Selesai sarapan pagi, Sutrisno menelepon Irfan untuk memintanya mengantarkan Dana dan Dini ke sekolah. Awalnya Irfan ragu-ragu, tapi besok ia gajian, jadi tak ada alasan untuk menolak tawaran majikannya. Selepas gaji dibayar, ia akan mengundurkan diri sebagai sopir pribadi Sutrisno. Ia tak peduli akan dimarahi oleh majikannya itu. Pak Sutrisno tak tahu bahaya apa yang sedang dihadapinya. Lagipula hidup bukan untuk dihabiskan menjadi sopir, pikirnya membenarkan dirinya sendiri.
"Baik, Pak. Saya ke sana sekarang," jawab Irfan. Dana dan Dini sudah menunggu di teras ketika lelaki gemuk itu muncul dengan wajah pucat seperti menahan rasa sakit atau mungkin menahan rasa takut berlebihan.
Melepas kepergian kedua anak-anaknya, Sutrisno kembali ke dapur yang ketika itu tampak Nur Romlah baru saja duduk di bangku meja makan menikmati sepotong roti perlahan-lahan. Ada sesuatu yang sebenarnya ingin ia pertanyakan pada ibunya, tapi ia takut justru hal demikian akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang keluar dari mulut Nur Romlah. Maka ia sembunyikan dan memberi jangka waktu, demi mendapatkan momentum—di mana ia harus mengutarakan apa yang akhir-akhir ini menganggu pikirannya.
Orang bilang, kalau hidup sudah susah, pikiran jangan dibuat susah lagi. Nanti bisa kurus. Tapi tidak ada kekhawatiran yang berarti apapun bagi kelangsungan hidup keluarga mereka. Kehidupan ekonomi keluarga Sutrisno sudah lebih dari cukup. Tapi apa enaknya punya uang berlimpah kalau pikiran selalu saja diganggu hal-hal yang tak wajar. Ia tak ingin hanya merasakan senang di mulut namun segudang masalah terus menghantui di pikirannya. Mereka yang seperti itu adalah orang-orang munafik. Ingin terlihat seperti ini dan itu, akan tetapi justru membuat pikirannya menjadi lebih runyam lagi. Itu namanya orang tolol. Hidup enak, tapi kurang bersyukur, untuk apa. Ha! Lebih baik hidup sederhana namun pikiran dan hati terasa tenang.
Ia duduk di bangku sebelah ibunya dan mencoba memulai pembicaraan. "Bagaimana tidurnya Dana semalam, Bu?" Tangan Sutrisno menyalakan rokok yang dari tadi sudah dipegangnya.
Nur Romlah tidak suka diajak bicara kalau sedang mengunyah. Tapi ia memaksakan untuk menjawab, "nyenyak kok. Nggak ada masalah apa-apa." Dalam pikiran wanita tua itu, ia sebenarnya teringat dengan penampakan orang yang mengejar dirinya ketika ia masuk ke dalam kamar Dana. Buku kuduknya meremang mengingat hal demikian. Ia buang jauh-jauh pemikiran seperti itu. Tapi tidak bisa. Rasanya seperti ada yang meminta tuntutan.
"Akhir-akhir ini, pikiranku terganggu oleh peristiwa yang kita alami di rumah ini, Bu." Udara masuk melalui liang pintu dapur. Daun pintu itu berderit-derit. Tak ubahnya seperti jeritan halus seorang anak manusia meminta kekuatan pada rasa setan. Sutrisno tidak memedulikannya, isapan demi isapan rokok itu membuatnya lebih fokus dengan jalan pikirannya. "Apa ibu merasakan juga hal yang sama sepertiku?"
Setengah potong roti saja yang ia habiskan sebagai sarapan pagi itu, sudah cukup membuat perutnya kenyang. Dan ia menjawab dengan nada datar, "kamu membicarakan peristiwa yang mana saja, Tris?"
"Yang Dana alami maupun yang Ibu alami juga." Ia tarik napasnya dalam-dalam sambil mematikan puntung rokok di piring kotor. Padahal ia pun pernah mengalami sesuatu yang lebih mengerikan; kematian Pak RT.
"Awalnya ibu pun berpendapat, apa yang ibu lihat ketika itu adalah maling atau sejenisnya." Sejenak ia berhenti, mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan gambaran peristiwa pada saat itu. "Tapi kalau ibu pikir-pikir kembali, memang benar apa kata kamu waktu itu, kalau ibu sedang dalam keadaan mengantuk. Buktinya tidak ada orang yang masuk ke dalam rumah kan?" Nur Romlah sendiri heran mengapa berkata seperti itu pada putranya. Padahal ia yakin betul, ketika itu mereka tarik menarik kenop pintu kamar Dana dengan sosok gelap yang berlarian dari sudur kamar. "Tapi bagaimana dengan yang dialami Dana, Bu." Suara Sutrisno mulai terasa resah. Tapi masih bisa dikendalikannya. "Bahkan apa yang dilihat Dana di halaman belakang ketika itu. Dan ...." Ia teringat dengan cara kematian Pak RT. Rasanya persoalan itu bukan langkah baik untuk dibicarakan.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali menyimpan persoalan tidak wajar itu.
Tapi melihat anaknya ragu-ragu, kegelisahan Nur Romlah muncul ke permukaan sanubari hatinya dan bertanya. "Dan apa, Tris?" Yang ditanya malah terdiam seribu bahasa. Dan yang bertanya menyadari ada yang tidak beres. "Ibu mau tanya sama kamu, Tris." Mendadak langit menjadi mendung. Terlalu suram untuk hujan di pagi hari yang terbakar kesejukan alami. "Apa yang kamu lakukan di desa Pasar Wetan ketika itu?"
"Aku cuma bertemu Rudy aja, Bu!"
"Ah masa? Ibu kok kurang yakin ya. Kamu bertemu siapa lagi selain Rudy?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
HorrorDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...