaunan tanaman bergoyang tertiup angin, debu-debu beterbangan di atas permukaan pekarangan lantaran angin yang meniup tak kunjung bosan mengajak kegelapan menari-nari. Gorden ia rapatkan setelah bosan melihat keadaan tenang yang tak lazim di depan sana. Buru-buru ia masuk ke dalam kamarnya tanpa menutup pintu. Kemudian ia baringkan tubuhnya di atas ranjang sampai akhirnya lima menit kemudian, kelopak matanya tak kuat menahan rasa kantuk. Bersamaan dengan itu, sesosok gadis bertubuh gelap yang muncul di dalam mimpi Dana, mengintai dari liang pintu. Berdiri dengan sikap menantang dalam sorotan mata yang merah berkilat-kilat bak api di neraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorrorDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...