Begitu menyaksikan keadaan mengenaskan gadis tersebut, Langit dan Bayu buru-buru kembali ke kantor desa untuk menemui Kepala Desa.
"Mohon maaf, Pak. Ada satu gadis yang kami temukan luka-luka," ucap Bayu setelah mengucapkan salam.
Darwis yang tengah duduk di seberang mejanya itu membuka kaca matanya. "Kecelakaan?"
Langit menggeleng. "Bukan, Pak. Seperti ... dipukul." Dia sangat yakin. "Kami khawatir terjadi sesuatu di rumahnya."
Pria paruh baya itu tampak berpikir. "Rumah yang mana maksud kalian?"
"Itu, Pak, rumah yang di paling ujung deket pohon mangga yang gede itu, Pak," timpal Bayu.
Seketika bibir Darwis langsung membentuk huruf 'o'. "Maksud kalian rumahnya Bu Arumi, kan?"
Langit dan Bayu berpandangan dengan ekspresi penuh tanya.
"Pasti rumahnya Bu Arumi yang kalian maksud." Darwis menghela napas. "Udah biasa itu. Udah sering dilaporin warga. Udah berulang kali juga saya damaikan sampai bosen. Gadis yang kalian maksud itu keponakannya Bu Arumi. Warga sebenarnya udah gak mau nolongin lagi, selain karena udah biasa dan karena Bu Arumi itu rentenir di desa ini. Banyak warga yang minjem uang sama dia, walaupun ribanya mencekik leher."
"Tapi dia dalam kondisi babak belur, Pak. Dia gak baik-baik aja." Langit bersikeras.
"Langit? Kamu pemimpin tim. Saran saya, kalau kamu mau tim kamu selamat dan KKN ini sukses, kamu harus menahan diri dari terlibat dalam sesuatu yang membahayakan dirimu dan teman-temanmu. Lupain aja!"
Langit dan Bayu sampai terpaku dengan pandangan tak percaya.
Hari itu berlalu begitu saja tanpa dapat menolong gadis penuh luka dan memar itu. Langit dan Bayu benar-benar merasa bersalah, tapi juga khawatir dengan tujuan mereka berada di Mekar Sari.
"Yang kamu minta, Langit." Bella menyodorkan kertas berisi rancangan program kerja yang telah mereka susun bersama ke arah Langit yang tengah duduk di seberang mejanya itu.
"Terima kasih, Bel."
"Sama-sama." Gadis berambut sepundak itu memilih duduk di kursi yang berdiri di hadapannya. "Langit? Aku udah denger dari Bayu. Sebenarnya dua hari yang lalu waktu aku ke pasar sama Putri, aku juga sempet lihat cewek yang kamu maksud itu."
"Oh ya?" Langit tampak tertarik.
Mahasiswi Akuntansi di hadapannya itu mengangguk. "Aku kasihan banget sih pas melihat dia dipukul sama tantenya di depan umum dan gak ada warga yang kelihatan peduli. Kayak pemandangan biasa. Pas aku mau nolongin, aku ditahan sama salah satu ibu. Katanya khawatir aku dihajar sama preman yang jadi pengawal tantenya. Serem."
Langit tampak termenung dengan wajah sendu. "Aku kasihan aja, Bel. Gak ada orang yang pantas diperlakukan buruk seperti itu. Setiap orang seharusnya diperlakukan secara adil, kan."
Bella mengangguk dengan ekspresi miris. "Aku denger dari cerita warga, kalau Bu Arumi itu adik dari ibunya cewek itu. Ayahnya cewek itu meninggalkan ibunya cewek itu. Akhirnya ibunya cewek itu nitipin anaknya ke Bu Arumi, karena pergi jadi TKW ilegal di luar negeri. Eh, gak tahunya malah disiksa sama majikannya di sana dan wafat. Bu Arumi kesel karena gak dapat kiriman uang lagi, alhasil sering banget nyiksa keponakannya itu."
Langit terlihat sedih. "Kasihan cewek itu, ya. Dia kayak gak punya siapa-siapa."
"Iya, Langit. Kayak gak ada yang peduli sama dia."
Pada akhirnya pembahasan gadis itu berlalu begitu saja, walaupun sempat berhari-hari mengganggu pikiran Langit.
Dia tenggelam dengan kesibukannya bersama teman-temannya untuk menjalankan program kerja mereka yang harus diselesaikan dalam waktu 40 hari itu.
Namun, suatu hari pandangannya dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis yang berdiri di samping jendela sambil melihat ke dalam balai desa yang tengah melaksanakan kegiatan sosialisasi pemasaran digital.
Gadis itu berwajah oval, kulitnya putih bersih walaupun terdapat sedikit memar kebiruan yang tampak memudar, alisnya tebal, hidungnya mancung, dan pandangan matanya tampak sayu.
Penampilannya pun sangat sederhana. Hanya menggunakan rok kain dan kemeja berlengan pendek yang lusuh.
"Itu kan ...." Langit ingat pada gadis yang mengganggu pikirannya itu.
Dia keluar dari pintu samping dan berhenti di belakang gadis yang tengah menyimak materi dari jendela itu. "Mbak?" panggilnya dengan suara pelan.
Perlahan gadis itu berbalik sebelum menunduk dalam membuat wajahnya kembali ditutupi oleh anakan rambutnya.
"Mbaknya mau ikut kegiatan juga? Mari di dalam aja, Mbak. Saya antar." Langit berusaha ramah.
Gadis itu tetap terpaku di tempatnya membuat Langit sedikit kebingungan.
"Gak apa-apa, Mbak. Kegiatannya boleh diikuti sama semua warga yang berminat kok."
Perlahan gadis itu menggeleng. "Saya mau pulang." Suaranya terdengar sangat pelan.
Langit sedikit kecewa dibuatnya. "Oh ... kalau gitu ... boleh saya tahu namanya Mbak siapa?"
Gadis itu kembali terdiam lama membuat Langit bertanya-tanya.
"Nama saya Langit, Mbak. Saya dari Teknik Sipil Universitas Dharma Bangsa. Saya dan teman-teman saya sedang melakukan KKN di desa ini. Kalau Mbak butuh sesuatu yang sekiranya bisa kami bantu, jangan sungkan hubungi kami, ya, Mbak. Oh ya ...." Langit buru-buru mengambil pulpen di saku kemeja biru langitnya dan menulis sesuatu di buku catatan kecil yang berada di genggamannya itu. Tak lama dia menyobek kertas catatannya dan menyodorkannya ke arah gadis di hadapannya. "Ini nomor hp saya, Mbak. Saya gak ada niatan buruk. Kalau Mbak dalam kondisi darurat, tolong hubungi saya."
Tak disangka gadis itu menerima sodoran kertas darinya sebelum melintasinya begitu saja.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, dia berhenti. "Nama saya Mentari," ucapnya dengan suara yang tetap pelan nyaris tak terdengar.
"Mentari?" tanya Langit memastikan.
Gadis itu mengangguk sebelum berjalan cepat meninggalkan balai desa. Meninggalkan Langit yang terpaku di tempatnya.
"Mentari," gumam Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekapan Langit (TAMAT)
Spiritual📚 Part Lengkap #Karya 15 Tak seperti kisah putri dalam dongeng yang dijemput oleh pangeran dari kerajaan yang kaya raya. Mentari yang kerap disiksa oleh Tante Arumi dan saudara sepupunya itu dijemput oleh Langit. Mahasiswa Teknik Sipil yang KKN di...