Irfan

87 14 7
                                    

Selesai sarapan pagi, Irfan mengecup kening istrinya dan berkata. "Aku ke rumah Pak Sutrisno dulu, sayang." Linda, seorang wanita berumur tiga puluh tahun berperawakan kurus dengan wajah bertampang masam, menjawab, "lho, bukannya belum ada telepon dari mereka, Mas?"

"Iya. Tapi kan tetap saja nggak enak kalau aku cuma diam aja di rumah. Nanti kesannya mereka anggap aku sopir pemalas lagi." Sebenarnya Irfan adalah orang yang disiplin. Tapi itu hanya berlaku ketika tidak ada temannya yang mengajak bermain poker. "Ya udah, sayang. Aku berangkat dulu ya." Cepat-cepat ia meninggalkan rumah meski sebenarnya ada pikiran yang mengganggunya sejak kemarin ketika ia berhadapan dengan sesuatu yang tidak wajar.

Bayangkan, wanita tua itu tidak membuatkannya kopi, tapi kopi sudah tersaji di atas meja, dan diminum pula air itu dengan nikmat. Setelah itu apa yang terjadi? Majikannya keluar dari dalam kamar dan mengatakan bahwa sama sekali ia tidak membuatkan kopi untuknya. Perasaannya menjadi lebih takut selama ia berjalan menuju rumah keluarga Sutrisno. Perasaan untuk tidak ke rumah mereka sebenarnya semakin besar untuk ditanggapi. Tapi ini masalah pekerjaan, dan dua hari lagi waktunya gajian. Kalau sampai ia tidak muncul di hadapan majikannya, bisa-bisa uang gajinya mundur atau bahkan dipotong. Bisa sial jika begitu, pikirnya. Aku butuh uang untuk makan keluarga, jadi buat apa aku menarik diri dari rumah itu. Tapi ada lagi yang membuatnya berpikiran baik untuk dirinya sendiri. Apakah setelah menerima gaji, ia berhenti kerja saja sebagai sopir pribadi keluarga Sutrisno? Pikiran itu menjadi penghalang yang kesekian kalinya setelah ia dihadapkan hal tak wajar kemarin pagi.

Ia ingat lagi, ketika pagi kemarin, setelah mengantarkan Dana dan Dini ke sekolah, ia datang ke rumah keluarga Sutrisno dan menawarkan bantuan kepada Bu Nur Romlah bilamana akan pergi ke pasar atau ke tempat manapun, ternyata jawabannya tidak ada yang harus dikerjakan. Dan ketika ia baru saja keluar dari gerbang rumah itu, tiba-tiba saja ponselnya berdering dan terdengar suara wanita tua yang mengaku sedang berada di pasar. Ia tahu kalau suara itu milik majikannya yang beberapa detik sebelumnya ia jumpai. Persetan dengan lelucon seperti itu. 

Sebelum Nur Romlah meneleponnya, ia baru saja bertemu dengan orang yang sama, tetapi mengapa tiba-tiba wanita itu sudah ada di pasar? Ini benar-benar menakutkan, pikir Irfan ketika ia baru saja berbelok menuju gang rumah keluarga Sutrisno. Bergetar, sesak napasnya, ia pacu langkah kakinya agar semua pikiran yang menganggunya itu bisa dilupakan. Tapi tidak mudah. Melekat dan bagaikan menyatu tak pernah bisa dilepaskan begitu saja. Semua anggapannya telanjur bergabung dengan hati dan pikirannya. Apalagi yang ia hadapi kemarin pagi benar-benar nyata meski ia sendiri masih tak habis pikir mengapa hal demikian bisa terjadi. Ia lahir dan dibesarkan di tempat ini tanpa pernah mendengar ada hantu atau hal sejenisnya. Tapi kemarin pagi ia merasakan apa yang tidak pernah ia rasakan selama hidup di daerah yang bisa dibilang sungguh nyaman untuk hidup sederhana. Tapi Irfan bukan lelaki yang mudah percaya dan menyimpulkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya begitu saja. Ia harus terus melangkah dan menemukan titik terang itu dengan cara bertemu dengan wanita tua itu. Setidaknya ketika berhadapan, ia bisa membuktikan apa yang di pikirannya selama ini, bahwa dugaannya ternyata salah.

Nyatanya justru tampak lebih mengerikan lagi, ketika ia melihat daun pintu masuk rumah keluarga Sutrisno terbuka. Segan untuk menyapa karena ada perasaan takut, Irfan berdiri saja di liang pintu. Sepertinya si penghuni rumah sedang ada di dapur. Tapi ia tidak mau kecolongan lagi seperti kemarin pagi. Bisa saja wanita tua itu sedang ada di kamarnya. Ia akan membuktikan sekali lagi bahwa dugaannya salah. Mana mungkin ada hantu, pikirnya selagi pandangannya menyapu ke ruang tamu, terus lorong menuju dapur.

Akhirnya ia paksakan gelora ketakutan itu dengan terus masuk ke dalam, kemudian ia berhenti di ruang tamu. Diperhatikannya di meja itu tak ada apa-apa, asbak kosong dan vas bunga tertata dengan rapi di sana. Berjalan kemudian ke lorong ruang berikutnya perlahan-lahan, ia tahan napasnya sedemikian rupa. Setelah itu, ia hajar keberadaan ketakutan pada hatinya setelah kakinya menginjak lantai ruang tengah. Dingin dan terasa kelam suasana ruangan itu. Rintihan suara sayup-sayup membuat bulu kuduknya merinding, pandangannya berkeliling dengan waspada. Tampak ketakutan muncul lagi. Ia mengutuk dirinya sendiri. Irfan baru saja hendak kabur ketika melihat majikannya tertindih lemari dan puing-puing pecahan kaca. Sensasi ketakutan itu menurun ketika ia melihat Nur Romlah dengan tak berdaya tergeletak dalam keadaan mengenaskan. Wanita tua itu masih hidup ketika ia melekatkan telapak tangan kanannya pada dada bagian kiri. Cepat-cepat ia angkat lemari itu dan melemparkannya ke bagian sisi lain. Ia rangkul wanita tua itu dengan sigap. Keberaniannya muncul seiring tenaganya semakin kuat dengan hadirnya permintaan minta tolong yang tersirat dari wajah Nur Romlah yang memelas.

Tak berdaya dan tetap tenang dalam ketidaksadaran, ia baringkan wanita tua itu di sofa. Napas tidak teratur, tetap ia paksakan untuk berlari ke dapur dan mengambilkan segelas air mineral untuk majikannya. Ketika ia akan meninggalkan dapur dan baru saja berdiri di liang pintu, ia melihat Nur Romlah sedang tersenyum duduk di bangku meja makan.

Gelas air mineral yang dipegang itu tumpah dan Irfan kabur sambil berkata, "anjing. Sialan! Siapa lagi ini?" Tanpa menunggu jawaban dari orang yang tampilannya sama dengan orang yang ia baringkan di ruang tengah, ia teruskan saja lari ke luar secepatnya meninggalkan rumah terkutuk itu.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang