Sejak masih berumur enam tahun, Dana selalu menyiapkan sebotol air mineral dan diletakkan di meja sebelah ranjangnya bila ingin tidur. Alasannya agar tidak bolak-balik ke dapur. Setiap malam, anak berumur tujuh tahun itu selalu bangun karena tenggorokannya terasa kering kerontang. Ditenggaknya sebotol air itu sedikit-sedikit hingga sampai habis. Setelah itu melamun, beberapa menit kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut hangatnya. Nyaman dan nikmat.
Tapi malam itu ia lupa membawa sebotol air mineral ke dalam kamarnya. Sekarang waktu menunjukkan pukul dua lebih lima menit dini hari. Waktu yang kurang menyenangkan untuk berjalan ke dapur dengan alasan mengambil air minum. Di luar sana, terdengar suara embusan angin sayup- sayup menenangkan, membuat suasana malam itu menjadi lebih tenang. Tapi ketenangan itu terasa lembap dan tidak menyenangkan bagi Dana. Ada ketakutan yang tidak ia mengerti. Lapisan rasa gelisah dan cemas menyatu menjadi ketakutan dalam suatu pilihan untuk pergi ke dapur atau kembali tidur saja. Tapi ia tidak mengetahui mengapa rasa takut itu bisa sampai sedemikian rupa membuat pikirannya menjadi enggan untuk pergi ke dapur.
Takut karena semua orang di dalam rumah sudah tertidur. Atau malas berjalan ke dapur. Atau jangan-jangan takut karena lampu dapur tidak menyala dan suasana gelap membuat pikiran menjadi semakin waspada. Bagaimana kalau tidur saja lagi, pikirnya. Tapi rasa haus menyesakkan napasnya. Tidak ada alasan selain turun dari ranjang kemudian pergi ke dapur dengan berjalan cepat, membuka kulkas, ambil botolnya dan lari ke dalam kamar kemudian tenggak sampai habis setelah pintu kamar ditutup. Ia menertawakan bayangan konyol itu.
Tanpa banyak berpikir lagi, Dana turun dari ranjangnya. Berjalan santai, membuka pintu, berhenti di ambang pintu kemudian memperhatikan lorong gelap yang menuju dapur. Ia nyalakan lampu itu dan lorong itu menjadi terang benderang. Butuh waktu dua menit untuk dapat kembali berjalan karena silaunya cahaya lampu menyiram kedua bola matanya.
Dapur itu gelap. Tapi Dana masih bisa melihat sekeliling ruangan dapur beraroma ikan mujaer. Nenek suka ikan jenis itu, pikirnya sambil tersenyum. Ia baru saja membuka pintu kulkas ketika pintu dapur terbuka karena dorongan angin dari luar. Udara malam menyergap sekujur tubuh anak itu.
Keseimbangan pikirannya mulai goyah ketika merasakan ada sesuatu yang tidak enak di luar sana. Ia menutup pintu kulkas itu dan mengendap-endap menuju pintu dapur yang terbuka. Di luar sana terdapat halaman kecil yang dibatasi pagar kayu dan di pinggirnya ditumbuhi pohon pisang, pepaya, serta sesemakan belukar. Sinar rembulan menjilati tanah dengan semangat.
Sesosok manusia berjalan pelan mengelilingi halaman membuat Dana bertanya-tanya. Siapa orang itu? Suasana seketika itu menjadi gelap. Penerangan lampu di halaman belakang mendadak redup. Di atas bulan kembali tertutup awan. Kabut muncul dari tanah dan naik ke atas kemudian menyebar ke permukaan tanah, Dana masih berdiri di ambang pintu. Ia maju satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Dan ...
Sesosok manusia itu tampak jelas di matanya masih mengelilingi halaman. Jalannya gontai. Asyik sepertinya. Itu nenek, pikirnya. Tapi sedang apa nenek di luar sana tengah malam begini. Ia maju lagi satu langkah, dua langkah berhenti. Bau busuk menguar dari kegelapan malam.
Ada yang aneh.
Muncul rasa ketakutan yang lebih besar lagi, Dana mundur dua langkah. Tatapannya masih memandang neneknya yang berjalan pelan mengelilingi halaman dengan kepala tertunduk menatap tanah. Lama-lama neneknya berjalan sedikit cepat, dan cepat. Kemudian lebih cepat, dan bertambah cepat lagi. Sampai akhirnya ... berlari menuju Dana.
Dana berteriak dan kabur ke dalam. Pintu tidak ia tutup, terus masuk ke rumah kemudian menggedor pintu kamar Sutrisno. "Ayah!" Suaranya serak. Begitu takutnya anak itu. "Ayah. Buka pintunya. Dana takut! Ayah!"
Pintu dibuka. Sutrisno mengucek matanya. Katanya dengan suara tak senang, "ada apa? Kenapa kamu teriak- teriak begitu? Ini kan tengah malam lewat!"
Napas Dana tidak teratur. Ia menarik napasnya dalam- dalam. Dan sepuluh detik kemudian anak itu menjawab, "Nenek sedang apa, Yah, di halaman belakang sana?"
Sutrisno tidak mengerti. "Nenek bagaimana maksud kamu?"
"Nenek sedang apa berjalan-jalan di halaman belakang sana?"
Sutrisno berjalan melewati badan anaknya terus pergi ke kamar ibunya dan mengikuti dari belakang dan tanpa mengetuk pintu, ia buka pintu kamar ibunya. Dana melihat apa yang sedang dilihat ayahnya. Tubuh Nur Romlah terbungkus selimut berwarna hijau. Di sisi tempat tidur, cahaya TV menjilati ranjang wanita tua itu. Sutrisno berkata dengan nada sedikit agak marah, "kamu ini apa-apaan, Dana? Ganggu orangtua lagi tidur saja. Kamu tidak lihat nenek sedang apa? Kamu ini sudah besar. Tidak pantas berbohong kayak begini."
"Tapi tadi Dana melihat nenek berjalan-jalan di halaman belakang, Yah?"
"Kapan?"
"Barusan!"
"Tapi Nenek ada tuh, lagi tidur!" Perasaan Sutrisno menjadi tidak enak. Jangan-jangan yang dilihat Dana barusan, sejenis maling. "Ayo ke belakang. Ayah mau lihat." Sutrisno cepat-cepat berjalan ke dapur, Dana menguntit dari belakang. Tidak ada alasan baginya untuk kembali melihat neneknya berlari-lari menakutkan seperti tadi. Selama ayah ada di dekatnya, tidak ada yang perlu ditakutkan, pikirnya. Mereka sampai di dapur, pintu tertutup. Sutrisno baru saja akan membuka pintu ketika dari belakang, Dana berkata. "Jangan dibuka, Yah!" Namun Sutrisno berkeras membuka pintu itu.
Tidak ada siapa-siapa. Sutrisno berdiri menikmati embusan udara dini hari dengan sejuk yang menerpa sekujur tubuhnya. Lantaran ia sedang berkeringat, jadi ia nikmati saja kesegaran udara yang menyebar di halaman belakang itu. Lima menit kemudian ia menutup pintu dan berkata pada Dana seperti ini. "Kamu tidur, ya, Dan." Suaranya lembut sekali. "Jangan pernah lagi ajak ayah bermain-main di waktu yang tidak baik seperti ini. Ini kan waktunya istirahat, bukan bermain kucing-kucingan segala." Setelah itu Sutrisno menggiring Dana masuk ke dalam kamarnya. Sampai tubuh Dana diselimuti selimut yang hangat, ia berkata, "selamat tidur, Dana. Sudah jam setengah tiga. Tiga jam lagi kamu harus bangun, mandi, sarapan dan membereskan pelbagai macam keperluan di sekolah. Sudah ya, sayang." Ia mengecup kening anaknya dengan kelembutan dari seorang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBAR GAIB
Kinh dịDana dan Dini adalah "kembar pengantin" dalam kepercayaan Jawa. Mereka kembar namun berbeda jenis kelamin. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat di bawah asuhan ayah mereka, Sutrisno dan nenek mereka, Nur Romlah. Hingga suatu hari, keanehan d...