Chapter 40 : He is the Muse

7.7K 914 51
                                    

Esta berpikir keras apa yang dekat dengan tema crown yang dia buat terdahulu. Sampai akhirnya pilihannya jatuh pada Daerah Istimewah Yogyakarta. Kota yang masih begitu khas dengan Indonesia zaman dahulu, terutama tradisional jawa-nya. Sekaligus mahkota merupakan simbol yang begitu lekat dengan seorang raja atau sultan, untuk penyebutan orang nomor satu di kota ini.

Pagi ini tanpa basa-basi Esta langsung menyeret Jagat untuk menuju keraton Yogyakarta. Tempat tinggal sultan yang dibuka untuk umum ini mungkin bisa memunculkan ide untuknya.

"Kenapa kamu kelihatan happy banget, Jagat?" tanya Esta.

Dia mendapati Jagat terus tersenyum. Bahkan dengan bangganya menyebutkan satu per satu pengetahuan umum mengenai apa saja yang ada di keraton tanpa melihat tulisan yang sudah ada di sana.

"Karena akhirnya aku bisa pamer kalau buku-buku yang aku baca berguna untuk kamu," ucap Jagat dengan senang.

Esta mendengkus geli. Seandainya saja ini tidak di tempat yang mengharuskannya menjaga sopan satu, wanita itu sudah memeluk Jagat dan memberikan suaminya itu ciuman bertubi–tubi. Cara Jagat yang pamer ini entah mengapa sangat menggemaskan.

Saat tiba memasuki sebuah ruangan, tiba-tiba saja Jagat berhenti. Mata suaminya itu berbinar. Hal yang sukses membuat Esta mengerutkan kening keheran.

Hingga wanita itu menyadari apa yang menarik minat Jagat, jejeran teko-teko teh dan sejarah mengenai teh di Indonesia. Seperti halnya di beberapa negara tetangga, Yogyakarta juga punya sebuah upacara minum teh untuk para keluarga kesultanan yang diberi nama Patehan.

"Semesta, Semesta."

Jagat memanggil Esta. Matanya fokus pada deretan set teko teh yang dipajang. Hanya saja tangan suaminya itu menggapai-gapai tangan Esta untuk digenggam.

"Apa?" balas Esta seraya meraih tangan Jagat. Mereka memang tidak bisa pamer bermesraan yang berlebihan, tapi pegangan tangan sepertinya masih sopan.

"Lihat teko itu nggak?" tanya Jagat sambil menunjuk salah satu teko teh di sana. "Aku pernah mau beli yang seperti itu dan memang kembaran teko teh yang ada di sini. Tebak harganya."

Kening Esta berkerut. "Around five mio?"

Jagat menggeleng. "Dua digit. Waktu itu udah mau beli, tapi aku keduluan orang. Sedih sih karena teko teh itu hanya ada dua, di keraton ini dan di tempat lain."

Ketika menceritakan masalah teko teh itu, Jagat benar-benar menunjukkan kesedihan yang nyata. Tanpa sadar Esta meraih ponselnya. Dia memotret beberapa teko teh di sini. Di kepalanya sudah menentukan bahwa salah satu teko teh ini akan jadi hadiah ulang tahun untuk suaminya.

Setelah Jagat puas menganggumi teko-teko teh itu, mereka pun berpindah ke area lain. Esta sendiri masih belum menemukan hal yang bisa dia gambar untuk desain perhiasannya.

Hingga langkah wanita itu terhenti pada simbol Yogyakarta. Kemudian, tatapan Esta jatuh pada beberapa wayang-wayang yang dipamerkan. Sebuah ide muncul di kepala wanita itu.

"Sejarah, wayang." Esta menoleh menatap Jagat yang sedang berhenti tidak jauh di depannya. Senyum wanita itu tersungging. "Dan cinta."

Tiba-tiba saja Jagat menoleh. Kening pria itu berkerut. "Kenapa lihatin aku kayak gitu, Semesta?"

"Mas Jagat," panggil Esta. Tangannya meraih pergelangan tangan Jagat. "Antar aku ke tempat kesukaan kamu ya. Kita ke toko buku. Buruan!"

Sebelum Jagat sempat bertanya, Esta sudah menarik tangan suaminya itu. Dengan penuh semangat dia mencari jalan keluar dari keraton ini. Ide di kepalanya ini harus segera dieksekusi karena semakin cepat desain ini selesai, semakin cepat pula dia bisa mengetahui kehamilannya ini.

Crazy Wifey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang