Kopi

2 0 0
                                    

Dua jam kemudian, Sutrisno tiba di rumah, duduk di bangku teras menikmati secangkir kopi. Ia kembali membangunkan ambisinya untuk mencari jawaban misteri yang menurutnya tersimpan cukup ketat oleh ibunya sendiri. Kadang-kadang kalau sedang berpikir keras seperti itu, ia bisa sampai menghabiskan rokok sebanyak 20 batang berikut lima gelas kopi. Tapi sekarang ia sudah punya gelas cukup besar—yang kalau diukur banyaknya mencapai tiga gelas ukuran standar. Sungguh kegiatan yang menarik dan membuat dirinya ekstra berat dengan isapan rokok dan tegukan air kopinya yang kental dan pekat.

Pikirannya berusaha memahami apa yang akan dilakukan Nur Romlah dengan Dana dan Dini di desa Pasar Wetan nanti. Tujuannya mungkin semata-mata mencari penghiburan. Tapi ketika ia lihat ekspresi cara bicara ibunya saat itu, mengesankan satu petunjuk yang mengarah pada sisi-sisi kosong yang selama ini mengusik pikirannya. Hem! Ia cukup tenang memikirkan hal demikian. Menurutnya, ada sesuatu yang menakutkan, disembunyikan oleh Nur Romlah dalam waktu yang cukup lama. Buat apa ibu mengubur sesuatu yang dampaknya berbahaya bagi keselamatan keluarga. Untuk apa pula ibu mencari-cari alasan dengan cara seperti orangtua yang terkesan tak tahu-menahu, demikian ia berpikir.

Ia meludah ke tanah pekarangan ketika udara sejuk menerpa sekujur tubuhnya. Lamat-lamat perasaan segar itu berubah menjadi hangat sampai kemudian terasa menyengat dan kering tak terbantahkan lagi.

Ia bergumam, "ya Tuhan! Panas banget cuaca hari ini." Ia meludah lagi sampai tiga kali ketika peluh membanjiri keningnya, rasa marah semakin edan menjalari dirinya. Ia pacu pikirannya untuk lebih tenang selagi memikirkan apa yang nanti akan dilakukan ibunya di desa Pasar Wetan bersama cucu-cucunya. Sekarang udara mulai kembali sejuk dan menyegarkan. Hawa yang aneh dan teramat janggal sungguh memuakkan namun sampai siang nanti ia akan menanti Dana dan Dini kembali dari sekolah.

Tadi di sekolah, wali kelasnya mengatakan padanya seperti ini, "Pak Sutrisno boleh-boleh saja mengajak kedua anak-anak liburan ke kampung. Tapi saya harap, nanti saja menjemputnya, di saat bel tanda pulang sekolah berbunyi. Biarkan mereka menikmati cara kebersamaan belajar bersama teman-temannya. Saya pikir, tidak ada masalah kan, kalau mereka diambil selesai pelajaran berakhir. Toh dari awal Bapak ingin mengajak mereka berlibur, bukan mengunjungi sanak-saudara yang sedang sakit."

Dasar wali kelas sialan, pikirnya. Apa susahnya sih memberi izin? Toh ini yang pertama kalinya. Ia bakar rokok untuk yang ke sekian kalinya. Air kopi di gelas jumbo itu sudah mau habis, dangkal dan tampak ampas kopi mengambang seperti kotoran kambing. Ia terus ke dapur untuk membuat kembali kopi yang lebih manis sekadar membunuh waktu menuju siang hari.

*****

Rasa sesak dan pusing membuat Irfan kebingungan ketika bangun dari tidurnya. Jam menunjukkan pukul sembilan tepat. Diliriknya Linda yang masih tergolek manis di sebelahnya. Aduhai sekali cara wanita itu bercinta dengannya malam tadi. Semua gaya dipamerkan padanya untuk dipraktekkan seliar mungkin. Linda yang menakjubkan, malam tadi berkali-kali meminta untuk dicumbui padanya. Padahal Irfan belum menerima gaji. Seingatnya, biasanya istrinya tidak pernah mengajaknya duluan untuk bercinta. Tapi malam tadi, Linda seperti banteng liar yang meminta untuk dimanjakan dengan caranya sendiri. Nafsunya semakin membesar dan membengkak.

Ia buang jauh-jauh pikiran yang berkelebat sekejap itu untuk kemudian dilihatnya HP—yang tergeletak di meja. Bangkit dan menyimak layar pada HP itu ketika menyadari ada delapan kali panggilan tak terjawab dari majikannya. Sepertinya hari ini ia benar-benar kesiangan. Mungkin Dana dan Dini diantar ayahnya ke sekolah, pikirnya sambil keluar dari kamar menuju ke kamar mandi dan berpakaian seadanya; kaos oblong disambung jins belel yang menurutnya metal dan macho. Ia tersenyum memandang cermin yang menempel di lemari istrinya. Senang dan puas akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba sudah. Hari ini ia akan menerima gaji. Aneh. Padahal sudah sering ia menerima gaji setiap bulannya. Tapi kenapa rasa teramat bahagia itu baru sekarang ia rasakan? Hemm. Apa pedulinya. Mau merasakan seperti apapun, ia yang punya hatinya, bukan mereka.

Ia bangunkan Linda dan meminta dibuatkan kopi. Awalnya Linda terkejut karena bangun tidur tidak seperti yang biasanya. Tapi beberapa menit kemudian ia ingat, malam tadi mereka bercinta sampai jam tiga dini hari, pemanasan dan melakukannya sama-sama lama. Enak dan nikmat. Lantas ia bangkit dan memeluk Irfan sembari berbisik, "kopi manis apa pahit?"

"Manis dong." 

Mereka duduk di ruang depan. Udara pagi terasa sejuk. Pepohonan di luar sana teramat serasi dan terlihat centil ketika goyangannya seirama dengan tiupan angin. Hari yang cerah untuk menerima gaji, pikir Irfan. Tapi apa yang ada di pikiran Linda, hari ini ia akan siap-siap menyatroni pelbagai macam toko pakaian guna memenuhi kebutuhannya. "Aku berangkat dulu ya, Lin," kata Irfan setelah kopi tandas di gelasnya.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang