Firasat

153 15 14
                                    

Sutrisno memacu mobilnya dengan tenang ketika masuk jalur bebas hambatan. Takut dan tegang, dua kombinasi rasa yang bisa membuyarkan konsentrasi seseorang. Namun ia tetap bersikeras untuk mencoba tenang. Tapi tidak bisa. Ingin rasanya ia keluar dari mobil kemudian menarik napas dalam-dalam dan membakar rokok. Itu kegiatan yang menarik dibandingkan harus mengemudi di malam yang sesak seperti itu. Jalanan sepanjang jalur bebas hambatan cukup ramai kendaraan yang hilir-mudik. Baik dari arah Padalarang menuju Jakarta maupun sebaliknya.

Dua jam kemudian, mobil yang ia kemudikan berhenti di jalur sepanjang Kadungora, Garut. Ia menuju ke warung untuk membeli minuman dingin. Padahal cuaca di kota Garut sangat dingin. Tapi panas membara terasa menyelimuti sekujur tubuh lelaki itu. Seakan ada yang sedang mengawasinya, ia cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Ditenggaknya minuman dingin itu sampai habis. Botol kosong itu ia lempar ke luar. Kemudian mobil ia pacu dengan gila. Tak peduli ada orang yang melintas jalanan, akan ditabraknya saja tanpa rasa takut. Tapi untungnya tidak ada orang yang melintas. Sutrisno mulai merasa dirinya gila.

Seekor kucing hitam, kumal nan gemuk melintas. Sutrisno buru-buru menginjak rem keras-keras sampai ban itu menjerit- jerit tak berdaya menahan rasa gusar lelaki yang berada di ambang kegilaan itu. Mobil berhenti tepat di pinggir jalan gelap nan lembap berdekatan dengan pohon rambutan. Sutrisno turun kemudian mengumpat "Sialan! Untung tidak nabrak!" Beberapa menit lamanya, ia termenung berdiri memandang persawahan yang gelap dan dingin terbentang di hadapannya. Kabut menggantung di permukaan sawah membuat suasana semakin menyeramkan. Ditambah dengan sunyinya tempat itu, berikut suara-suara aneh dari atas pohon rambutan, membuat Sutrisno cepat-cepat kembali masuk ke dalam mobil dan dipacunya mobilnya. Kali ini dengan lebih tenang. Itu dilakukannya dengan terpaksa. Tak ingin mengulangi kejadian seperti tadi, matanya waspada memandang jalan di depan. Suasana saat itu benar-benar menakutkan. Aneh. Tidak ada satupun orang yang menampakkan dirinya. Satu kendaraan pun tidak tampak hilir-mudik sejak tadi. Seakan kota ini telah mati dimakan kegelapan malam.

Tengah malam ia tiba di rumah teman kecilnya. Lelah dan tegang, tidak membuat Sutrisno pangling dengan fisik Rudi Hariansyah yang gendut dan berwajah sedikit lebih hitam dibandingkan tujuh tahun lalu. Kecuali rambut cepaknya yang senantiasa akrab mendampingi batok kepalanya sepanjang masa. Lucu sekali lelaki itu, pikir Sutrisno. Ia berkata pada Rudy, "maaf, kalau aku bertamu tengah malam seperti ini." "Tidak apa-apa, kawan." Rudi senang kedatangan sahabatnya semasa kanak-kanak itu. "Selamat datang, Tris. Bagaimana perjalanannya tadi? Kan sudah aku bilang di telepon tadi, berangkatnya besok pagi saja, mengapa mesti kamu paksakan berangkat malam ini juga, sih." "Aku kangen sama kamu, Rud."

"Ah. Kamu ini bisa saja. Oya, sudah makan belum? Pasti perutmu lapar kan? Bagaimana kalau kita makan dulu. Kebetulan istriku tadi sore masak ayam goreng dan sayur lodeh. Wah enak benar lho masakan istriku itu. Bagaimana menurutmu?"

Sejenak Sutrisno berpikir. Barangkali kehadirannya membuat kawan lamanya itu kerepotan. Atau ia harus undur pamit saja dengan alasan. "Sebelumnya aku minta maaf, Rud. Bukan maksud aku menolak ajakanmu yang menyenangkan itu. Apalagi diajak makan enak. Mana ada orang yang menolak bila diajak makan enak. Itu namanya orang gila. Hanya saja malam ini nafsu makanku seperti lenyap." Setelah bicara seperti itu, udara berembus dingin membawa ketakutan tersendiri. Pepohonan di sekitar bergoyang-goyang. Tengkuk Sutrisno meremang. Kaku dan dingin. Merasa ada sesuatu yang berdiri di dekatnya, pandangannya menyapu ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Hanya sunyi dan kelam didapat oleh pandangan matanya yang menyapu sekitar.

Melihat sikap sahabatnya seperti itu, Rudi angkat bicara, "kamu kenapa, Tris? Kok seperti orang yang ketakutan seperti itu? Celingak-celinguk ke sana kemari! Kamu sakit ya?"

Alasan seperti itu justru membuat Sutrisno merasakan ada yang aneh di tempatnya ia berdiri. Seperti ada ketakutan yang menggantung di atas kepalanya. Dan ia menjawab, "aku nggak sakit, Rud. Cuma badan terasa kurang enak saja." Sutrisno sesungguhnya ingin bilang bahwa hanya perasaannya saja yang tak enak. Tubuhnya dalam kondisi fit. Tapi alasan seperti itu memang cukup bijak untuk dinyatakan di saat-saat tak menyenangkan seperti itu.

"Kalau begitu. Masuk dulu ya, sebentar. Kita urus dulu pembayaran bahan-bahan sembako itu. Oya, untuk kawan lama, ada diskon dong."

"Kalau untuk masalah itu, tenang aja. Yang penting, setelah urusan pembayaran beres, aku mau langsung pulang. Oya, Nina—istrimu ke mana, Rud?"

"Jam segini, mah, udah tidur, Tris!" Mereka berdua lantas masuk dan duduk di ruang tamu. Membutuhkan waktu lima belas menit untuk membereskan persoalan pembayaran tersebut. Sutrisno bisa saja menyuruh anak buahnya untuk pergi ke desa Pasar Wetan, kalau tujuannya hanya untuk mengambil uang. Tapi Rudi memaksanya agar dirinya saja yang langsung mengambil uang. Katanya kangen dan ingin menyapa. Kalau ditolak nanti tidak enak, takut menjadi permusuhan diam-diam. Biasanya teman lama kalau sudah mengajak bertemu namun kita tolak, sulit untuk mengajak kita kembali untuk bertemu. Awalnya saja sudah menolak, bagaimana mungkin akan terjadi yang kedua kalinya.

"Aku pamit dulu ya." Sutrisno bersiap-siap.

"Salam buat ibumu." Mereka berpamitan dengan salam khas yang dulu mereka ciptakan berdua semasa sekolah. Sekelebat pikiran Sutrisno melayang ke masa SMA.

Setelah mobil dijalankan, Sutrisno tidak menuju jalan keluar desa. Ia menyempatkan dulu ke pemakaman umum. Letaknya hanya sekitar dua kilometer saja dari kediaman Rudi Hariansyah. Dikelilingi pepohonan kamboja dan semak belukar tak terawat, tempat tidurnya para orang-orang mati itu membuat bulu kuduk Sutrisno meremang. Kendati rasa takut itu masih menyergap, ia hadapkan dengan kerinduan mendalam teruntuk mendiang istrinya. Untuk apa takut dengan pemakaman. Orang mati ya mati saja, buat apa hidup lagi, pikir Sutrisno.

Mobil ia parkirkan di perbatasan pagar masuk pemakaman. Dari situ ia berjalan. Gontai dan terasa menyesakkan. Rasa takut muncul di saat udara berembus tidak teratur. Kadang dirasakannya dingin, panas, hangat, dingin kembali untuk kemudian lenyap seketika ditelan kegelapan malam. Nisan-nisan berdiri tegak bak bola mata gelap memandang dirinya dari kejauhan namun terasa dekat. Tubuhnya dijilati sinar rembulan yang baru saja tersisihan awan gelap. Suasana pemakaman menjadi gelap dan suram. Kepedihan, kerinduan bergabung bersama rasa takut, namun Sutrisno terus melangkahkan kakinya.

Lima menit kemudian ia bersimpuh di hadapan kuburan istrinya. Berdoa, memanjatkan syukur kepada Tuhan karena masih bisa berziarah ke makam istrinya, membuat pipinya basah air mata. Sejati dan terdampar kisah hidup manis di masa lalu, dijadikannya sebagai perisai penyemangat menjalani sisa hidup lelaki itu. Dan kau akan bertanya-tanya, mengapa rasa takut dapat diatasi hanya dengan kerinduan. Jawabannya hanya mereka yang menyadari hati dan pikirannya yang terpusat untuk orang tercinta.

Hampir setengah jam Sutrisno bersimpuh di kuburan istrinya, bangkit dengan kepala pusing lalu ia bakar rokok dan diisapnya kuat-kuat. Angin berembus, pohon kamboja yang tegak berdiri di sebelahnya bergoyang-goyang seperti ada sesuatu yang menggetarkannya. Cepat-cepat ia berlari dan masuk ke dalam mobil. Baru saja mesin mobil dinyalakan, sesosok bayangan hitam berdiri di dekat makam istrinya.

KEMBAR GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang