Pak RT Sudah Mati!

4 1 0
                                    

Ia ingat, setelah itu berkunjung ke pemakaman umum. Awalnya Sutrisno ragu-ragu untuk menyatakan kehadirannya ke makam istrinya. Tapi apakah itu ada larangannya. Apapun itu jawaban yang nantinya akan keluar dari wanita tua itu, Sutrisno tetap menyatakan. "Setelah bertemu Rudy, aku berkunjung ke makam Mira, Bu!" Udara dingin kembali masuk dan daun pintu berderit lebih kencang.

"Setelah itu, kamu berjumpa dengan siapa lagi, Tris?" Desakan yang membuat rasa penasaran pada Nur Romlah dilancarkan sekenanya saja.

Sutrisno bukan seorang anak yang pandai berbohong. Dan ia sekarang dihadapkan suatu pertanyaan rumit. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya ketika ia memaksa untuk menjawab. "Setelah itu saya bertemu dengan Pak RT, Bu." Mata Nur Romlah melotot. "Apa! Bertemu Pak RT?

Untuk apa, Tris? Lantas apa saja yang kalian bicarakan?" Sebenarnya ini satu kesempatan bagi Sutrisno untuk menceritakan seadanya. Karena dengan begitu, ia bisa bertanya kembali apa penyebab Pak RT sampai mengusir keluarganya dari desa Pasar Wetan. Dan akhirnya ia menjawab. "Orang itu mengancamku agar segera pergi dari desa itu, Bu." "Persis apa yang kuduga. Tapi baguslah kalau kamu menurutinya. Dan ingat, Tris. Kamu jangan pergi ke desa itu lagi tanpa izin kepada ibu—dan jangan pernah kau temui lelaki itu lagi! Dia orang gila, Tris! Tidak pantas menjadi Pak RT!"

"Pak RT sudah mati, Bu!"

"Apa!" Nur Romlah terhenyak. Ia bangkit dari duduknya. "Kamu bilang Pak RT mati! Mati kenapa, Tris?" Ia duduk kembali, tapi posisi badannya sedikit miring guna berhadapan dengan anaknya yang duduk di sebelah.

"Itu dia yang sampai saat ini menganggu pikiranku, Bu." Awalnya napas Sutrisno mendesah cepat, tetapi sekarang terasa menyesakkan. Kaku dan padat. Seperti diburu seekor harimau. "Lelaki tua itu mati karena sebatang pohon yang tiba-tiba melayang dari belakang—dan kemudian menembus tubuhnya, Bu. Benar-benar tidak masuk akal."

Peluh mengalir di kening Nur Romlah. Tetes demi tetes membasahi wajahnya. Habis sudah perkara itu, pikirnya. Lantas apa yang diharapkan selama ini untuk tetap menyimpan sebuah rahasia itu bisa jadi akan terjawab semua dalam waktu dekat. Orang yang menyaksikan apa yang dilakukannya delapan tahun lalu, kini terkubur selamanya tak akan muncul ke permukaan lagi. Mati dan kosong. Kisah yang tak ingin dikenang apalagi diungkapkan kembali. Tapi alasan seperti itu selain memuaskan kehendaknya, jauh dengan apa yang diharapkan. Pak RT sudah mati namun ia tidak pernah mengharapkan akan terjadi sampai seperti itu. Harapannya hanya berusaha mengubur kisah lama tanpa harus memakan korban manusia. Tapi lelaki tua itu sudah mati. Kenyataan yang membuat siapa saja kesal meski sejatinya ada kepuasan. Tak lain sebuah peristiwa yang tercipta pada masa lalu, ternyata ada sebab dan akibatnya sampai akhirnya memunculkan suatu makhluk-makhluk di luar sana yang tak ingin keadilannya direbut makhluk dari alam yang berbeda darinya.

Sutrisno membakar rokok lagi dan mengisapnya kemudian berkata. "Apa yang sebenarnya diinginkan Pak RT, Bu? Kenapa orang itu mengusir kita dari desa itu? Sampai sekarang saya tak pernah bisa memahami alasan tindakannya itu." Amarah itu muncul diringi sebuah jawaban. "Tidak ada jawaban sekata pun untuk pertanyaan itu, Tris!" Wajah wanita tua itu sontak merah padam.

Sutrisno melihat perubahan yang tiba-tiba itu. "Kenapa, Ibu?" Ia lempar puntung rokok itu ke lantai. "Apa ada yang Ibu sembunyikan dariku?"

"Ini tidak ada hubungannya denganmu, Tris!" Sorotan mata wanita tua itu semakin tajam. Bersamaan dengan itu, di luar hujan turun langsung deras. Nur Romlah bangkit dari duduknya. Dan suaranya begitu pelan tertimpa deruan hujan. "Ibu minta sama kamu untuk jangan ungkit lagi persoalan ini lagi. Ibu mau bersantai di teras, badan rasanya agak pegal. Makanan Dana dan Dini untuk hari ini kita pesan via GoFood saja. Ibu sedang kehilangan tenaga untuk memasak."


KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang