Seseorang

59 14 8
                                    

Setengah jam kemudian ia temukan tubuh Irfan berdiri agak jauh dan tampak gemetar di dekat tiang listrik yang keberadaannya tidak jauh dari rumah Sutrisno. "Masuk, Fan!" Awalnya Irfan ragu-ragu. Tapi ia ingat, dua hari lagi ia akan gajian. Berarti ia harus mengikuti perintah majikannya. Karena kalau sampai tidak menurut, habis sudah nanti. Bisa gawat, nanti gaji akan terpotong, hutang kemarin di warung pun akan tertunda lagi dilunasi. Bisa-bisa istrinya akan marah dan bukan tidak mungkin akan meninggalkannya alias cerai.

Irfan terus mengutuk dirinya yang terlihat sangat ketakutan. Di bawah alam sadarnya, ia tahu ia tidak boleh membiarkan dirinya ketakutan seperti itu. Harus ada paksaan demi meraih gaji yang utuh.

Mobil tiba di depan pekarangan rumah. Parkirnya di situ saja, tak ada waktu untuk memasukkan mobil ke garasi. Ia berlari masuk ke dalam rumah ketika menemukan ibunya sedang duduk-duduk di ruang depan sambil mengusap-usap pergelangan lengan kanan dan kirinya.

"Ibu nggak apa-apa?"

"Mana Irfan?" Nur Romlah kelihatannya marah. "Kenapa supirmu itu meninggalkan saya?"

Irfan muncul dari liang pintu masuk dan berkata. "Maaf, Bu. Saya ketakutan sekali tadi. Maaf sekali."

Sekarang perasaan Sutrisno lega sudah. Ia dapatkan senyuman itu kembali. Ibunya baik-baik saja. Aman sekarang, pikirnya. Hatinya aman dari rasa tegang yang jika terjadi terus menerus bisa membuatnya depresi. "Ibu benar nggak kenapa-napa? Apa harus aku bawa ke rumah sakit untuk dicek?"

"Ah. Tidak usah. Ibu baik-baik saja!" Ia memandang Irfan dengan mata melotot. "Kamu jadi lelaki penakut sekali, Fan. Badan doang dibesarin!" Ia bangkit cepat-cepat dan masuk ke dalam kamar.

Sutrisno menarik napas dulu sebelum berkata seperti ini pada Irfan. "Syukurlah, ibu saya baik-baik saja. Emang kamu nggak tahu, kok bisa-bisanya lemari itu menimpa ibu saya, Fan?"

"Kalau ditanya seperti itu, saya juga tidak tahu, Pak. Wong datang-datang ke sini saya sudah melihat ibu tertindih lemari."

"Di ruang tengah, ya?" Tanpa menunggu jawaban Irfan, ia melangkah ke ruang tengah. Suasana semrawut tampak menghadirkan keributan yang tidak ia mengerti. Pecahan kaca, kayu dan puing-puing pajangan yang awalnya tersimpan di dalam lemari membuatnya tak habis pikir, apa yang bisa membuat ibunya sampai tertindih lemari. Tapi ia ingin menenangkan dulu suasana yang tidak menyenangkan ini. Mungkin nanti sore atau malam, ia akan tanyakan perihal ini pada ibunya. Ia harus mendapatkan jawabannya kalau ingin memuaskan rasa penasarannya selama ini.

"Kamu pulang aja, Fan. Nanti kalau ada apa-apa, saya akan meneleponmu."

"Terima kasih, Pak." Lima detik kemudian sopir itu lenyap dari pandangan Sutrisno yang masih memandang puing-puing berserakan di ruang tengah itu. Lalu ia palingkan pandangannya ke lorong dapur. Ia ingat apa yang dikatakan Irfan tadi. Ada ibunya di dapur padahal ia juga melihatnya sedang berbaring di sofa.

Bulu kuduknya meremang, namun ia paksakan saja untuk berjalan ke dapur. Baru sampai lorong, ia berhenti, keadaan menjadi dingin dan baru saja berjalan satu langkah, keadaan bertambah menjadi dingin sekali. Tampak asing dan penuh tarikan tersendiri. Sensasi yang berlebihan dan tidak bernuansa nyaman sedikitpun. Rasa takut menjalari hati Sutrisno. Lama ia melangkah, mengendap-endap saja, hati-hati dan tampak waspada. Matanya celingak-celinguk. Sebentar-sebentar ke belakang, ke samping, ke arah sebaliknya, dan ke depan lagi. Merasa asing, pikirnya ketika ia baru saja tiba di liang pintu dapur.

Suasana dapur itu terang dijilati lampu neon, membuat mata Sutrisno silau. Masih berdiri di liang pintu dapur, ia fokuskan pandangannya menyapu sekeliling ruangan itu. Tidak tampak apa-apa, dan ia tahu ibunya ada di dalam kamar. Jadi apa yang dikatakan Irfan lewat pembicaraan telepon tadi, benar apa tidaknya masih ia pertanyakan kembali pada keyakinannya.

Langkah kakinya gontai ketika ia mencoba untuk berjalan dengan tatapan masih menyapu ke sekeliling. Di meja makan memang ada empat bangku namun tak tampak siapapun yang ada di situ. Tadi Irfan sempat bilang bahwa ia mendapati Nur Romlah yang sedang terbaring di sofa namun tiba-tiba sosoknya juga tampak sedang duduk di bangku meja makan. Dan ia tidak melihat apa-apa. Ketika ia melihat dudukan satu persatu bangku itu, tidak ada kesan bahwa salah satu dari keempat bangku itu baru saja diduduki oleh seseorang.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang